Kelas dua belas, adalah kelas tingkat akhir yang sangat sibuk ketika sudah berada di tahun kelulusan. Karena di setiap bulan di tahun itu mereka menanti-nanti serangan praktik, ulangan akhir, dan ujian-ujian yang diselenggarakan sekolah untuk syarat kelulusan.
Kini, serangan super menguras otak dan tenaga itu akan dihadapi Gus Zain pada bulan depan. Oleh karena itu, bulan sekarang ia tidak dapat ikut aktif dalam organisasi maupun perlombaan. Sebagai ketua organisasi jurnalistik, ia tidak bisa menelantarkan anggotanya, maka ia dengan penuh rasa percaya meminta Ning Nadia untuk mengambil alih organisasi tersebut.
"Sekaligus saya juga menawarkan njenengan untuk menggantikan saya sebagai perwakilan lomba pada bulan ini. Apakah njenengan bersedia, Ning?"
Terlihat Ning Nadia mempertimbangkan penawaran Gus Zain. "Saya bisa aja menerima penawaran Gus soal ketua organisasi jurnalistik. Tapi, saya sepertinya tidak bisa jika harus ikut lomba bulan ini.”
Gus Zain mengangguk paham. Ia baru teringat jika Ning Nadia pun harus membantu-bantu orang tuanya di pesantren. Hal itu membuat Gus Zain tak ingin membebani gadis di sampingnya dengan banyak tanggung jawab. "Tidak apa-apa, Ning. Saya juga baru teringat njenengan punya banyak kegiatan juga di luar sekolah."
"Kenapa njenengan tidak menawarkan pada Ahwa saja? Saya rasa perlombaan yang njenengan maksud sangat berhubungan dengan keahlian Ahwa dalam tulis menulis," tutur Ning Nadia mengungkapkan pendapat.
Gus Zain tersenyum tipis. "Sudah saya lakukan, Ning. Namun, dia menolak. Saya tidak pandai membujuk orang."
Seketika Ning Nadia menyangkutkan penolakan Ahwa soal dia yang menghindari semua kegiatan organisasi dan lomba. Ahwa adalah orang yang sangat kukuh terhadap pendirian.
"Jika boleh, saya bisa membantu njenengan," kata Ning Nadia.
"Benarkah? Apa tidak merepotkan?"
Ning Nadia menggeleng, "tidak sama sekali."
***
Usai percakapan antara ia dan Gus Zain, ada perasaan menyesal Ning Nadia karena dengan percaya dirinya akan membantu Gus Zain membujuk Ahwa. Ia baru terpikirkan ketika menanyakan perihal gadis itu menghindar dan berakhir sia-sia tanpa ada perubahan atau informasi mengenai alasan sebenarnya Ahwa.
"Membantu, boleh. Tapi harus sesuai kemampuan, dong, Nadia!" Ning Nadia merutuki dirinya sendiri.
Ia harus memikirkan cara membujuk Ahwa untuk ikut lomba. Bila bicara langsung, Ning Nadia seolah percaya bahwa cara itu tidak akan berhasil. Saat menuju kantin pun pikirannya terus digelayuti cara membujuk Ahwa.
Hingga matanya menangkap satu sosok di salah satu meja kantin yang seolah memunculkan jawaban atas kebingungan Ning Nadia. Ia bisa meminta tolong orang itu. Segera langkahnya menghampiri orang tersebut yang tengah asyik menikmati makanannya.
"Assalamualaikum, boleh saya duduk di sini, Hasbi?"
Ya, orang itu adalah Hasbi, teman dekat Ahwa. Akan sangat mudah bila meminta tolong Hasbi lah yang membujuk Ahwa. Ning Nadia berharap Hasbi mau dan membuahkan kesanggupan Ahwa untuk ikut lomba.
"Waalaikumsalam. Wah, sebuah keberkahan makan ditemani bidadari As-Syuhada," sahut Hasbi dengan nada bercanda dan raut yang dibuat takjub.
Ning Nadia terkekeh ringan. "Sendirian aja? Tidak bareng Ahwa dan temannya itu? Biasanya 'kan kalian suka makan di kantin bareng."
"Biasa, mereka berdua lagi jual mahal sama saya, Ning." Hasbi dengan pede mengucapkannya. "Tapi, saya gak sendirian juga, kok. 'Kan ditemani njenengan."
"Iya juga, ya." Ning Nadia mengangguk-ngangguk paham. "Saya lagi puasa sunnah, loh. Apa boleh makan di depan orang puasa?"
"Astagfirullah, Ning. Njenengan kenapa gak bilang? Terus kenapa ke kantin, mau batalin puasa, ya? Hayo." Hasbi malah memberi tuduhan, tapi hal itu malah membuat Ning Nadia tertawa. Sungguh sangat mudah bila memulai obrolan dengan Hasbi, orangnya nyambung.
Ning Nadia menghentikan tawanya dan mulai berbicara serius. "Karena saya ingin ketemu sampean."
"Ada apa gerangan? Apakah Abuya ingin menjodohkan saya dengan anak satu-satunya ini?" Tenang, itu hanya candaan Hasbi.
Banyak candaan yang dilontarkan Hasbi membuat Ning Nadia tidak bisa berhenti tersenyum lebar. Namun, ia harus benar-benar mengatakan niatnya dengan serius. "Jangan bercanda. Saya ingin meminta bantuan kamu, boleh?"
"Tentu saja. Bantuan apa?"
"Bujuk Ahwa untuk mengikuti lomba esai bulan ini untuk mewakili sekolah," kata Ning Nadia. "Harusnya Gus Zain yang ikut serta, tapi dia tidak bisa karena kesibukannya di kelas 12. Gus Zain sempat menawarkan saya, tapi saya pun tidak bisa karena harus bantu-bantu abuya di pondok. Lalu saya terpikir, kenapa tidak Ahwa saja? Toh, dia pantai menulis."
"Kenapa tidak njenengan saja yang bujuk?" tanya Hasbi.
Ning Nadia menundukkan pandangan sejenak, lalu menatap lurus kembali. "Susah, Hasbi. Kamu tahu 'kan akhir-akhir ini Ahwa selalu menghindar? Oleh karena itu, saya pikir mungkin saja dia mendengarkan ucapan teman dekatnya yaitu sampean."
Hasbi tersenyum tipis. "Teman yang paling dekat itu Kirana bukan saya. Tapi, saya akan coba bujuk dia. Ning, tidak usah khawatir."
Gadis di hadapannya seketika berterima kasih, dan mendoakan Hasbi agar sukses membujuk seorang Ahwa. Ning Nadia pikir, Ahwa tidak menghindari Hasbi, namun nyatanya Ahwa lebih menghindari Hasbi.
Hasbi tidak perlu bertanya lagi mengenai kabar yang berembus soal Ahwa, karena sepandai-pandainya ia menyimpan kebenaran soal Ahwa maka jika Allah menginginkannya terungkap, ia ataupun manusia lain tidak bisa menentangnya. Yang pasti, Hasbi memahami sikap Ahwa ini.
Pulang sekolah, demi melaksanakan janjinya pada Ning Nadia untuk membujuk Ahwa. Maka, ia memilih menunggu jemputannya di depan gerbang bersama Ahwa. Bisanya Hasbi sering pulang terakhir dan itu pun menunggunya di koridor sekolah.
Ketika halte tempat menunggu jemputan mulai sepi, dan tinggal Ahwa serta Hasbi. Hasbi pun memulai obrolan dengan candaan agar Ahwa tidak terlalu kaku.
"Sendirian aja nih, Mbak nya."
Terlihat Ahwa melirik sedikit dan sekilas. "Enggak. Berdua."
"Iya juga, ya." Hasbi menggaruk tengkuknya. "Ahwa, omong-omong udah dengar belum kalau sekolah ikut serta dalam lomba esai bulan ini."
"Pasti kamu ingin membujukku untuk ikut serta, menggantikan Gus Zain," serkah Ahwa seolah tahu arah pembicaraan ini. "Aku tetap akan menolak."
Hasbi mengembuskan nafas kecewa karena Ahwa memberi jawaban sebelum ia bertanya. "Ayolah, sekolah yang membutuhkan kamu. Bukan saya, ataupun Gus Zain. Kamu ingin kuliah di Yaman 'kan? Maka ini jalan awalnya, jika kamu berprestasi dan terus mengharumkan nama sekolah, akan ada rezekimu untuk ke sana. Insyaallah."
"Cukup Hasbi." Ahwa menghentikan secara sopan agar Hasbi tidak semakin membujuknya, karena keputusan Ahwa sudah bulat.
"Kamu boleh menghindar dari perasaan itu, tapi kamu tidak boleh menghindar dari masa depanmu. Impianmu adalah bagian dari masa depan itu." Akan tetapi Hasbi tetap berbicara.
Sehingga Ahwa hanya diam tidak menanggapi. Ahwa hanya membuka mulut ketika jemputannya sudah datang dan berpamitan pada Hasbi. Saat itu Hasbi hanya bisa berharap pada Allah yang bisa membolak-balikan hati manusia.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomantizmLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...