Part▪︎12

70 3 0
                                    

Salah satu masjid besar di dekat alun-alun kota Blitar kini sedang mengadakan acara kajian islami yang diselenggarakan oleh ikatan remaja islami Blitar. Selesai isya, berduyun-duyun kendaraan memadati halaman masjid sebagai tempat parkir, dan di luaran gerbang ada penjual pernak-pernik serta makanan.

Kajian itu didatangi oleh mayoritas para anak muda, salah satunya Hasbi. Ia datang karena merasa diundang khusus oleh si pengisi acara kajiannya langsung, yaitu Gus Zain. Hasbi merasa bangga sendiri bisa hadir pertama kalinya melihat sang teman membagi ilmunya di hadapan banyak orang.

Mereka di luaran yang mengenal Gus Zain, pasti tidak akan absen dari acara ini, terlebih hanya dipungut biaya seikhlasnya yang nantinya akan disumbangkan pada panti asuhan.

Awal sampai di halaman masjid, Hasbi tidak bisa untuk bertemu Gus Zain mungkin karena dia ada di ruangan lain bersama panitia. Maka dari itu, Hasbi ikut berbaur bersama para hadirin lainnya dan duduk di tengah-tengah mereka. Tempat duduk dipisahkan antara wanita dan pria, seperti ketentuan umum yang biasa dilakukan pada acara-acara islami.

Beberapa menit harus menunggu, akhirnya acara pun dimulai dengan sambutan oleh salah satu panitia. Lalu, dihadirkannya Gus Zain dengan penuh penghormatan, namun Gus Zain tetap bersikap rendah hati dengan menerima mic sedikit merendahkan tubuhnya.

Tibalah Gus Zain membahas tema yang akan dikaji malam itu, yaitu mengenai Pacaran Bukan Jaminan. Tema yang seusai untuk acara kajian para anak muda. Para hadirin mulai mendengarkan dengan serius, mereka mudah memahami setiap perkataan yang disampaikan Gus Zain, sebab dia menggunakan bahasa yang santai dan tidak terlalu berat.

Hasbi ikut larut dalam acara, namun di pertengahan pikirannya berkelana karena salah satu kalimat yang dikatakan Gus Zain. "Cinta itu diikhlaskan bukan dipaksakan. Bila ingin diperjuangkan, lihatlah diri sendiri apakah sudah pantas untuk dia."

Hati Hasbi terasa tersindir, bukan karena ia mengharapkan pacaran akan tetapi arti lain dari kalimat itu yang seolah cocok diperuntukkan untuk Hasbi. Kedua netranya melihat Gus Zain yang ada di podium dengan lekat, penampilan pria itu, cara bicaranya, tatapannya, dan kepintarannya, semua terlihat sempurna.

Hasbi membandingkan ia dengan Gus Zain, tampak sangat jauh. Siapa Hasbi yang pantas disandingkan dengan sosok anak Kiai dan santri. Bukan tidak bersyukur, akan tetapi itu jelas adanya perbedaan. Para wanita sholeha pasti menginginkan pria yang sholeh juga.

Sekarang Hasbi tahu 'perempuan itu' mengagumi Gus Zain karena apa. Hasbi tidak naif untuk mengakui dirinya telah kalah jika mengenai perasaan. Orang yang selalu ada tidak menjamin ia akan menang.


***


Kajian telah selesai, acara itu berlangsung selama hampir memakan waktu dua jam. Para hadirin merasa puas oleh materi-materi yang dibawakan oleh Gus Zain. Beberapa dari mereka memilih untuk memilih menyinggahi beberapa kedai yang ada di depan halaman masjid.

Hasbi sendiri memilih duduk di kursi bawah pohon yang ada di sekitaran masjid. Ia menunggu seseorang. Sampai orang yang ditunggunya lewat, Hasbi menghampiri seraya memanggil.

"Gus Zain!"

Gus Zain lantas menghentikan langkahnya dan menoleh. "Hey, Hasbi. Ada di sini juga?"

"Masa pengisi acaranya langsung yang ngundang, saya gak dateng," ucapnya diakhiri kekehan ringan.

"Saya tidak melihatmu ketika datang."

"Ya iyalah gak lihat, ente 'kan ada di ruang panitia." Nada bicara Hasbi membuat Gus Zain tertawa renyah. "Mau langsung pulang?"

Gus Zain terlihat berpikir. "Hem, iya. Tidak ada kegiatan lagi hari ini."

"Boleh saya bicara sebentar dengan njenengan? Ada hal yang ingin ditanyakan."

Gus Zain menyetujuinya. Mereka akhirnya menyambangi salah satu kedai kopi yang tak jauh dari masjid tempat acara kajian tadi.

"Apa yang ingin sampean tanyakan?" Gus Zain langsung bertanya ketika dua cangkir kopi terhidang di meja mereka.

Tampak raut Hasbi menyiratkan keseriusan. "Nanya soal, perempuan yang mengagumi njenengan di sekolah."

"Sampean masih saja penasaran ternyata," ujar Gus Zain, tersenyum lebar.

"Sekarang saya malah lebih penasaran tanggapan Gus Zain mengenai perempuan itu."

"Maksud sampean?"

Hasbi menyedot kopinya terlebih dahulu. Lalu bertanya. "Maksudnya, kalau misalnya perempuan itu adalah kalangan biasa alias bukan dari kalangan Nawaning seperti njenengan, bagaimana njenengan menyikapinya?"

Seperkian detik Gus Zain terdiam, ia memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Hasbi. Hingga ia pun membuka suara. "Saya simpel aja, sih, Bi. Kalau misalnya ada yang mudah, kenapa harus dipersulit. Jika memang sudah jodohnya, pasti Allah sendiri yang menyatukan kami. Allah berencana lebih dari apa yang direncanakan manusia," ungkapnya.

"Sebanyak apa pun perbedaan dan pertentangan, saya yakin tidak ada yang bisa menghalangi takdir Allah untuk terlaksana," sambung Gus Zain.

"Bagaimana dengan abah njenengan?"

Gus Zain mengembuskan nafasnya seraya melempar pandangannya pada aktivitas malam hari di luar kedai. "Pada dasarnya orang tua memiliki alasan tersendiri dalam ketentuannya. Namun, orang tua juga menginginkan kebahagiaan anaknya meski harus mengorbankan ketentuan serta prinsipnya."

"Jika Allah meridhoi hubungan itu, kenapa orang tua tidak? Bukankah, ridho orang tua adalah ridho Allah juga."

Hasbi tersenyum kagum pada jawab Gus Zain. Namun hal itu malah menambah pergulatan batin Hasbi, untuk mengatakan yang sejujurnya tentang perempuan itu atau tidak. Tapi yang pasti, ada masanya semua terungkap disadari atau tidak.

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang