Benar kata orang, cara terbaik melampiaskan rasa sakit di hati adalah dengan menyibukkan diri dan cara terbaik melupakan adalah dengan mengikuti alur semesta. Mengajarkan diri sendiri untuk sabar dan berprasangka baik pada takdir pun sering kali digunakan oleh beberapa orang untuk berpaling dari kenyataan.
Bagi Ahwa, apa yang terjadi atau informasi apa yang terdengar olehnya selama bertahun-tahun ini merupakan pemacu semangatnya untuk menyelesaikan pendidikan. Ahwa bukan lagi sosok gadis SMA yang akan melamun ketika ada permasalahan di hatinya. Hal paling membahagiakan pada dirinya sendiri, di saat bisa mengendalikan rasa sakit serta kecewa pada hal yang bermanfaat.
Hingga hari di mana tuntasnya Ahwa menimba ilmu di Yaman itu tiba. Rasa syukur dan pasti akan rindu tempat suci ini bercampur memenuhi relung hati. Ketika kakinya pertama kali melangkah di bandara Indonesia, Ahwa berjanji pada dirinya untuk senantiasa mengamalkan ilmu yang didapat dan menyebarkannya pada orang lain. Selain membawa segudang ilmu, Ahwa kembali ke negeri asal dengan penampilan berbeda. Ia menggunakan kain cadar untuk menutupi wajah cantiknya, dan mata itu menjadi lebih teduh.
Kedua kaki yang dulu enggan meninggalkan kini melangkah kembali pulang dengan keyakinan dan rasa bangga. Menantikan keluarga tercinta adalah hal pertama yang dilakukan Ahwa di bandara. Rasa rindunya sudah menumpuk selama bertahun-tahun.
Seraya menunggu, ia merasa haus oleh karena itu kaki membawanya pada mesin minuman. Ahwa ternyata kesulitan untuk menggunakan mesin tersebut. "Astagfirullah, ada apa dengan mesinnya?" Ahwa menggerutu sangat pelan.
"Permisi, boleh saya bantu?"
Suara laki-laki di belakangnya membuat Ahwa membalikkan badan dan sedikit menjauh. Matanya sekilas melihat pada sosok tersebut dan lalu mengangguk, "Boleh jika berkenan. Saya kesulitan menggunakan mesinnya."
Laki-laki melangkah maju pada posisi depan mesin, dan Ahwa sedikit mundur kembali. Di luar dugaan mesinnya berjalan dengan lancar, tapi mengapa tadi oleh Ahwa tidak bisa digunakan? Apa Ahwa terlalu kudet?
"Terima kasih banyak," ucap Ahwa sembari menerima sebotol minuman kaleng dari laki-laki tadi.
"Sama-sama." Tanpa menatap Ahwa, laki-laki itu lantas pergi dengan dua botol minuman di tangannya.
Sementara Ahwa beberapa detik menatap minuman di tangan nya, lalu menatap ragu sosok laki-laki yang kini hanya terlihat punggungnya saja. Tampak dia memberikan satu minuman tadi pada sosok wanita di sampingnya. Ahwa tersenyum tipis di balik cadar, karena mengenali siapa laki-laki dan wanita tersebut.
Tanpa sepatah kata untuk menjelaskan perasaannya saat ini, Ahwa lantas memilih memalingkan wajah dan pergi dari sana. Ia akan menunggu keluarganya di tempat lain saja.
***
"Saya ke mari dengan memberanikan diri untuk melamar putri bapak dan ibu yang bernama Ahwa."
Atmosfer udara seketika menipis ketika sebuah pernyataan diucapkan oleh kedua bibir yang melengkung manis bak bulan sabit saat ini. Di balik senyuman itu ada debaran yang luar biasa hebat. Serta di sisi lain si pemilik nama yang disebutkan tadi sempat melirik tak percaya pada sosok yang melamarnya dan lalu tertunduk seraya memainkan jemarinya di balik lengan panjang baju gamis.
"Apa, Nak Hasbi sudah yakin?" Sebuah pertanyaan memecah kecangguan yang ada di sana. Tanya itu terucap oleh ayah dari Ahwa.
Hasbi mengangguk yakin. "Insyaallah, Pak. Saya sudah mengenal Ahwa sejak lama, kami bersahabat dekat sehingga saya tahu kekurangan dan kelebihan putri bapak. Saya sudah mempertimbangkan keduanya sejak lama juga, sampai saya punya keberanian dan waktu yang tepat untuk mengatakan niatnya."
"Bapak dan Ibu memutuskan tergantung dari anaknya bagaimana. Kami tidak ragu padamu, Nak, akan tetapi keputusan Ahwa juga lebih penting. Bagaimana, Ahwa?"
Pertanyaan kini terlempar pada Ahwa yang seketika menatap sang ayah dan ibu, nafasnya seolah menjadi pendek karena kebimbangan.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...