Part▪︎9

76 5 0
                                    

Gelap telah menggantikan terang dengan ditutup oleh senja yang indah. Di rumahnya, Hasbi baru saja kembali dari masjid usai melaksanakan salat Magrib dan Isya. Kebetulan tidak ada pekerjaan rumah untuk dikumpulkan besok. Jadilah dia menunggu sekalian salat Isya
Sesaat setelah membuka pintu kamar, Hasbi dikejutkan dengan kehadiran adik perempuannya yang entah sejak kapan telah duduk manis di kursi meja belajarnya. Untung dirinya bukan tipe yang lantas berteriak saat terkejut. Tidak tahu kenapa adiknya ini hobi sekali di kamarnya. Ya, dia mengakui kamarnya memang nyaman. Barangkali karena itu.

Penasaran dengan apa yang tengah dilakukan sang adik hingga tak sadar akan kehadirannya, Hasbi pun mendekat dan bermaksud hendak mengejutkan sang adik. Akan tetapi, justru dirinya yang terkejut dengan apa yang dilakukan perempuan sekolah menengah peetama ini.

“Ya Allah. Kamu ngapain?”

“Eh, Mas Hasbi. Ini, loh, bagus banget tulisannya.” Bukannya takut karena garis wajah kakaknya yang sedikit lebih serius, adiknya justru mengungkapkan kekaguman terhadap isi buku yang tengah asyik dibacanya tersebut.

“Nggak sopan banget, ya, kamu. Siapa yang ngajarin? Sini-sini bukunya.” Hasbi langsung mengambil alih buku dalam genggaman adiknya.

“Ih, tapi bagus loh isinya.” Adiknya merengut tak terima.

“Kalau bukan punya kamu itu jangan asal main buka-buka begitu,” ucap Hasbi memperingati seraya meletakkan buku itu kembali ke asalnya.

Hasbi beranjak meletakkan sajadah dan kopiah. Dirinya kembali berucap, atau mungkin lebih tepatnya mengomel untuk entah yang ke berapa kalinya. “Lagian kamu seneng banget masuk kamar mas. Nyari apa, sih?”

“Tadi aku mau pinjem sweter punya Mas Hasbi, tapi malah salah fokus sama bukunya. Soalnya baru pertama kali lihat ada di meja belajar. Ya udah, aku buka. Isinya bagus banget masa. Ngena banget, terharu,” jelas sang adik dengan penuh ekspresi.

Sebelum menyahut, Hasbi memposisikan diri duduk berselonjor di kasur setelah mengambil ponsel yang terakhir kali dirinya buka saat siang. Barangkali ada info penting dadakan.

Meskipun mata terfokuskan ke layar ponsel, keheranannya terhadap adik satu-satunya ini terlontar dengan lancar. “Mas heran sama kamu. Perasaan baju kamu banyak banget, loh. Kok kayak sering banget pinjem punya mas.”

“Ya nggak apa-apa. Pengin aja. Terus yang penting dibalikin, 'kan? Boleh, ya? Itu, kan, fungsi kakak.” Hasbi membelalakkan mata mendengar ucapan adiknya.

“Pas dibalikin ada coretan pulpen. Lagian apa, sih, fungsi adek?” Tolong, jangan heran. Hasbi jika dirumah memang level kecerewetannya seperti itu, terkadang.

“Fungsi adek ngebikinin mi instan buat kakak. Bikin mi itu effort-nya besar, loh.”

“Kalau pas lagi mager doang paling. Lah, ini minjem baju sehari bisa tiga kali.” Hasbi terus mengeluarkan isi hatinya.

“Masalahnya magernya itu hampir selalu,” ucap sang adik, membuat Hasbi hendak menyangkal tak terima. Akan tetapi, belum sempat terlontar, ucapannya menggantung karena teguran seorang ibu.

“Mamas, Dede! Sampun. Udah malem ribut terus kalian ini,” ucap ibu keduanya sedikit berteriak dari luar kamar.

“Ma, dede mau pinjem sweter Mas Hasbi masa nggak boleh.” Hanya istigfar yang bisa Hasbi lafalkan.

“Dede juga punya baju sendiri, 'kan?” Harapannya sang ibu akan mendukungnya, tetapi ternyata semua berjalan tak sesuai ekspektasi.

“Nah. Dengarkanlah wahai anak muda,” ucap Hasbi, “udah, sana belajar.”

“Pinjem loh.” Belum selesai. Sang adik masih merengek ingin meminjam.

“Kamu mau sekolah, ya. Bukan mau OOTD-an. Belajar yang bener.”

Kalimat Hasbi barusan menutup keributan malam ini. Kamarnya telah damai. Akan tetapi, kini giliran isi kepalanya yang tengah bertengkar. Tiba-tiba saja dia penasaran dengan isi buku tersebut. Sebenernya sejak tadi siang dan rasa penasarannya telah lenyap. Karena ulang sang adik membuat rasa penasaran kembali menyinggahi dirinya.

Haruskah dia memakan ucapannya sendiri karena memilih membuka buku tersebut atau mencoba menahan rasa penasaran ini? Hasbi merasa benar-benar bingung untuk beberapa saat. Antara rasa penasaran dan adab, mana yang harus dia dahulukan.

Tentu saja seharusnya adab. Akan tetapi, rasa penasaran Hasbi lebih tinggi. Sedangkan adabnya terkadang sebatas ilmu yang tak dipraktikkan. Meskipun masih ingat akan ucapannya saat menegur sang adik, Hasbi tetap membuka tersebut.

Rapi. Kata yang mampu menggambarkan isi buku bersampul biru tersebut. Sepertinya rangkaian kata-kata yang tertulis benar-benar ditulis dengan sepenuh hati. Akan tetapi, kenapa pemiliknya ceroboh sekali menjatuhkannya, bahkan saat hujan tengah mengguyur basah bumi.

Hasbi tak hanya terpaku dengan rapinya tulisan. Dia juga terpaku dengan isinya. Bagaimana mungkin? Tentu, tidak ada yang tidak mungkin. Namun, kenapa harus yang ini? Haruskah semua dia akhiri setelah menemukan nama seseorang di buku ini?
Hasbi bermonolog. Apakah dirinya saat ini tengah bermimpi. Sebuah mimpi yang buruk untuk hatinya, tetapi menjawab segala tanya yang terus bermunculan saat ini. Tidak mungkin dirinya salah membaca.

Jika tahu akhirnya seperti ini. Tentu Hasbi memilih untuk tidak mengetahui isi buku yang dia temukan ini. Jelas dia tahu siapa pemilik buku ini. Isinya, sama seperti pesan rahasia di akun menfess sekolah yang ditujukan untuk Gus Zain. Penyesalan memang selalu datang terakhir.

Jadi, dia? Benar dia pengirim rahasia itu? Dia yang telah Hasbi kagumi sejak lama. Jadi, setelah ini Hasbi harus mengakhiri rasa kekagumannya begitu saja? Ini tidak adil untuk hatinya.

“Argh!” Hasbi mengerang pelan seraya meletakkan buku itu.

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang