Part▪︎2

238 10 0
                                    

Masalah datang bagai sebuah kilatan di awan hitam, menyergap tanpa aba-aba dan meninggalkan jejak yang diibaratkan hujan serta genangan, sebut saja jejak masalah itu ialah kesedihan. Tidak semua orang bisa dengan cepat membersihkan kesedihan, adakalanya mereka terpuruk, mengasingkan diri, dan yang lebih parah menjadikan jejak kesedihan sebagai trauma mendalam.

Namun, ada sebagian orang-orang yang berusaha mencari cara berpaling dari kesedihan, dengan alasan tidak ingin berlama-lama pada hal yang membuat batin bahkan raga menjadi lemah. Gus Zain berusaha menjadi bagian orang-orang tersebut. Tujuh hari, adalah waktu yang ia biarkan dirinya terpuruk pada kesedihan atas berpulangnya bidadari tanpa sayapnya.

Sekarang, tujuh hari itu telah habis. Gus Zain sekuat hati berdamai pada kehilangan, karena ia sadar bukan dirinya saja yang merasakan kehilangan tersebut, tapi juga sang Abah. Bila Gus Zain terus terpuruk, siapa yang akan menguatkan sang Abah?
Gus Zain kembali ke sekolah, ia seolah melibatkan diri dalam kesibukan untuk mendukungnya dalam langkah mendamaikan hati ini. Pagi ini, sebelum kelas dimulai, pihak kepala sekolah memanggilnya untuk ke ruangannya. Dengan langkah lebar, Gus Zain segera menuruti perintah tersebut. Sebelum masuk, diketuknya pintu kayu jati itu seraya mengucap salam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Masuk, Gus." Suara kepala sekolah menyahut.

Gus Zain pun membuka pintu tersebut dan melangkah masuk. Matanya langsung tertuju pada dua orang murid yang ada di sana juga. "Bapak memanggil saya?" tanya Gus Zain dengan sopan.

Pria paruh bayu berkepala plontos pun mengangguk. "Nggih, Gus. Silakan duduk."

Gus Zain pun duduk, namun sebelum itu ia menyapa kedua murid yang ada di sana dengan anggukan kecil dan senyuman, keduanya membalas pula dengan senyuman tipis.

"Begini. Saya akan mengikutkan kalian bertiga sebagai perwakilan sekolah ke perlombaan untuk SMA, SMK, MA tingkat kabupaten. Akan ada dua perlombaan yang akan kita ikutsertakan, yaitu kompetisi sains dan cerdas cermat pendidikan Islam," jelas pak kepala sekolah.

"Untuk pembagiannya, Gus Zain dan Hasbi akan mengikuti kompetisi sains, sedangkan Ning Nadia mengikuti cerdas cermat tersebut. Kalian bertiga terpilih setelah kami para guru melihat potensi masing-masing murid dari kelas 10 hingga 12," lanjut pria berkepala plontos tersebut. Lalu ia menatap secara bergantian kepada tiga murid berprestasi di hadapannya. "Bagaimana? Kalian bersedia?”

"Saya bersedia." Tanpa pikir panjang Gus Zain menyetujuinya, karena inilah yang sedang ia butuh kan, yaitu kesibukan. Selain belajar tentunya.

Pria bernama lengkap Hasbi Maherza tersebut ikut mengangguk. "Saya juga bersedia, Pak."

"Saya, insyaallah bersedia." Ning Nadia mengangguk kecil, lalu bertanya, "Kiranya, waktu perlombaannya kapan, ya, Pak?"

"Minggu besok. Kalian bisa manfaatkan minggu sekarang sebagai latihan atau memperkuat materi."

"Nggih, Pak," sahut serentak mereka bertiga.

Setelah pemberitahuan lomba, mereka bertiga lantas meninggalkan ruangan dengan beriringan. Sebelum pergi ke kelas masing-masing, Gus Zain mengajak Hasbi berkenalan lebih dekat. Meskipun Hasbi adalah anak kelas sepuluh, dan ia adalah kelas dua belas, tapi tak ada ajang senioritas dalam kamus seorang Gus Zain.

"Ini nomor ponsel saya, buat nanti janjian belajar persiapan lomba bareng, Gus." Hasbi menyodorkan kertas kecil yang terdapat nomor ponselnya.

"Saya akan simpan. Terima kasih," ujar Gus Zain.

Hasbi lalu menoleh pada Ning Nadia yang ada di belakang ia dan Gus Zain, gadis itu hanya terdiam memerhatikan perkenalan singkat dua pria di hadapannya. "Ning, njenengan ingin nomor saya juga?" Hasbi menawari dengan nada bercanda.

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang