Part▪︎15

73 3 0
                                    

Langkahnya seketika terhenti di sela ucapan Gus Zain yang menyelusup ke indra pendengaran. Ahwa hanya diam terpaku. Bibirnya ingin sekali terbuka, menyuarakan segala resah dari relungnya yang merasa tak diperlakukan adil oleh keadaan.

Dia tak meminta rasa itu hadir, bahkan tak diberi kesempatan untuk memilih kepada siapa rasa itu dijatuhkan. Dia hanya memiliki hak untuk menyelami rasa itu lebih dalam atau menepi karena tak siap jika suatu saat harus tenggelam. Akan tetapi, saat hendak melupakan pun takdir seolah tidak mengizinkan.

Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar kehidupannya tak bisa mencoret nama laki-laki itu, Gus Zain. Bersinggungan dengannya di rotasi kehidupan cukup menyesakkan bagi Ahwa. Merasakan sendirian, lalu dihakimi lancang mengagumi.

Dia ingin pergi. Terlepas dari segala ekspektasi, menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran tentang di taraf mana dirinya berada. Sungguh, Ahwa ingin merutuki hatinya sendiri. Terlalu tinggi terbang, padahal tempatnya bukan di atas. Di sana hanya terombang-ambing bersama hujan.

“Saya nggak akan ngungkit hal itu, kalau kamu merasa malu.”

Suara itu menyadarkannya dari lamunan. Seiring derap langkah yang terdengar mengikis jarak. Tidak, Ahwa tidak merasa malu. Dia hanya merasa kehilangan akal. Bodoh sekali dirinya berurusan dengan cinta. Sadar, tetapi tidak lekas bangun dari mimpi panjangnya itu. Larut dalam harapan yang sudah jelas kemungkinan besar sebuah akhirnya.

Derap langkah mendekat ke teras musala. Keadaan musala sekitar empat bulan lalu yang sepi menjadikan suara langkah itu terdengar dengan kentara, menarik atensi seorang lelaki yang masih lengkap dengan kopiah menutup rambut hitamnya. Gerak tangannya yang tengah mengikat tali sepatu terpaksa terhenti.

Sebuah senyum tercetak di bibir pemilik derap langkah tersebut. Seperti sebuah senyum yang dipaksakan. Akan tetapi, dibalas sebuah senyum tulus oleh seorang lelaki yang tengah terduduk tersebut.

“Gus,” sapanya.

“Hasbi, ada apa?”

“Kebetulan ketemu njenengan di sini. Boleh minta waktunya sebentar?” Hasbi bertanya meskipun tak yakin perihal ini akan memakan waktu yang sebentar.

Gus Zain melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu mengangguk kepada Hasbi. “Ada apa? Kayak nggak biasanya ngobrol aja kamu. Haha.”
Hasbi menoleh ke sekeliling, memastikan musala sepi. Entah dirinya harus mengucapkan rasa syukur atau istigfar karena keadaan musala Duha ini sejauh jangkauan matanya tampak sepi.

Yakin tidak ada orang lain di sekitar dirinya dan Gus Zain duduk, Hasbi lantas mulai angkat bicara. “Soal menfess itu, Gus.”

Gus Zain sedikit menarik diri menegakkan tubuhnya ke belakang. Bukan, bukan karena dirinya tertarik atau senang karena tercium akan ada kabar baru tentang menfess tersebut yang akan disampaikan oleh Hasbi. Melainkan ... Hasbi benar-benar sepeduli itu dengan menfess yang ditujukan untuknya? Bukankah itu berlebihan, pikir Gus Zain.

“Kamu masih mengikuti perkembangan kabar menfess itu, ya?” Sontak saja Gus Zain bertanya demikian.

“Jujur, Gus, saya nggak pernah ada niatan ngikutin perkembangan kabar soal menfess itu. Tapi ngapunten, isi fyp akun sosial media saya isinya pengagum njenengan yang ngebahas soal itu.” Hasbi meluruskan pernyataan dalam pertanyaan Gus Zain yang memungkinkan timbulnya kesalahpahaman.

“Terus apa yang mau kamu sampaikan? Mereka yang membahas menfess itu?” cecar Gus Zain.

“Bukan, Gus. Saya mau ngomongin hal lain. Bukan mereka yang bahkan nggak tau keadaan kita yang sebenernya.” Hasbi meralatnya.

Kali ini Gus Zain hanya diam mengangguk seolah mempersilakan Hasbi untuk menyampaikan apa yang mengganjal di hatinya hingga seserius ini menemui dirinya. Mengingat waktu istirahat yang tak lama lagi berakhir juga.

“Sebelumnya, saya nggak bermaksud apa-apa menyampaikan ini ke njenengan, Gus. Orang yang akan saya bicarakan juga nggak ada sangkut pautnya kenapa saya bisa bicara ini sama njenengan.” Hasbi benar-benar hati-hati dengan ucapannya.

“Langsung aja, Bi. Nggak apa-apa.” Bukan tak sabar. Gus Zain hanya takut obrolan ini belum tuntas dan terpaksa terpotong karena jam pelajaran dimulai.

Hasbi mengangguk sebelum akhirnya berkata, “Pengirim menfess yang ditujukan buat njenengan itu teman kita, Ahwa.”

Gus Zain terlihat terkejut mendengar penjelasan Hasbi. Ini benar-benar di luar dugaannya. Tidak terlintas sedikit pun jika Ahwa pengirimnya. Bagaimana mungkin dirinya menerka Ahwa orangnya setelah apa yang selama ini dirinya lihat hanya Ahwa yang pendiam.

“Kenapa kamu bisa tau dan yakin kalau Ahwa orangnya?” Gus Zain bertanya penasaran.

“Waktu itu, pulang sekolah hujan. Nggak sengaja saya lihat Ahwa lagi nunggu jemputan. Pas mau samperin dia malah pergi dan buku diari dia jatuh. Ya udah saya ambil. Awalnya saya penasaran, tapi menahan diri buat ngebuka karena itu bukan milik saya. Tapi ada suatu kejadian di rumah yang akhirnya saya bener-bener ngebuka buku diari itu,” jelas Hasbi.

“Ada apa di buku itu sampai kamu yakin kalau Ahwa orangnya?” Gus Zain sedikit penasaran juga dengan isi buku tersebut.

“Ada nama njenengan, Gus. Lengkap dengan kalimat-kalimat di postingan menfess itu. Selanjutnya saya nggak baca, tapi sekilas saya ngelihat cukup banyak nama njenengan tertulis di situ. Sejak tiga tahun yang lalu.”

Merasa Gus Zain tidak ada niatan untuk menanggapi, Hasbi pun kembali angkat bicara. “Saya minta maaf harus menyampaikan ini. Saya juga minta tolong sama njenengan buat nggak menjauhi Ahwa setelah ini, karena ini bener-bener keinginan saya buat ngomong ini.”

“Nggak ada alasan buat saya ngejauhin Ahwa setelah ini,” sahut Gus Zain, “kamu juga nggak harus ngomongin ini ke saya.” Jujur saja Gus Zain merasa bingung harus menanggapi seperti apa. Mengetahui rahasia seseorang yang telah disimpan rapi selama bertahun-tahun lamanya itu seperti ... ah, entahlah.

“Saya cuma mau meluruskan kesalahpahaman ini. Biar jelas kalau bukan Ning Nadia pengirimnya,” jelas Hasbi.

“Tapi orang lain bakal tetep mengira sesuka hati mereka. Kamu jangan lupakan kewajiban kita buat menyembunyikan identitas asli pengirim,” ucap Gus Zain.

“Bukan itu juga inti yang mau saya bicarakan, Gus. Tapi ... maaf, boleh tolong njenengan nyoba buka hati buat Ahwa? Mempertimbangkan memandang Ahwa lebih dari teman untuk beberapa tahun ke depan.”

Tidak ada yang menjamin sebuah perkataan yang telah terlontar hanya akan didengar oleh satu orang untuk selamanya. Entah berawal dari telinga mana yang tidak sengaja mendengar obrolan kedua laki-laki itu, dalam beberapa hari kabar tersebut telah menyebar di seluruh sudut sekolah.

Sejak empat bulan lalu, Ahwa dihujani tatapan intimidasi oleh banyak orang. Hampir tak terkecuali orang yang mengetahui kabar itu. Tentu Ning Nadia tahu juga. Dia tidak bereaksi tak baik terhadap kabar itu, tetapi Ahwa yang memilih menjauh.

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang