Part▪︎34

59 5 0
                                    

Menepi dari segala runtutan rutinitasnya, kini Ahwa terduduk sendirian, di sudut kamar yang redup, seperti semangatnya detik ini. Kosong. Ahwa tidak tahu harus bagaimana menyikapi kabar yang telah berembus itu.

Boleh tak boleh, hatinya memang patah. Harapan dan segala angan akan masa depan yang indah itu jatuh begitu saja. Sakit. Ingin rasanya dia menyangkal takdir, memutar balikkan keadaan, tetapi sayangnya dia tak bisa melakukan itu. Selain menerima, bentuk penolakannya hanya dengan menangis. Akan tetapi, menangis tak akan bisa merubah semuanya.

Allah, rintihnya. Kenapa takdir baik tidak pernah berpihak padanya. Kenapa segala cinta yang dia rasakan selalu berujung kecewa. Kenapa semua selalu berakhir seperti ini. Kenapa?

Dirinya terdiam sejenak. Entah kenapa, tiba-tiba ide langsung memenuhi isi kepala Ahwa. Imajinasinya kembali bangkit, tetapi tidak lagi imajinasi yang indah. Melainkan alur menuju kesedihan.

Namun, memang seperti itu bukan jika sedang patah hati? Ide-ide berkeliaran dalam bentak, menunggu giliran untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Lantas, apakah impiannya menjadi seorang penulis yang menjadikannya harus merasakan lebih banyak sakit hati?

Bukannya istirahat, merehatkan diri dan batinnya yang lelah, Ahwa kini justru beranjak menuju meja belajar. Dibukanya laptop dan buku pemberian seseorang yang namanya ingin sekali Ahwa lupakan, tetapi tak kunjung berhasil terlupakan. Ahwa berniat menyelesaikan kisah itu. Selesai dan tidak ada lagi cerita kita.

Seharian penuh bergulat dengan naskah cerita. Sesekali dirinya berhenti untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan sekadar mengecek ponsel. Hanya mengecek saja. Puluhan pesan yang masuk diabaikan olehnya, tidak satu pun dijawab. Ahwa benar-benar menghilangkan diri dari hiruk-pikuk keramaian yang tengah sibuk membicarakan kabar yang berembus itu. Dia hanya mengirimkan pesan saja kepada Kirana, memberikan kabar bahwa dirinya tidak berangkat karena sakit, hati.

Malam tiba. Ahwa bahkan baru makan setelah seharian menolak makan dan benar-benar mengurung diri di kamar. Dia kini terduduk di kasur, laptopnya telah tertutup. Ceritanya telah selesai, kecuali ending. Bukan, bukan dirinya berharap akan ada ending yang baik kelak, tetapi biarkan pemilik cerita yang menyelesaikan akhirnya.

Tengah malam, Ahwa baru mengecek dan membaca pesan-pesan yang masuk itu setelah tadi pagi hanya diabaikan olehnya. Banyak sekali pesan masuk setelah terakhir kali Ahwa mengecek ponselnya sebelum Zuhur.

Meskipun telah mengabarkan dirinya sakit, Kirana anak yang jujur bukannya mendoakan cepat sembuh justru mengungkapkan bahwa dirinya menduga Ahwa tidak berangkat karena kabar perjodohan itu. Di lain pesan, Hasbi memberikan informasi terkait sekolah dan Gus Zain yang mencari keberadaannya, serta pesan-pesan tidak penting lainnya.

Ahwa membalas pesan Hasbi seadanya, mengabaikan pesan Kirana, dan menjawab pesan Gus Zain di luar topik pembicaraan. Dengan beraninya, Ahwa justru mengajak Gus Zain untuk bertemu besok. Katanya, pertemuan untuk terakhir kalinya.

“Eh!” Ahwa terkejut. Secepat kilat Gus Zain mengirimkan balasan, tetapi Ahwa lebih memilih mengabaikannya dan beranjak untuk menulis surat izin untuk besok tidak berangkat sekolah lagi.


***


Hari telah berganti pagi. Seorang wanita dengan jilbab abu-abu dan gamis hitam telah berdiri di depan pintu rumah, menunggu pemiliknya keluar setelah beberapa detik yang lalu telah diketuknya pintu berwarna cokelat itu.

“Wa’alaikumussalam ... Ahwa!”

“Biasa aja dong, Kir. Kaget nih anak orang.” Ahwa memegang telinganya yang terasa sedikit berdengung.

“Hehe. Kelapasan. Lagian ke mana aja, sih? Baru kelihatan. Kemarin seharian ngilang. Katanya sakit, tapi mau dijenguk malah nggak dibales pesannya. Sa–“

Ahwa bergegas meletakkan telunjuknya di bibir Kirana, agar gadis itu diam sejenak. “Bisa diem dulu nggak? Kan, udah jam enam, nih, ya. Nanti kamu terlambat ke sekolah.”

“Terlambat barenglah kita.”

“Enak aja telat ngajak-ngajak. Nggak lihat aku pakai gamis begini?” Jeda sepersekian detik. Ahwa mengambil surat dari saku gamisnya. “Ini, aku ke sini cuma mau nitipin surat.  Hari ini aku nggak berangkat lagi.”

“Mau ke mana emang? Serius, nih?” Kirana bertanya-tanya sembari mengambil surat dari tangan Ahwa.

“Kamu nanya? Udah, ah, jangan banyak tanya. Pergi, ya. Dadah! Makasih!”

“Wa’alaikumussalam.” Ahwa hanya meringis, menampakkan deretan gigi putihnya.


***


Kakinya diayunkan. Ahwa mulai bosan menunggu sendirian di taman. Lama sekali lelaki yang sedang ditunggunya itu. Apakah sedang mempersiapkan hari bahagianya sehingga enggan bertemu Ahwa? Jika benar seperti itu, seharusnya semalam tidak mengiyakan saat diajak bertemu.

Ahwa berniat berdiri untuk pulang karena sudah hampir dua puluh menit dirinya menunggu di sini. Dari banyaknya lalu-lalang orang-orang, tidak ada seseorang yang ditunggunya itu.

“Ahwa!” Seperti biasa, sebuah suara menahannya untuk bangkit. Kenapa selalu seperti itu? Seperti Ahwa lelah menunggu, tetapi saat ingin pergi justru ditahan. “Maaf, nunggu lama, ya?” Lelaki itu meminta maaf sembari terduduk.

Ahwa menggeser tubuhnya duduk menjauh. “Nggak, Gus. Cuma sekitar dua puluh menit aja.” Terlanjur kesal, Ahwa menjawab demikian.

“Maaf banget tadi ha–“

“Iya, nggak apa-apa, Gus. Selamat, ya.” Ahwa tersenyum, meski sedikit dipaksakan.

“Selamat? Buat apa?” Lelaki di sampingnya kebingungan.

Bukannya menjawab kebingungan lawan bicaranya, Ahwa justru mengalihkan topik pembicaraan. Dia ingin segera menyelesaikan pertemuan ini. Duduk berlama-lama di dekat lelaki ini bisa membuat batinnya kembali berperang.

Seharusnya tidak ada lagi pertemuan setelah kabar itu. Seharusnya semua telah selesai. Seharusnya tidak ada celah dan peluang untuk kembali menaruh harapan. Seharusnya semua tentangnya menghilang dari pandangan Ahwa, dan seharusnya semua tidak pernah terjadi. Seharusnya, tidak ada sejarah saling mengenal. Biarkan asing.

“Sebenernya saya ngajak bertemu cuma ingin membahas tentang cerita itu. Ceritanya sudah selesai, Gus.” Jeda sepersekian detik. “Tapi ending-nya, silakan Gus Zain tulis sendiri.”

Gus Zain sejenak terkejut. Secepat itu? Pikirnya. “Udah selesai? Kok, cepet banget?”

“Iya. Karena semuanya harus segera diselesaikan.”

Mengalihkan keterkejutannya tentang cerita itu, Gus Zain bertanya, “Apakah kamu masih mengagumi saya?”

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang