"Ahwa, kamu kenapa menghindar?"
Sebuah pertanyaan yang memang harus segera terlontar dari mulut Ning Nadia demi tidak terciptanya prasangka buruk. Sudah empat bulan lamanya, semenjak kejadian yang membawa kabar gosip merebak di sekolah. Ahwa menjadi lebih pendiam dan menghindari segala pertemuan organisasi dengan berbagai alasan.
Kabar itu lanjutan dari hebohnya salah satu pesan menfess, kini para murid menyinggung Ahwa sebagai pengirim menfess tersebut. Entah dari mana dan siapa sumber penyebar kabar tersebut. Bahkan kabar yang memojokkan Ahwa sampai terdengar oleh Ning Nadia sendiri. Tentu dari sebuah kabar, ada yang percaya dan juga tidak. Terlebih sumber kevalidannya tidak jelas.
"Ahwa, saya tidak ingin mengungkit perihal kamu dan Gus Zain. Tapi, saya menanyakan itu karena saya peduli pada impianmu jadi penulis. Jika terus menghindar dari berbagai kegiatan sekolah yang nantinya akan jadi jalan menuju impianmu, maka kamu gak akan bisa mendapatkan kesempatan itu lagi," jelas Ning Nadia dengan perlahan.
Sengaja Ning Nadia ke kelas Ahwa ketika bel pulang berbunyi. Melihat Ahwa keluar kelas lebih dahulu, lantas saja Ning Nadia meminta Ahwa duduk sebentar di pagar beton depan kelas.
Kini Ahwa malah terdiam belum menjawab pertanyaan yang diajukan Ning Nadia. Hal itu membuat Ning Nadia sedikit harus bersabar. "Kamu ingat, ketika kamu jadi panitia lomba di acara sumpah pemuda? Kamu tiba-tiba pergi. Itu bukan seperti Ahwa yang saya kenal di organisasi dulu."
"Saya memang bukan teman dekatmu, Ahwa. Tapi saya secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap apa yang kamu alami sekarang. Karena kegiatan menfess yang saya dan anggota organisasi jurnalistik lakukan, malah akhirnya menciptakan penggiringan opini yang memojokkanmu, lalu kamu jadi lebih tertutup dan menghindar," sambung Ning Nadia.
"Saya bukan menghindar, tapi saya hanya ingin lebih fokus belajar dalam pembelajaran di sekolah saja." Akhirnya Ahwa menjawab, tapi lagi-lagi dengan alasan yang sama ketika ditanya anggota jurnalistik lainnya.
Ning Nadia tersenyum tipis. "Saya yakin kamu bisa fokus di kedua kegiatan itu, loh. Gak ada salahnya mencari prestasi yang sesuai bidangmu."
Ahwa menatap Ning Nadia dengan senyuman ramah. "Terima kasih njenengan sudah peduli dengan saya, Ning. Bukan bermaksud tidak menghargai kepedulian itu, tapi ini hidup, pilihan dan jalan saya."
Setelah mengatakan itu, Ning Nadia tidak bisa berkomentar lagi. Ucapan Ahwa terdengar serius. Karena tidak ada yang dibicarakan lagi, Ahwa pun berpamitan untuk pergi dari sana.
Ahwa tidak langsung pulang, ia menuju ke perpustakaan untuk baca-baca dan mencari buku yang akan dipinjam hari ini. Ahwa sengaja menghabiskan waktu di tempat itu, karena sebelum berangkat sekolah hari ini ia diberi kabar ayahnya kalau beliau akan menjemput sangat telat. Maka dari itu, dari pada menunggu di depan gerbang Ahwa memilih di perpustakaan saja. Toh, di sana masih ada beberapa murid yang juga memilih buku-buku yang akan dipinjam dan dikembalikan esok hari.
Gadis itu melupakan pembicaraan singkat tadi bersama Ning Nadia, ia lebih asyik memilih buku-buku pada rak besar. Orang selalu menilai bahwa, sangat senang jadi Ahwa karena bertemu buku-buku saja sudah bisa menghibur diri. Namun aslinya sangat tidak mudah jadi Ahwa, karena harus menyimpan permasalahannya sendiri dan menyelesaikan sendiri juga.
Setelah memilih dua buku novel islami, Ahwa berniat membaca salah satunya di perpustakaan. Ia duduk di bangku yang tersedia. Awalnya sangat damai kegiatan membacanya, namun di pertengahan seseorang datang mengalihkan fokus Ahwa.
"Boleh saya duduk di sini?" Orang itu adalah Gus Zain. Dia membawa buku juga dan meminta izin untuk duduk pada satu meja dengan Ahwa.
"Siapa saja boleh duduk di sana, kok," jawab Ahwa dan kembali berusaha fokus.
Satu menit mereka terdiam karena fokus membaca buku masing-masing. Namun, tiba-tiba Gus Zain memulai obrolan dengan nada suara rendah agar tidak terlalu berisik.
"Ahwa, saya ingin ngomong sesuatu sama kamu," katanya.
Ahwa melirik sekilas, ia mengangguk kecil sebagai jawaban. Bersyukur Gus Zain paham. "Nanti 'kan lomba yang biasanya diwakili oleh saya. Tapi saya gak bisa ikut serta di bulan ini, karena mulai sibuk persiapan ujian-ujian akhir."
"Oleh karena itu, saya ingin merekomendasikan kamu untuk ikut lomba tersebut. Kamu mau?" tanya Gus Zain.
Penawaran ini tidak dibuat-buat, karena memang halangan untuk Gus Zain ikut serta dalam lomba pada bulan ini sangat banyak. Hingga Gus Zain terpikirkan agar Ahwa menggantikan dirinya, dengan alasan jelas bahwa lomba ini sangat cocok untuk Ahwa yang suka tulis menulis.
Beruntung jam pulang sekolah hari ini Gus Zain bertemu Ahwa di perpustakaan dan bisa langsung menyampaikan penawarannya ini.
Ahwa tidak langsung menanggapi. Terlihat ia terdiam, lalu seperkian detik menutup buku yang dibacanya. "Maaf, Gus. Saya tidak bisa ikut serta. Terima kasih sebelumnya atas penawarannya."
Belum sempat Gus Zain menyangkal, Ahwa lantas saja berpamitan dan pergi ke tempat penjaga perpustakaan untuk mengisi daftar peminjaman buku. Kemudian ia pergi, dan berniat menunggu saja di depan gerbang.
Gus Zain tidak tinggal diam, ia mengejar Ahwa sampai ke lorong koridor sekolah. Kebetulan koridor tampak sepi karena para siswa sudah pulang.
"Ahwa, kenapa kamu terus menghindar?" Lagi dan lagi pertanyaan itu diterima Ahwa. Kali ini Gus Zain yang melontarkannya dengan seruan seraya mengejar Ahwa.
"Kesampingkan dulu permasalahan itu. Dan kalau kamu tulus sama saya, bukan hanya karena ingin perlahan mengganggu kehidupan saya, seharusnya kamu nggak kayak begini. Penawaran saya tadi tidak ada hubungannya dengan perasaan, maka jangan memutuskannya secara cepat, pertimbangkanlah."***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...