Part▪︎25

62 4 0
                                    

Layaknya takdir yang tak terduga, kehadiran seseorang pun terkadang tanpa aba-aba. Hadir dan pergi begitu saja. Akan tetapi, mungkin manusia yang satu ini bisa dikatakan selalu ada. Meskipun ketika beranjak dewasa sebuah istilah selalu ada akan berubah definisinya. Setidaknya dia tak pergi saat seorang teman membutuhkan bahu untuk bersandar.

Duduk bergelung dalam selimut. Netranya yang masih ada kemungkinan untuk tertutup kembali mencoba tetap setia mengamati manusia lain yang tengah menengadahkan tangan di atas sajadahnya yang terbentang pukul tiga dini hari.

“Qiyamul lail?” tanyanya yang semalam menggedor-gedor pintu, mengganggu seseorang yang sedang salah tingkah hingga menenggelamkan muka di antara bantal-bantal.

“Menurut kamu? Emang ada gitu, jaga lilin di atas sajadah?”

“Hahahaha. Tolong, ngakak!”

“Kirana, jangan kenceng-kenceng ketawanya. Nanti ngganggu tetangga yang masih tidur.” Ahwa memperingati seraya melipat sajadah.

“Hahaha. Aduh ... oke-oke. Lagian si Ahwa ngelawak aja. Itu kolaborasi yang astagfirullah banget.” Kirana menyeka ujung matanya yang mengeluarkan air mata.

“Masyaallah, Ukhti,” celetuknya mengiringi gerak tangan Ahwa yang tengah melipat mukena. Ahwa pun menoleh dan mengangkat kedua alis.

“Cieee, yang lagi memantaskan diri.”

“Iya, memantaskan diri buat jodoh yang udah pasti. Kamu mah definisi jodoh yang diinget cowok terus.” Usai membungkam mulut Kirana, Ahwa beranjak duduk di kursi dan mulai berkutat dengan tugas-tugas sekolahnya yang belum terselesaikan.

Kirana kembali merebahkan diri, menatap langit-langit kamar. Entah apa yang sedang ramai di dalam benaknya hingga suaranya tenggelam, kalah bersaing dengan para jangkrik di luar sana. Sunyi. Ahwa pun fokus dengan buku di tangannya.

Hingga azan Subuh berkumandang, semua berlangsung seperti itu. Usai keduanya menunaikan salat Subuh, barulah kebisingan kembali menjadikan ruang yang tak terlalu luas itu layaknya tempat umum.

“Kamu mau ngapain, sih?” Pertanyaan terlontar begitu saja dari mulut Kirana, saat dirinya melihat Ahwa yang terlihat sibuk memilih baju di lemari.

“Mau mandi, ganti baju.”

Meskipun bisa dikatakan jarang mandi saat hari libur, Kirana juga tahu bahwa pagi hari waktunya mandi, bagi yang tidak malas. Akan tetapi, bukan itu yang membuatnya keheranan sampai melontarkan pertanyaan seperti itu.

Sebagai teman yang bisa dikatakan selalu ada, di matanya, Ahwa bukanlah tipikal orang yang teramat sangat memperhatikan penampilan. Hal utama dalam hidupnya adalah nyaman. Tidak peduli akan tatapan jenis apa yang dilayangkan orang lain kepadanya. Sungguh, Kirana melihat sosok Ahwa yang berbeda.

“Mau ke mana?”

Bungkam. Sekali, dua kali, berkali-kali pertanyaan serupa tak kunjung mendapatkan jawaban, yang ditanya hanya terus mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Jantung yang kian tak beraturan membuat Ahwa ingin menghilang saja dari muka bumi ini.

“Mau ke mana Ahwa? Ahwa mulai nakal, nih, diem-diem mau main sama cowok.” Celetukan Kirana rupanya membuka suara Ahwa.

“Gus Zain ngajak joging,” jawabnya langsung.

“Hah!? Serius? Masa, sih? Yang bener aja.” Kirana tidak main-main. Dirinya benar-benar terkejut mendengar itu.

“Benerlah. Masa aku ngarang. Cita-citaku emang penulis, tapi bukan berarti aku suka ngarang di kehidupan nyata, ya,” tegas Ahwa.

“Kalau gitu aku ikut,” ucap Kirana.

“Nggak. Mau ngapain?” Ahwa menolak. Atas maksud tujuan apa Kirana ingin ikut.

“Nemenin kalianlah. Daripada yang jadi orang ketiga setan, mending aku aja, 'kan? Nggak baik cowok cewek berduaan, apalagi sama-sama jomlo.” Kirana masih terus berupaya agar bisa ikut.

“Nanti di sana juga rame, kok.” Ahwa pun masih terus berupaya dalam penolakannya.

“Kalau nanti ada fans-nya Gus Zain yang lihat terus diem-diem ngefoto gimana? Nggak baik, ntar bisa timbul fitnah.” Bukan Kirana jika menyerah. Berbicara seharian saja kuat, apalagi meyakinkan dan merayu Ahwa. Kirana juaranya.

“Ya udah, oke.” Lihatlah. Ahwa telah menyerah.

“Sip. Gitu dong dari tadi.” Lantas begitulah ucapan pemenang pagi ini.

“Jadi aku harus pakai baju apa?” Pertanyaan terlontar dari Ahwa yang rupanya belum usai dengan penampilannya pagi ini.

“Jadi diri kamu sendiri.”


***


Drama perihal pakaian pagi ini berakhir dengan Ahwa memakai celana kulot dan kaos. Jangan salahkan Ahwa yang tidak percaya diri memakai celana dan jarang olahraga di luar jam pelajaran sekolah.

“Maaf tadi harus nunggu, Gus.”

Ahwa merasa tak enak. Padahal dirinya sudah bersiap sejak matahari belum menampakkan sinarnya, tetapi bisa-bisanya Gus Zain telah sampai terlebih dahulu di tempat yang mereka sepakati untuk berkumpul.

“Nggak apa-apa. Saya juga baru sampai, kok.”

Jangan lupakan Kirana yang ikut serta dalam kecanggungan dua insan ini. Dia merutuki diri karena memaksa ikut. Meskipun penasaran, jika ternyata lari paginya secanggung ini, lebih baik dia menonton film saja di rumah Ahwa. Sudahlah lelah, tetapi dirinya tidak kunjung mendapatkan momen-momen penting dalam pembicaraan kedua insan ini.

“Ekhem.” Kirana berdeham memecah keheningan di tengah keramaian. “Maaf, saya mau nyari kamar kecil dulu. Tak tinggal nggih, Gus, Wa.” Tanpa menunggu persetujuan, dia pun berlari kecil memecah keramaian.

Detik selanjutnya, Gus Zain terlebih dahulu yang angkat bicara. “Mau duduk dulu? Kita ngobrolin soal projek itu.” Keduanya pun duduk usai Ahwa mengangguk menyetujui.

Mereka duduk di tepi jalan. Satu harapan Ahwa, semoga saja tidak ada yang mengenali keberadaan Gus Zain di sini. Jika boleh berharap lagi, dia berharap jantungnya aman, tak berharap semakin dalam hanya karena kedekatan ini.

“Inget, Wa. Cuma projek. Yuk, profesional,” ucapnya lirih, sangat lirih.

“Maaf banget saya nggak bisa lama-lama di sini,” ucap Gus Zain mengawali.

“Nggak apa-apa, Gus. Langsung ke intinya aja.” Jika boleh jujur, Ahwa ingin meminta waktu seperti ini lebih lama. Duduk dan tersenyum bersama adalah harapannya beberapa tahun lalu. Kemudian kini semuanya terjadi. Ahwa semakin yakin tidak ada yang tidak mungkin.

Gus Zain mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah buku kecil. “Sebenernya saya udah nulis banyak di sini, tapi saya bingung harus mulai nulis dari mana. Kamu pegang, ya, buku ini.” Gus Zain menyodorkan buku itu kepada Ahwa.

Dengan ragu, Ahwa pun menerimanya. Seolah mengerti wanita di hadapannya tengah kebingungan, Gus Zain pun kembali menjelaskan. “Kalau suatu saat saya susah dihubungi atau susah buat kita ketemu, kamu bisa buka buku itu dan kembangkan perasaan-perasaan yang tertulis di situ.”

Ahwa mengangguk paham. “Nggak apa-apa saya buka-buka, Gus?”

“Nggak apa-apa.” Gus Zain tersenyum. “Tapi ya maaf aja, mungkin ada tulisan yang terkesan lebay, aneh, dan sejenisnya.” Kini dia sedikit tertawa.

“Loh, enggaklah, Gus.” Ahwa terkekeh sejenak. “Mungkin itu cuma berlaku buat saya. Tulisan saya, sejarah kealayan saya.” Dan kini keduanya tertawa bersama.

“Hahaha. Mboten-mboten. Sampun, nggih? Saya serahkan semuanya ke kamu. Saya yakin kamu bisa. Jangan terlalu terbebani. Nanti saya ke sini lagi buat membicarakan itu.”

“Siap, Gus. Maaf udah ngebuat njenengan nunggu lama.” Ahwa merasa sedikit bersalah.

“Enggak. Saya pamit, ya. Jaga baik-baik. Nanti saya ke sini lagi. Maaf kalau pernah menyakiti.” Gus Zain tersenyum, sangat manis.

Sungguh, rasanya sulit sekali Ahwa melepas Gus Zain pergi saat ini. Padahal sejauh ini keduanya tidak lebih dari sekadar teman. Tunggu, apakah telah resmi menjadi teman? Ahwa sudah tahu ini akan terjadi selepas perpisahan sekolah. Terlebih tidak ada yang sejalan. Mungkin projek ini satu-satunya alasan keduanya bisa bertatap muka.

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang