Bagaimana bisa?
Pertanyaan sederhana yang mewakili segala isi kepala Ning Nadia saat ini. Ternyata yang sederhana tidak menjamin sebuah kejelasan. Niat hati berlibur ke Indonesia guna menenangkan pikiran dan melebur kerinduan selama bertahun-tahun, tapi malah berbanding terbalik dengan kenyataan saat ini. Ning Nadia harus menerima beban pikiran atas perjodohan yang sangat tidak ia duga ataupun harapkan.
Gus Zain adalah sosok pria yang baik dan hampir sempurna dari segi agama serta kepribadian, tapi entah kenapa Ning Nadia merasa ada yang ganjal di hati. Hatinya masih kaget akan kenyataan yang dibuat kedua orang tuanya. Malam ini, Ning Nadia begitu sangat sulit memahami keadaannya, bukan bahagia yang terasa tapi hanya ada kebingungan.
Setelah terbangun di sepertiga malam dan melaksanakan tahajud, Ning Nadia tak berniat beranjak dari atas sajadah. Ia begitu khusyuk meminta ketenangan dan jalan keluar dari rasa kebingungan Ning Nadia saat ini. Khusyuknya dalam berdoa ternyata membuahkan hasil, terpikir oleh Ning Nadia untuk menemui Gus Zain pada hari ini. Kunci dari sebuah pergulatan hati biasanya adalah komunikasi, maka Ning Nadia akan membicarakan perjodohan tersebut secara pribadi tanpa melibatkan orang tua. Berharap setelah itu, ada jawaban yang menuntun Ning Nadia membuat sebuah keputusan.
Ning Nadia mengusaikan kegiatan berzikirnya, ia merapikan perlatan salat pada tempatnya. Ia akan berangkat ke kediaman Gus Zain secara langsung, setelah sarapan dan juga melakukan pekerjaan rumah.
"Abah, Umi, Nadia izin ke kediaman Gus Zain hari ini boleh? Untuk sekedar silaturahmi pada keluarga Gus Zain, karena saat pulang Nadia tak sempat bertemu mereka." Ning Nadia meminta izin setelah melaksanakan kegiatannya pagi hari itu. Jam pun sudah menunjukkan waktu siang.
Pria paruh baya yang baru saja pulang dari tadarus para santri itu terlihat senang mendengar penuturan sang anak. "Tentu boleh. Tapi abah tidak bisa ikut juga, soalnya masih ada jadwal tausiah nanti siang."
"Titip salam saja untuk mereka, ya, Nduk," ucapan umi Laila yang diangguki setuju oleh Kiai Abdullah.
Ning Nadia mengiyakan. "Nggeh, Umi, Abah akan Nadia sampaikan. Nadia pamit sekarang."
***
Canggu, itulah yang terjadi ketika Ning Nadia dan Gus Zain bertemu setelah keduanya tahu perihal perjodohan. Mereka duduk di kursi luar rumah kediaman Gus Zain. Sebelumnya Ning Nadia sudah menyapa orang tua pria yang akan menjadi suaminya tersebut.
Suara embusan nafas pelan dari Ning Nadia memecah kecangguan di antara mereka yang terjadi sekitar beberapa menit. Gadis itu kemudian membuka suara.
"Gus, kini saya sudah paham maksud ucapan abah saya ketika menjemput saya di bandara pada njenengan. Jujur saya masih sulit menerima kenyataannya," kata Ning Nadia.
Terlihat Gus Zain menegakkan pandangan ke arah depan, melihat aktivitas para santri yang ada di pendopo. "Syukurlah jika Ning sudah tahu perihal perjodohan ini. Lambat laun, saya yakin semua bisa diterima dengan baik."
"Ya, saya kemari untuk meyakinkan diri. Dengan berbicara saling terbuka dengan njenengan sebelum melangkah ke lebih serius, dan mungkin saya akan menanyakan beberapa hal, boleh?"
"Tentu saja. Apa yang ingin Ning tanyakan?" Gus Zain begitu hangat menyambut pembicaraan pada saat itu.
"Apakah njenengan punya perasaan pada saya?"
Pertanyaan pertama yang membuat Gus Zain sedikit tertunduk dan terdiam beberapa saat. "Perasaan itu akan muncul seiring waktu karena terbiasa, Ning."
Ning Nadia melempar senyuman miris guna menyembunyikannya dari Gus Zain. Jawaban itu sungguh umum. "Gus, saya tidak ingin menerima perjodohan ini hanya karena saya seorang Ning dan njenengan seorang Gus. Saya ingin menjalani sisa umur saya dengan seseorang yang mencintai dan dicintai oleh saya."
"Sementara kita tidak memiliki perasaan itu saat ini. Perasaan yang dipaksakan hanya akan menodai kata ikhlas dalam cinta," sambung Ning Nadia.
"Ning memiliki seseorang yang dicintai?" Kini giliran Gus Zain yang bertanya.
Tanpa ragu Ning Nadia mengangguk, ia tidak seperti Gus Zain yang takut-takut dalam mencintai. "Pasti njenengan juga memilikinya, benar?"
Gus Zain tak menjawab, ia malah berucap, "Apakah cinta itu mampu melawan bakti kita pada orang tua?"
Giliran Ning Nadia yang terdiam. Pertanyaan itu sulit dijawab olehnya atau justru belum ada jawaban yang tepat karena hatinya masih berada kebingungan.
***
"Ada yang perlu Ning ketahui, dan tentu harus saya beritahu."
Perkataan itu dari seorang pria yang dekat dan Ning Nadia kenal sejak MA dia adalah Hasbi. Keduanya bertemu kembali setelah bertahun-tahun berpisah karena impian masing-masing.
Tiga hari setelah pembicaraan terbuka bersama Gus Zain, Ning Nadia masih belum bisa lepas dari pergulatan batinnya. Pertanyaan terakhir yang Gus Zain ajukan menambah beban dalam keputusan Ning Nadia. Hingga untuk sedikit menenangkan hati, gadis itu pun menghadiri sebuah kajian umum, dan di sana ia bertemu dengan Hasbi. Usai kajian pria itu mengganjal Ning Nadia ke sebuah Cafe untuk membicarakan sesuatu dan itu mengenai Gus Zain.
Hasbi tak langsung pada topik pembicaraan, ia menanyakan pertanyaan basa-basi perihal kabar dan pencapaian agar tidak canggu. Akhirnya pada inti pembicaraan Hasbi membuka notebook nya dan membuka sebuah file ber titel 'Menfess Jurnalistik MA As-Syuhada'. Ia tunjukan salah satu menfess seorang wanita di sana.
"Masih ingat menfess yang menggemparkan sekolah pada waktu itu? Yang ditunjukkan pada Gus Zain?" tanya Hasbi guna mengulik kembali ingatan Ning Nadia.
Ning Nadia mengangguk setelah melihat isi menfess tersebut, tentu ia tak akan melupakan keseruannya di sekolah entah perihal organisasi ataupun lainnya. Hasbi menarik kembali notebooknya setelah memperlihatkan file tadi.
"Sampai saat ini apa Ning tahu siapa pengirim menfess ini?"
"Waktu itu saya tidak ingin tahu perihal si pengirim. Kamu masih ingin menguliknya, Bi?" Ning Nadia pikir Hasbi begitu penasaran pada sosok si pengirim menfess yang terjadi sudah bertahun-tahun lalu.
Hasbi menggeleng, "Saya sudah lama tahu siapa pengirimnya. Pengirimnya adalah Ahwa."
Mata Ning Nadia mengerjap karena sedikit kaget. Benarkah? Ahwa yang ternyata dekat dengan mereka adalah si pengirim menfess tersebut? Ning Nadia di sisi lain takjub dengan cara Ahwa yang pandai menyembunyikan, dan di sisi lain ..., "Itu berarti, Ahwa memiliki perasaan pada Gus Zain?"
"Iya. Saya rasa sampai sekarang Ahwa masih menyimpan perasaan itu. Ahwa yang lugu." Hasbi memasang wajah prihatin. Sungguh apa yang dilakukan Ahwa amatlah menyakitkan, harus memendam semunya dengan waktu yang lama.
"Saya menyesal. Kenapa saya dulu tidak ingin tahu soal si pengirim menfess itu," lirih Ning Nadia seraya memangku kepalanya dengan sebelah tangan, jemarinya pun memijat pelipis.
"Selain itu, Gus Zain pun memiliki perasaan pada Ahwa. Keduanya, saling menyimpan rasa," jelas Hasbi, ia harus mengatakan fakta tersebut meski kabar perjodohan Ning Nadia dan Gus Zain sudah berembus.
Apakah ini adalah jawaban itu? Jawaban atas pergulatan batin Ning Nadia?***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...