Barangkali takdir memang terkadang bersinggungan sambil berlalu. Netranya tidak sengaja menangkap sepasang insan yang sepertinya tengah mengakhiri segala janji untuk saling mengisi lembar kehidupan bersama. Meskipun tanpa ikatan yang pasti.
Berbicara perihal takdir, yang telah berjanji untuk bersama bisa saja pulang, kembali di jalan hidup masing-masing. Melupakan segala angan yang telah terancang dengan rapi. Lantas bagaimana yang takdirnya tak pernah bersinggungan? Memang, tak akan ada kata mengakhiri karena memulai pun tidak. Juga tak ada janji, angan untuk bersama di kemudian hari. Pada intinya tidak ada kata memulai 'kan?
Ah, entahlah. Terlalu rumit bagi Ahwa memikirkan hal seperti itu. Dirinya lebih memilih memandangi sepatu yang dihiasi bercak tanah karena hujan yang sempat menguyur bumi. Tak lama, dirinya kembali memandang sepasang insan yang mungkin belum benar-benar merelakan untuk saling pergi. Huh! Tak ada yang lebih menyedihkan dari setiap lembar kisah hidupnya 'kan?
“Ahwa.”
“Innalilahi.” Ahwa terkejut saat sebuah suara memanggil namanya.
“Maaf. Saya ngagetin, ya?”
“Saya aja yang emang kagetan orangnya, Gus. Nggak apa-apa.” Ahwa memegangi dadanya yang berdebar.
“Kenapa? Pengin kayak gitu? Pacaran?” cecarnya dengan sedikit tak enak mengucapkan kata terakhir. Gus Zain sebenarnya sedari tadi memperhatikan arah pandang Ahwa.
“Enggak, Gus. Bingung aja. Kalau yang pacaran bisa putus, terus gimana yang ngejalin hubungan tanpa status?” Entah keberanian dari mana, seorang Ahwa yang pendiam tiba-tiba bertanya seperti itu.
“Bingung gimana?” Gus Zain berbalik tanya.
“Orang pacaran, kan, udah ada rencana atau angan gitulah buat hidup bersama. Terus yang tanpa status? Rencana pun nggak ada, gimana bisa bersama.” Ahwa memperjelas maksudnya.
“Nyatanya status sekadar istilah, 'kan? Pacaran nggak menjamin ke depannya akan berjalan mulus. Tanpa status bukan berarti nggak ada rencana dan angan. Barangkali udah dibicarakan duluan sama Allah lewat doa. Serapi apapun rencana disusun, yang menghendaki terjadi tetap takdirnya Allah. Takdir-Nya misteri. Janji dan ekspektasi, belum tentu bakal terjadi.” Panjang lebar Gus Zain berucap.
Ahwa tertegun. Baru kali ini dirinya mendengar Gus Zain berbicara panjang lebar di luar hal yang memang benar-benar penting. Dirinya hanya bisa mengangguk dan menanggapi dengan hanya mengucapkan terima kasih.
“Sampean lagi nunggu jemputan?” tanya Gus Zain.
“Iya, Gus. Njenengan? Mobil antar jemput kayaknya udah pergi dari tadi.” Ahwa tak menatap Gus Zain barang sedetik pun.
“Nunggu jemputan ke ponpes lain. Diundang ngisi selawat.” Barangkali Ahwa kembali bertanya. Padahal mungkin saja Ahwa tak peduli atas tujuan apa Gus Zain pergi ke manapun.
Sunyi meliputi keduanya. Saling diam tak tahu harus membicarakan apa. Ahwa berulang kali menghela napas, lelah menunggu. Sedangkan Gus Zain, fokusnya tampak terbagi pada ponsel dan jalanan.
“Belum tau, ya, siapa pengirimnya?"
“Belum. Padahal biasanya cewek jago banget urusan berbau detektif gitu, haha. Pengagumnya Gus Zain padahal banyak. Kabarnya heboh ke luar sekolah juga.”
“Udahlah. Kalau tau terus happy ending, iri banget loh.”
“Udah, sih. Masih aja berharap. Udah deket tapi nggak tergapai, bau-bau nggak cocok, sih. Lagian beda kufu.”
“Emang bener yang ngirim Ning Nadia?"
“Masa kayak begitu.”
“Ning juga manusia kali.”
Gus Zain dan Ahwa hanya diam menyimak pembicaraan segerombolan siswi yang berdiri tengah membeli jajanan di depan mereka duduk. Mungkin mereka tak melihat keberadaan Gus Zain karena situasi trotoar yang cukup ramai.
Setelah segerombolan siswi itu berlalu, barulah Gus Zain angkat bicara. “Kira-kira siapa, ya, pengirim menfess itu?”
“Menurut njenengan, Gus?” Bukannya menjawab, Ahwa justru berbalik tanya.
Helaan napas terdengar sebelum jawaban terucap. “Saya juga nggak tau. Apa mungkin Ning Nadia?”
“Nggak ada yang nggak mungkin, Gus.”
“Tapi saya nggak yakin kalau Ning Nadia pengirimnya.”
“Ehm, saya izin pamit, Gus. Bapak saya udah sampai. Assalamu’alaikum.”
***
Foto sepasang insan kala dirundung duka masih menjadi foto yang berulangkali dirinya lihat. Melihatnya memang menyesakkan, perlahan menyadarkan ekspektasi dan harapan yang menjulang tinggi.Namun, tetap saja. Harapannya tak gugur meski terus-menerus diterpa realitas. Ketika satu harapannya gugur, hatinya terus meyakinkan tentang kehendak Tuhan yang selalu menjadi misteri. Tentu saja dengan membayangkan kehendak baik di balik kata misteri itu.
“Gus Zain dan Ning Nadia?” Bibirnya tersenyum membentuk sebuah lengkungan layaknya bulan sabit. “Gus, boleh nggak, sih, kita bersatu? Boleh, Tuhan?”
Selang beberapa detik, jarinya bergerak menutup foto yang terpampang di layar ponselnya. Berganti membuka sebuah tautan yang mengarahkannya pada Google Form. Jemarinya lantas menari di atas layar. Senyuman mengiringi setiap huruf yang diketik menyusun rangkaian kata.
From : Siapalah aku
To : Gus Zain
Message :
Bukan salah saya, 'kan, mengagumi njenengan, Gus Zain? Tapi saya nggak seberani itu mengungkapkan langsung ke njenengan. Padahal kita deket loh, Gus.Terkirim dengan sempurna. Kini dirinya hanya tinggal menunggu pesan itu diunggah oleh entah siapapun itu. Menghebohkan seantero sekolah? Bukan itu tujuannya. Melainkan hanya ingin mengungkapkan yang tertahan dan sulit diungkapkan dengan lisan.
***
Kasih pendapat soal tokoh Gus Zain di sini🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...