Hal yang dinantikan selama tiga tahun belajar akhirnya terlaksana dengan baik, yaitu sebuah acara kelulusan yang tentunya sekaligus mengakhiri masa-masa remaja di sekolah. Tahapan setelah lulus SMA akan dihadangkan banyak pilihan yang menjadi tolak ukur masa depan, maka orang bilang kehidupan setelah lulus adalah tantangan yang sebenarnya.
Berakhir satu angkatan, menaik pula satu angkatan ke kelas yang lebih tinggi. Kini, angkatan Ning Nadia lah yang menjadi kakak senior di sekolah dan begitupun kelas 10 yang kini menjadi kelas 11. Struktur OSIS pun telah berubah, karena berbarengan dengan acara kelulusan minggu lalu serah terima jabatan juga dilaksanakan.
Ketua organisasi jurnalistik ikut diambil alih oleh Hasbi, sesuai permintaan Gus Zain. Ia tidak memilih Ning Nadia, karena memahami kesibukkannya nanti di kelas-kelas akhir seperti apa.
Hiruk pikuk lingkungan sekolah berjalan seperti biasa tidak ada yang beda, namun tidak dengan Ahwa yang merasakan perbedaan. Entah rasa tenang tanpa harus menghindari orang yang kini telah lulus, atau justru rasa hampa yang menyergap seiring tidak adanya kabar orang tersebut. Sebenarnya, apa mau hati Ahwa? Antara ingin dan tidak ingin.
Ahwa pikir perpisahan ini terlalu tiba-tiba, seolah tak memberikannya waktu untuk mempersiapkan jawaban atas pertanyaan setelah berjarak. Hingga akhirnya pertanyaan itu kini hanya tertumpuk di hati, tentang ke mana dia melanjutkan pendidikan? Atau sedang apa dia sekarang?
Media sosial yang menjadi tempat Ahwa memantau info mengenai dia, saat ini tidak lah membantu. Oleh karena itu, selama satu minggu semua berjalan seperti biasa, Ahwa masih terus memupuk pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai dia. Sosok pria bernama Gus Zain.
Kalender sudah menunjukkan hari senin kembali. Para siswa setengah jam lalu telah melaksanakan upacara bendera sebagai rutinitas di hari Senin. Upacara kali ini tidak Ahwa hadiri karena ia merasa lemas dan akhirnya diarahkanlah Ahwa untuk istirahat di UKS. Seusai upacara selesai dan para siswa lain mulai memasuki kelasnya masing-masing, Ahwa yang masih berada di UKS dipastikan kembali keadaannya oleh anak PMR dan setelah itu baru bisa kembali ke kelas.
Di koridor menuju kelas sudah tampak sepi, segera Ahwa mempercepat langkahnya agar tidak terlambat masuk. Akan tetapi, tiba-tiba langkahnya melambat berbarengan dengan kedua netranya yang menangkap satu sosok yang berada beberapa meter di hadapannya berjalan satu arah dengannya.
Sebelah alis Ahwa terangkat seolah rautnya tengah memastikan apakah orang yang ditemuinya adalah orang yang dikenalinya. Mulutnya terbuka dan mengucapkan satu nama. "Gus Zain?"
Sepertinya ucapan Ahwa terdengar oleh si empunya nama. Karena sekarang, Gus Zain membalikkan badan dan tersenyum tipis ketika tahu Ahwa memanggil namanya. Tanpa sadar Ahwa mendekat, dan tanpa ragu lagi menyapa pria itu.
"Assalamualaikum, Gus."
"Waalaikumussalam. Loh, kamu tidak masuk kelas Ahwa?" tanya Gus Zain.
Ahwa menggeleng. "Ini mau ke kelas. Njenengan, kok, ada di sekolah?" Mungkin setelah obrolan ini Ahwa akan sangat menyesal mengajukkan pertanyaan seperti itu.
"Kebetulan ada sedikit urusan dengan pihak kepala sekolah."
Ahwa melumat bibirnya yang mengering, ia seolah ingin menanyakan sesuatu hal lagi. "Hem ... Gus, saya ingin menanyakan kelanjutan projek nulis yang njenengan tawarkan pada saya."
"Ah, soal itu ya?" Gus Zain tampak berbikir beberapa detik, hingga ia mengeluarkan ponselnya. "Akan saya bahas melalui WA saja, ya? Boleh sebutkan nomormu."
"Loh, bukannya kita satu grup WA?" Ahwa mengernyit bingung.
Gus Zain tersenyum tipis. "Saya ganti nomor, Ahwa. Yang di grup sudah tidak aktif. Saya hanya menyimpan nomor-nomor orang tertentu saja."
Ahwa mulai paham mengapa semenjak kelulusan nomor Gus Zain seperti tidak aktif, dan Ahwa sempat mengira ia diblokir oleh pria itu. Mungkin sifat souzoon ini harus Ahwa lebih hindari lagi. Setelah mendengar penjelasan Gus Zain, Ahwa pun memberikan nomor ponselnya.
Usai itu mereka saling berpamitan karena Ahwa harus segera ke kelas dan Gus Zain harus menemui kepala sekolah. Ada rasa bahagia yang memenuhi relung hati Ahwa saat ini, hanya karena dimintai nomor ia sudah sangat dianggap ada, karena seperti kata Gus Zain tadi, bahwa pria itu hanya menyimpan orang-orang khusus. Itu artinya Ahwa termasuk ke dalam orang-orang tersebut.
Namun, di balik rasa bahagia, Ahwa sampai melupakan pertanyaan tentang ke mana Gus Zain akan melanjutkan pendidikan. Ahwa segera menepis rasa sesalnya, karena toh ia nanti akan mempunyai nomor pribadi Gus Zain dan tidak akan kehilangan kontak atau tertinggal kabar.
***
Semenjak hari itu, Ahwa selalu saja mengecek ponselnya. Ia seperti orang yang berharap besar akan Gus Zain untuk menghubunginya. Sampai hampir seminggu, tak kunjung ada pesan yang Ahwa nantikan.
Ahwa mengembuskan napas lirih setiap usai mengecek ponsel. Ia meletakkan benda pipih tersebut di atas ranjang dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Astagfirullah, Ahwa kamu ngapain berharap gini!" runtuknya pada diri sendiri.
Apa pun yang dilakukan manusia pasti akan ada penyesalan di akhir. Ahwa seolah kehilangan kendali ketika diberi peluang dan malah semakin memperbesar harapan tanpa peduli bahwa sebenarnya itu tidak ada gunanya, hanya akan berakhir luka. Lagi pun seberapa pentingnya Ahwa bagi Gus Zain? Ahwa tak seharusnya merasa terlalu bahagia karena hanya dipinta nomor ponsel.
Karena tak ingin berlarut dalam penyesalannya, Ahwa segera menggerakkan tubuhnya untuk melaksanakan salat Asar sekaligus membersihkan diri setelah tadi baru pulang dari kegiatan sekolah. Ahwa akan menenangkan diri pada dalamnya sebuah sujud di atas sajadah.
Setiap selesai salat selalu diakhiri dengan salam dan kedua tangan yang menengadah merangkai doa-doa. Lalu kembali membereskan perlengkapan salatnya. Di saat itu, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi dari ponsel di atas ranjang. Ahwa dengan santai melihatnya karena mungkin saja dari Kirana.
Akan tetapi, mulutnya terbuka sedikit karena kaget Gus Zain lah yang mengirimkan pesan tersebut. Segera Ahwa mentralkan raut wajahnya untuk biasa-biasa saja, meski hati tidak bisa berbohong bahwa ia merasa senang.
+62 896-XXXX-XXXX:
Assalamualaikum, mohon maaf Ahwa. Ini saya Zain. Apa benar ini Ahwa?
Seolah tak ingin terlalu gerak cepat, Ahwa menunggu tiga menit untuk membalasnya.
Ahwa:
Waalaikumussalam, nggeh, Gus. Ini saya Ahwa.
Detik demi detik berlalu, hening, tidak ada notifikasi balasan pesan yang masuk. Hatinya yang sempat mengudara karena terlampau senang kini seakan perlahan mendarat, tetapi harapannya masih mengudara tinggi, berharap pesannya itu akan segera mendapat balasan.
Hingga langit berubah gelap dengan dihiasi gemerlap bintang, entah sudah terhitung berapa kali dirinya mengecek ponsel sekadar untuk melihat apakah Gus Zain telah mengirim balasan atau belum.
Kini Ahwa pasrah, tidak lagi berharap. Jika Gus Zain mengirimkannya pesan, dia akan mencoba biasa saja. Jika tidak pun dia akan mencoba menganggap pesan singkat sore tadi hanya ada dalam mimpinya yang seakan nyata.
Tidak, tunggu! Sebuah notifikasi secara spontan membangkitkannya yang terbaring lemas. Gagal. Keinginannya untuk biasa-biasa saja tidaklah terwujud. Saat melihat notifikasi di layar ponselnya, dirinya seketika melompat dari atas kasur.
Gus Zain:
Besok pagi ada kesibukan?
Tangannya dingin dan basah. Tidak pernah dirinya segugup ini hanya sekadar membalas pesan. Mau apa Gus Zain bertanya seperti itu, pikirnya dalam hati.
Ahwa:
Nggak ada, Gus.
Gus Zain:
Besok lari pagi, yuk! Sekalian ngebahas projek nulis kita.
Gus Zain, tolonglah! Dengan mudahnya mengajak lari pagi. Apakah dirinya tidak tahu jantung Ahwa seakan berhenti berdenyut untuk sepersekian detik karena terlampau terkejut? Tidak semudah itu membaca pesan seperti ini.
“Aaa!” Dengan cepat, tangannya memukul pelan mulut yang kelepasan berteriak. “Aku harus balas apa?”
“Boleh? Ayo? Nggih? Allah, hamba-Mu bingung.”
Ahwa:
Nggih, Gus. Boleh.
Tanpa memikirkan susahnya untuk membeli ponsel tersebut, dengan cukup keras Ahwa membanting benda cerdas itu ke kasur. Dilanjutkan dengan dirinya yang menenggelamkan muka di antara bantal-bantal. Sekarang dalam benaknya penuh dengan rencana-rencana harus bagaimana dirinya bersikap besok.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...