Baru beberapa menit lalu bel istirahat berbunyi, kini kantin telah penuh dengan para pelajar MA As-Syuhada. Di salah satu kursi panjang, tampak dua siswi duduk. Bukannya mengisi perut yang mungkin penghuni di dalamnya sudah demo, meja keduanya justru kosong tak ada makanan. Sedangkan salah satu dari keduanya terlihat sesekali menoleh ke segala arah seakan tengah menunggu seseorang.
Tak lama, siswi yang sedari tadi tak tenang dengan duduknya beranjak, menghampiri dua siswa yang baru saja datang. “Hasbi!” tegurnya seraya mendaratkan buku yang telah tergulung ke lengan salah satu siswa tersebut. Ya, Hasbi.
Gus Zain yang melihat aksi siswi bernama Kirana tersebut tampak terkejut. Untung saja dirinya bukan tipe kakak kelas yang memiliki hobi melabrak adik kelas atas perlakuan tidak mengenakkan.
“Kalem dong, Mbak.” Hasbi tak marah. Dia terkadang memang hobi ngegas.
“Hehe. Maaf, ya, Gus.”
“Loh, yang dipukul siapa, minta maafnya ke siapa.”
Perjalanan ketiganya menghampiri seorang siwi yang setia dengan duduknya diiringi obrolan tak jelas antara Hasbi dan Kirana. Gus Zain sendiri hanya tersenyum dan sesekali berbicara seperlunya.
“Monggo, Gus, duduk,” ucap Kirana mempersilakan.
“Oh iya, Gus. Perkenalkan saya Kirana. Ini temen saya. Kita bertiga satu kelas.” Kirana beralih pada teman di sampingnya. “Ayo, Wa. Kenalan. Kayak pas MPLS.”
“Ahwa ... nama saya Ahwa, Gus.”
“Zain.” Giliran Gus Zain memperkenalkan diri. Meskipun padahal sebenarnya tak perlu memberitahukan siapa namanya pun orang-orang sudah tahu siapa nama pemilik wajah yang satu ini.
“Ekhem!” Merasa tak dianggap kehadirannya, Hasbi berdeham cukup keras.
“Oh iya, lupa. Hasbiii, selamat woiii! Traktir makan dong! Iya nggak, Wa? Juara kok nggak syukuran.” Jangan heran. Kirana memang seperti itu. Kalau dia kalem, tandanya dunia sedang tidak baik-baik saja.
“Bilang aja mau malak.” Jeda sepersekian detik. “Gus, hukumnya malak apa, ya?”
Belum sempat Gus Zain menjawab, Kirana mencuri start untuk angkat bicara. “Inget 'kan hadis yang tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?”
“Kenapa nggak kamu yang jadi tangan di atas?” Senjata makan nona.
“Mau pahala nggak? Keburu masuk, nih.”
Dunia milik Hasbi dan Kirana berdua? Pasalnya suara Ahwa dan Gus Zain seolah menghilang ditelan kecanggungan. Rasa canggung menyelimuti mereka berdua. Terlebih Ahwa yang sedari tadi hanya mencoba fokus dengan tasbih digitalnya.
Setelah perdebatan yang tak lama karena Hasbi memilih mempersingkatnya dengan bergegas memesan bakso, gorengan, dan minuman sesuai kesepakatan, saat ini mereka telah cukup sibuk dengan makanan masing-masing.
Namun, jangan percaya jika Kirana benar-benar tenang dengan makanannya. Sedari tadi dia asyik memesan lagi dan lagi. Mengingat Hasbi yang bukan anak pondok membuatnya tega-tega saja memesan banyak.
“Mbak Ahwa siswi pindahan, ya?” Tiba-tiba Gus Zain bersuara, memecah keheningan antara mereka berempat.
“Enggak kok, Gus. Mungkin karena saya lebih sering di kelas, jadi nggak pernah kelihatan. Ehm, panggil Ahwa aja.” Senyuman tipis menutup penjelasan Ahwa.
“Dia kalau nggak di kelas, paling di perpustakaan, Gus.” Hasbi ikut menimpali.
Gus Zain terlihat terkejut. Terbukti dari matanya yang tiba-tiba membulat. “Suka baca buku juga, ya?” tanyanya.
“Iya, Gus.”
“Kabarnya di perpustakaan ada banyak buku baru, ya, seminggu terakhir ini?” Gus Zain sedikit lebih tak canggung dari sebelumnya.
“Iya, Gus. Bagus-bagus, tapi saya belum sempet baca semuanya.” Ahwa tak bisa fokus berbicara dengan Gus Zain. Netranya berkali-kali menatap tak tentu arah.
“Kemaren saya ajak pinjem semuanya nggak mau, Gus.” Hasbi tak bergurau dengan ucapannya.
Sepulangnya mereka dari perlombaan, dirinya mengajak Gus Zain ke perpustakaan untuk meminjam semua buku baru yang masih tersisa di perpustakaan. Ucapannya tak bergurau, tetapi sepertinya dia mengajak Gus Zain bergurau dengan aturan pondok pesantren.
“Emang kadang suka nggak waras si Hasbi, Gus,” ucap Kirana.
“Eh, kirain udah pulang. Soalnya dari tadi nggak kedengeran suaranya,” ledek Hasbi.
Sebelum ocehannya berhasil terlontar, suara Hasbi yang memanggil nama Ning Nadia seketika membuat ketiganya terdiam dan mengikuti arah pandang Hasbi. Terlihat Ning Nadia yang mau tak mau harus mendekat. Padahal hatinya menginginkan kesendirian.
Setelah dibujuk, akhirnya Ning Nadia mau makan bersama mereka berempat dengan waktu istirahat yang tersisa kurang lebih sepuluh menit lagi. Meskipun baru saja dekat setelah cukup lama sudah tahu satu sama lain tetapi tak saling menyapa, Hasbi dan Ning Nadia tidak bertahan lama dengan kecanggungan karena Hasbi yang mudah beradaptasi.
Cukup banyak yang mereka bicarakan. Mulai dari hal tak penting hingga benar-benar tak penting. Tidak ada hal yang benar-benar penting yang mereka bicarakan. Hanya obrolan ringan yang diketuai oleh Kirana dengan Ahwa sebagai penyimak handal karena dia hanya diam. Tak banyak bersuara, hanya sesekali tersenyum dan tertawa.
“Ahwa kenapa? Sakit, ya?” Di saat yang lain masih berbicara, Ning Nadia ternyata menyadari ketidakikutsertaan Ahwa di setiap obrolan.
“Enggak, Ning,” jawabnya yang dibalas anggukan oleh Ning Nadia.
“Kemarin ternyata soal-soal pengetahuan umum yang aku kira nggak bakal keluar, eh banyak yang keluar,” ungkap Ning Nadia.
“Udah berlalu kok, Ning. Njenengan udah ngasih yang terbaik.” Hasbi memang bijak.
“Dulu Ning Nadia kalau kalah main nangis, haha. Sekarang lebih kuat, ya, Ning.” Entah angin dari mana yang membuat Gus Zain melontarkan kalimat itu.
“Njenengan ketularan jiwa komediannya Hasbi, ya, Gus?” Barangkali candaannya pengalihan dari kesedihan yang tiba-tiba singgah karena ini bukan Gus Zain sekali, Ning Nadia berusaha menyesusikan menanggapi.
“Ternyata dampaknya Hasbi nggak baik, hahaha.” Lagi-lagi Kirana ikut menimpali.
Jika bisa mengungkapkan dengan jujur, Ahwa sangat iri dengan mereka di hadapannya yang bisa dengan begitu saja nyambung di segala obrolan. Sedangkan dirinya harus sekuat tenaga dan pikiran mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
Jam istirahat hampir selesai dan dia hanya diam. Hanya ikut tertawa. Padahal sebenarnya dia tengah mentertawakan diri sendiri yang tak pandai bersosialisasi. Tidak seperti wanita di hadapannya. Seorang anak kiai, cantik, pintar, pandai bersosialisasi, memiliki banyak relasi. Sungguh tak adil hidup ini baginya.
“Udah mau masuk. Aku ke kelas duluan, ya,” pamit Ning Nadia.
“Semangat, ya, Ning. Ada yang berangkat dari kegagalan. Pasti ada pelajaran di balik terjadinya ini semua. Jangan terlalu menghakimi diri sendiri. Tugas manusia berdoa dan berusaha. Kalau hasilnya nggak sesuai ekspektasi, mungkin ada realita yang lebih indah dari Allah. Jangan lupa daftar dan bersedia, ya, kalau ada lomba lagi.” Tercatat sebagai sejarah Gus Zain berbicara sepanjang itu.
Ahwa menatap lekat setiap inci wajah putri pengasuh pesantren itu. Sempurna. Bahkan sampai Ning Nadia mengucapkan terima kasih dan melenggang pergi, kata sempurna masih terbayang menjadi hak milik Ning Nadia dalam benaknya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...