Satu minggu berlalu begitu saja tanpa terasa. Kepulangannya ke Indonesia tidak lantas menjadikan definisi liburan menjadi nyata dalam hari-harinya. Hari demi hari yang berlalu justru menghadirkan tanya dan perdebatan baru, menciptakan riuh dalam kepala dan batin.
Hari ini, Gus Zain tidak tahu akan bagaimana kelanjutan alur kehidupan menuntunnya, membawanya melangkah semakin jauh, bahkan di saat dirinya belum yakin akan keputusannya yang telah berhari-hari terlontar itu.
Dirinya tidak merasa semua akan baik-baik saja, tetapi harapnya, semoga saja dengan kepulangan Ning Nadia hari ini semuanya akan menjadi lebih baik, tentu sesuai inginnya. Ya, Ning Nadia memutuskan untuk pulang.
Awalnya, gadis itu ingin menghabiskan waktu liburannya di sana saja, meskipun ada rasa ingin pulang ke Indonesia, tetapi demi semakin membetahkan diri, seharusnya dia tetap tinggal sana.
Namun, dua hari yang lalu, abi dan uminya menelepon. Uminya rindu, tetapi menyerahkan keputusan kepada dirinya untuk tetap tinggal di sana atau pulang. Sedangkan sang abi, memerintahkannya untuk bergegas pulang. Sebuah perintah yang tidak menerima penolakan.
Hingga kini, di sinilah kakinya berpijak, Indonesia. Usai mengambil koper kecil yang dibawanya, Ning Nadia lantas berjalan mencari tempat di mana mobil yang membawa abinya berada. Tidak memakan waktu lama, dirinya sudah menemukan sang abi dan ... Gus Zain. Cukup mengejutkan. Pikirnya, bukankah seharusnya Gus Zain tidak di sini?
“Assalamu’alaikum.” Ning Nadia menghampiri keduanya, lantas mencium punggung tangan sang abi serta melemparkan seulas senyum kepada Gus Zain.
“Wa'alaikumussalam.”
Selanjutnya, ayah dan anak itu saling melontarkan obrolan-obrolan setelah selama ini hanya saling bertukar kabar dan obrolan melalu sambungan telepon. Keduanya mengobrol ringan hingga mobil hitam yang dikemudikan oleh Gus Zain membawa ketiganya menuju rumah.
Selang beberapa menit usai mobil meninggalkan bandara, tidak ada lagi obrolan ringan yang terdengar. Sang abi kini membuka obrolan dengan Gus Zain, tanpa melibatkan anaknya sendiri karena Ning Nadia hanya bisa diam, merasa bingung tidak tahu ke mana arah perbincangan yang sedang berlangsung ini.
“Semoga saja perjodohan ini berlangsung dengan lancar. Sampean sudah siap, Gus?”
“Insyaallah, Bi.”
“Saya rasa ini tidak terlalu cepat. Bukankah lebih cepat lebih baik, Gus?”
Gus Zain hanya menanggapi dengan sebuah anggukan dan senyum. Jika boleh berterus terang, ini semua terlalu awal bagi Gus Zain. Apakah semua akan baik-baik saja tanpa keyakinan penuh dalam hatinya?
“Sampean manut abi, 'kan, Ning?”
“Kalau baik buat Nadia–” Ning Nadia tidak melanjutkan ucapannya, dia hanya tersenyum seraya mengangguk.
***
Keesokan harinya, ketika dirinya sedang terduduk di teras rumah, netranya yang tengah memandang sekitar tanpa sengaja menangkap seorang wanita yang berlari kecil menuju ke tempatnya dari arah gerbang. Seseorang yang tidak asing.
“Jihan?!”
“Ning Nadiaaa!”
Ning Nadia bangkit dari duduknya, kedua tangannya terbuka lebar, menyapa seseorang di hadapannya dengan dekapan. Bagaimana bisa temannya yang satu ini mengetahui bahwa dirinya sedang berada di Indonesia saat ini. Padahal semua sosial medianya senyap, tidak ada kabar apapun yang dibagikan.
“Kok bisa tahu aku lagi di Indo?” tanya Ning Nadia seraya menuntun Jihan untuk duduk di kursi teras.
“Taulah, Ning. Di grup aja heboh.”
“Panggil Nadia aja kali.” Ning Nadia meralat panggilan itu. Dia tidak ingin seakan ada jarak di antara keduanya. Mereka telah berteman baik dan cukup lama. “Aku pulang doang grup sampai heboh?"
“Sebelum sampean pulang juga udah heboh. Nggak ngecek grup, sih, jadi begini.”. Jeda sepersekian detik, Jihan menarik napas dan dalam sekejap mimik mukanya berubah menjadi seakan terlampau bahagia. “Nad, selamat, ya. Emang cocok banget, sih, perjodohan ini. Pasti bakal jadi couple goals, nih.”
“Tapi kesel juga. Seharusnya kamu yang ngasih tahu langsung kabarnya, kapan hari H-nya gitu. Kan, kita juga pengin dateng.”
“Bentar, maksudnya apaan, sih, Han? Aku nggak paham, deh. Serius.”
“Ning Nadia, kabarnya udah terkonfirmasi akurat terpercaya. Walaupun sejak masih MA udah nebak, sih, tapi sekarang pura-pura kaget aja kalau kamu sama Gus Zain mau dijodohin.” Perkataan Jihan berhasil membuat matanya membola. Terkejut. Bahkan dia tidak tahu sama sekali perihal ini.
“Aku? Sama Gus Zain? Dijodohin? Sama siapa?”
***
Usai kepulangan Jihan, rasa penasaran dalam dirinya menuntut penjelasan, hingga di sinilah dirinya berada. Menemui abi dan uminya. Bukankah ini keputusan sepihak? Bagaimana mungkin dirinya tidak tahu, padahal dirinya sendiri yang akan menjalani.
“Abi, bener?”
“Nggih. Sampean pasti mau, 'kan?”
“Umi?”
“Iya, Nduk. Abi, umi, dan abahnya Gus Zain sudah sepakat menjodohkan kalian,” jelas sang Umi seraya merangkul sang anak.
“Abi sama Umi nggak tanya kesepakatanku?”
“Kamu manut kata abi, 'kan?”***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomansaLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...