Part▪︎22

51 4 0
                                    

Setiap satu bulan sekali, pondok pesantren As-Syuhada selalu mengadakan acara sholawat bersama baik di asrama santriwan atau santriwati. Bukan acara khusus, hanya saja perlu persiapan. Pada acara sholawat bulan ini Ning Nadia selaku pihak tanggung jawab di pondok asrama santriwati mengundang Gus Zain untuk menjadi vokalis.

Sebelum dimulainya acara terlihat Ning Nadia sibuk mengatur para santriwati agar tertib. Kemudian ketika Gus Zain sudah memegang mic, Ning Nadia, Umi beserta ibu pengajar pesantren duduk di bagian depan dan ikut ber sholawat bersama para santriwati lainnya.

Gema sholawat menjadikan malam itu jadi lebih syahdu dan penuh keberkahan. Dari surat Al Ahzab ayat 56, kita bisa tahu perintah Allah agar hambanya memperbanyak sholawat kepada Nabi. Surat itu memilih arti, 'sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawatlah untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya'.

Di sisi lain, di sebuah kamar bercat biru muda seorang gadis sibuk memerhatikan ponselnya. Biasanya jika setelah salat isya dan tidak ada tugas sekolah, Ahwa akan mengecek-ngecek media sosial di ponsel. Kini, sebuah story di medsos Instagram dipandangi berulang oleh seorang Ahwa. Story itu menyuguhkan video yang menyorot sosok Ning Nadia dan Gus Zain di sebuah acara.

Sudah lama Ahwa mengikuti akun Instagram sepupu perempuan Gus Zain tersebut, begitu juga dengan akun keluarga dan teman Gus Zain, sehingga Ahwa tahu Gus Zain di luaran sedang melakukan apa meski tidak detail. Rasa penasarannya terhadap kehidupan Gus Zain melalui dunia maya tentu akan memunculkan rasa minder karena lagi-lagi disadarkan oleh kenyataan tentang betapa bedanya Ahwa dan Gus Zain.

Apalagi jika berita atau video yang sering kali menyuguhkan keserasian Gus Zain dan Ning Nadia yang pantas bila disandingkan. Meski dibuat tertampar diri sendiri, Ahwa tetap saja meneruskan rasa penasarannya. Jemarinya bergerak cepat menggeser-geser story Gus Zain yang merepost story orang lain.

Usai melihat story terakhir Gus Zain, Ahwa menjatuhkan ponselnya ke sampingnya, dan menatap langit-langit kamar. "Ilmu dia lebih tinggi, status dia lebih dihormati, sifatnya dipuja-puji, dan farasnya banyak dikagumi. Lalu kamu Ahwa, siapa kamu berani mencintai? Cinta bermodal gengsi saja," gumamnya pada diri sendiri.

Tak aneh lagi dengan kebiasaan Ahwa ini, dia yang memulai mencari tahu dan dia pula yang merendahkan diri sendiri. Entah apa yang dimau Ahwa, dan juga takdir.


***


Sebelum jam pelajaran pertama dimulai, biasanya Ahwa isi dengan melakukan kegiatan membaca buku di kelas, akan tetapi sekarang fokusnya untuk membaca terpecah bagai kepingan purzel. Akhirnya Ahwa memutuskan berjalan-jalan di koridor sekolah dan seraya memerhatikan beberapa murid yang baru datang.

Saat itu suasana masih pagi, akan tetapi pikiran Ahwa sudah dipadati sebuah hal yang sulit dideskripsikan. Agar sedikit melonggarkan pikiran, maka berjalan-jalan tanpa arah dan menghirup udara pagi adalah solusi sederhana.

"Dek Ahwa, ya?"

Suara seseorang yang menyebut nama Ahwa membuat sang pemilik nama seketika menghentikan langkah dan menegakkan kepalanya lalu menoleh ke samping. Tepat di daun pintu kelas sebelas sosok perempuan yang wajahnya tak asing lagi untuk Ahwa tampak memberi tatapan dari atas hingga bawah.

"Iya, Kak Jihan, ada apa?" Ya, perempuan itu adalah Jihan, teman sekelas Ning Nadia dan juga anggota organisasi jurnalistik.

Tampak Jihan melipat kedua tangannya di depan dada, dan lalu mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. "Pas hari apa itu, saya lihat kamu ngefoto Gus Zain diam-diam. Kamu tahu 'kan itu gak boleh?"

"Kapan, ya, Kak? Kakak salah lihat mungkin," sahut Ahwa. Kemudian dia berucap kembali, "Maaf, kak, saya mau ke kelas. Sebentar lagi masuk."

Dengan segera Jihan menghalangi Ahwa. "Heh! Jauh-jauh, deh, ya. Enggak cocok banget sama Gus Zain. Gara-gara menfess kamu, Ning Nadia suka gelisah waktu itu."

"Menfess, Kak?" Ahwa menatap Jihan dengan kerutan di dahi.

"Oh, ternyata pura-pura nggak tau ya? Saya udah tau soal menfess itu kok. Walaupun udah berbulan-bulan, tapi saya masih inget."

"Maaf, kak. Saya mau ke kelas, lima menit lagi masuk." Ahwa ingin sekali segera melangkah pergi sebelum amarahnya meledak dan moodnya menjadi hancur di pagi hari.

“Parah, ya. Ternyata nggak sopan juga. Kok, bisa circle pertemanannya sama yang hebat dan terhormat kayak mereka," cetus Jihan, selama ini Ahwa mengira Jihan tampak tak peduli dengan apa pun, tapi kini Jihan menampakkan sifat aslinya sendiri.

Sebelum Ahwa menyahut, tiba-tiba dari jauh ada yang manggil. “Ahwa!”

Ahwa dan Jihan sama-sama menoleh ke sumber suara. Ternyata Hasbi yang memanggil, dia menghampiri dan lantas berbicara, seolah tahu duduk perkara yang diperdebatkan kedua perempuan itu. “Maaf, kak. Lebih terhormat lagi orang yang nggak selalu ikut campur urusan orang lain. Silakan berjalan di jalan hidup kakak. Bedakan menasihati dan memaki."

"Nyambung aja kaya kabel," ujar Jihan, ia memandangi Hasbi tak suka. "Cowok, kok, banyak omong hobinya!"

Lalu Jihan berlalu masuk ke kelas, meninggalkan Ahwa dan Hasbi yang saling beradu pandang. "Sudahlah, ayo kita ke kantin dulu. Guru mapel pertama agak telat hari ini," kata Hasbi.

Ahwa mengangguk dan ikut saja. Di kantin, Hasbi membeli dua botol minuman dan memberikan salah satunya ke Ahwa. "Nih, minum. Kalau udah puasa gak bisa minum."

Ahwa menerimanya tanpa banyak omong, dia menenggak setengah air yang ada di botol minuman tersebut. "Harusnya aku gak ngirim menfess itu," ucap Ahwa setelahnya.

Hasbi tersenyum tipis seraya melempar pandangan ke arah lain. "Begitulah manusia, seribu kebaikan dilupain karena satu kesalahan."

"Hasbi, apa yang dilakuin aku itu salah?" Ahwa bertanya.

Akan tetapi sebelum sempat dijawab, bel masuk sekolah berbunyi. Hasbi pun lantas beranjak dari duduknya. "Udah bel, aku harus ke kelas."

Ahwa menatap bingung pada Hasbi yang berlalu begitu saja. Namun detik berikutnya dia mengejar pria itu seraya berseru. "Kelas kita sama kali, Hasbi!"

Gadis itu sudah menyamai langkahnya, ia melirik Hasbi sekilas. "Makasih, ya, udah belain aku tadi."

"Sama-sama, Putri Malu Ahwa," jawab Hasbi dengan menampilkan raut senyum yang terpaksa.

Melihat hal itu Ahwa mendelik jijik, dan tertawa kecil. Langkah keduanya menuju kelas tidak ada lagi obrolan, dan bersamaan dengan itu netra Ahwa menangkap seorang di hadapannya yang beranjak satu meter.

"Ada bau kebakar, Nih," ujar Ahwa pada Hasbi seraya meliriknya.

Hasbi mengangkat sebelah alisnya dan mengendus untuk memastikan. "Enggak ada."

"Ada. Ada hati yang kebakar."

"Apaan, sih." Hasbi mengedikkan kedua bahu, dan berucap kembali. "Aneh banget."

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang