Part▪︎32

70 6 0
                                    

Pertemuan hari itu membuat Gus Zain seringkali terdiam dengan pandangan kosong dan lebih suka menyendiri. Keramahannya kepada orang lain yang sudah menjadi ciri khasnya, seketika saat ini seakan harus dilakukan dengan terpaksa.

Pukul 02.34 Gus Zain terduduk di atas sajadahnya yang telah terbentang lebih dari lima belas menit lalu di tengah dinginnya malam yang mungkin membuat manusia lain di muka bumi lebih memilih menenggelamkan diri dalam selimut.

Usai melaksanakan qiyamullail, Gus Zain mengutarakan segala yang tengah riuh dalam batin dan benaknya. Dirinya percaya akan perkataan Imam Syafi'i, dua tangan yang menengadah kepada Allah di malam hari, tak 'kan pernah kembali dalam keadaan hampa.

Dia yakin Allah akan meyakinkan hatinya yang ragu, menentukan yang terbaik meski hal itu untuk saat ini terasa seakan bukan yang terbaik menurutnya. Bagaimana mungkin dirinya seolah lebih tahu, padahal Allah Maha Tahu yang terbaik untuknya.


***


Gelap yang telah berganti terang. Semenjak hari semua yang begitu mendadak terjadi, Gus Zain tak kunjung yakin dengan keputusannya. Hingga hari ini tiba. Hari dimana segalanya harus menjadi jelas. Kata ya dan tidak memang terdengar singkat, tetapi akan menjadi gambaran bagaimana kehidupannya kelak setelah hari ini.

"Gus ...."

"Iya, Bah." Gus Zain yang dipanggil menyahut dari teras rumah.

"Sampean nggak lupa, 'kan?" Lelaki berpakaian gamis putih dengan dibaluti imamah pada kepalanya berjalan mendekati sang anak.

"Iya, Bah. Zain nggak lupa. Nanti sore, 'kan?" Gus Zain tersenyum. Mencoba terlihat baik-baik saja.

"Seharusnya sekarang, tapi abah harus menghadiri undangan ngisi pengajian. Pokoknya abah pulang, kita langsung bicara empat mata." Abahnya terdengar serius dalam berbicara.

"Zain juga mau ngajar Ibtidaiyah. Abah hati-hati di jalan. Pokoknya keamanan nomor satu." Gus Zain duduk di teras sembari mengecek kembali buku-buku yang berada dalam genggaman tangannya.

"Keputusan kamu nomor satu."

"Zain ngajar dulu, Bah." Jeda sepersekian detik, Gus Zain mengalihkan arah pandangnya. "Nyetirnya nyantai aja, Kang. Pokoknya yang penting aman. Titip Abah, ya."

"Siap, Gus."

"Zain ngajar dulu, Bah. Assalamu'alaikum," ucapnya seraya mencium secara takzim tangan yang telah mengusahakan berbagai hal demi kebahagiaan dirinya, bahkan semenjak belum melihat bagaimana dunia dan segala isi serta ujiannya.


***


Kedua kakinya dengan perlahan melangkah menuju sekolah Ibtidaiyah yang letaknya tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat dari ndalem. Mengajar siswa tingkat Ibtidaiyah terkadang membuatnya harus terus belajar untuk bersabar, tetapi tidak jarang pula menyelamatkan senyumnya yang hampir hilang, tenggelam terbawa peliknya kehidupan. Semoga saja kali ini mereka menyelamatkan kembali senyum itu.

Benaknya tiada henti menerawang jauh ke masa yang masih menjadi terkaan-terkaan batinnya yang kini tengah kacau. Antara keinginannya atau harapan orang tua. Sampai kalimat beranjak dewasa terlewati pun setiap anak masih tetap menjadi harapan orang tuanya. Akan tetapi, apakah untuk kali ini Gus Zain pun harus tetap mencoba memenuhi harapan orang tuanya itu?

“Allah, hamba memohon yang terbaik menurut-Mu saja,” ucapnya pasrah.

“Gus, ada Gus Zain.”

Tidak jauh di depan sana segerombolan anak-anak berucap dengan sedikit berteriak kala melihat dirinya. Anak-anak yang sebelumnya tengah bermain-main di depan kelas itu bergegas memasuki ruang kelasnya. Gus Zain mengulas senyum.

“Assa–“

“Mbak Ahwa tadi pagi ngasih ini. Nanti istirahat makan bareng, ya."

Keterkejutannya berlangsung sejenak. Bergegas Gus Zain mengulangi salamnya yang tak selesai terucapkan. “Assalamu’alaikum.”


***


Di ndalem, selepas Ashar. Gus Zain pasrah dengan apa yang akan diucapkannya nanti. Tidak mungkin Tuhannya salah menetapkan takdir. Barangkali ini lika-liku sebelum menemukan tempatnya berlabuh yang sesungguhnya, atau mungkin memang ini tempatnya seharusnya berlabuh.

“Abah.”

“Gimana, Gus?”

Nggih, Zain mau.” Tanpa basa-basi, kebersediaan dirinya langsung terucap.

Mungkin dan semoga ini yang terbaik. Sejak kecil, abahnya menaruh banyak harap pada dirinya, tetapi tidak pernah sekalipun memaksa agar terpenuhi. Akan tetapi, kini netra lelaki hebatnya yang tidak lagi muda itu memancar penuh harap. Jika tebersit dalam hatinya sebuah penolakan, anggap saja dirinya hanya tengah mengikuti bagaimana alur kehidupan menuntunnya.

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang