"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!" Dengan kompak seluruh orang bersuara.
Seketika itu hamdalah dan takbir menggema memenuhi ruang pelaminan ini. Beberapa orang pun tampak meneteskan air matanya. Barangkali rasa haru terlalu menguasai dirinya. Tak luput pula senyum bahagia yang tercetak pada setiap wajah di pelaminan itu. Segala bentuk perasaan menyatu bercampur aduk menjadi satu. Mungkin itu yang dapat mendeskripsikan mayoritas dari mereka.
Sementara itu, di sisi lain Gus Zain terlihat terdiam sejenak, hanyut pada perasaan yang singgah berkecamuk dalam hatinya. Matanya berfokus pada satu titik dan tidak berkedip untuk beberapa saat hingga akhirnya lagi-lagi seseorang kembali menepuk pundaknya.
Meskipun dirinya terkejut, Gus Zain dengan sopannya menoleh dan mencari seseorang yang menepuk pundaknya, lantas memberikan seulas senyum menawannya itu. Beruntunglah seseorang itu pria, bukan wanita. Jika seorang wanita, Gus Zain tidak yakin akan bertanggung jawab jika senyumnya yang tidak bermaksud khusus mampu menaklukkan hati wanita itu.
"Gimana, Gus?" Pertanyaan itu. Meskipun tidak terarah dengan jelas, Gus Zain tahu maksud dan arahnya akan ke mana. Akan tetapi, dirinya bersikap layaknya anak kecil yang tidak paham apa-apa.
"Gimana apanya, Pakde?" Gus Zain terkekeh kecil saat menjawabnya.
"Jadi kapan nyusul?" Pakdenya memperjelas hal yang sebenarnya sudah Gus Zain ketahui dengan jelas.
Semua orang sama saja, pikir Gus Zain. Tidak adakah pertanyaan yang lain selain itu? Layaknya seseorang, ayolah berkembang, jangan terus-menerus seperti itu pertanyannya. Akan tetapi, di sisi lainGus Zain tidak menyangka, pertanyaan itu akhirnya terlontar pada dirinya juga. Dirinya kini tengah melewati fase itu. Apakah semua orang harus mendapatkan pertanyaan ini termasuk dirinya sendiri?
"Nanti juga nyusul, Pakde." Gus Zain tersenyum di akhir ucapannya.
Tidak lagi memperpanjang perbincangan itu, atensinya kini secara alamiah telah teralihkan, kepada pengantin wanita yang dituntun dua wanita dia samping kanan kirinya menuju tempat akad dilangsungkan.
Terlihat dengan jelas Ning Nadia berjalan dengan anggun dan cantiknya. Riasan yang tidak terlalu tebal semakin menambah kadar kecantikannya. Manis. Jujur saja, Gus Zain mengakui kecantikan wanita yang kini menarik perhatiannya itu, tetapi hatinya sama sekali tidak tertuju pada wanita itu. Gus Zain lagi-lagi terdiam, haruskah kelak semua akan berakhir seperti saat ini?
***
Gus Zain sempat kembali ke rumahnya. Dirinya kini berjalan dengan terburu-buru karena harus mengisi undangan sebagai pembicara di sebuah acara. Barusan dirinya dengan terpaksa meninggalkan acara sebelum berakhir. Gus Zain bahkan tidak sempat beristirahat barang sejenak pun. Dia hanya pulang untuk mempersiapkan diri. Itu saja.
Melihat anaknya yang terlihat sangat kewalahan, kebingungan, dan terburu-buru menyiapkan dirinya dan kebutuhannya sendiri, sang abah pun merasa kasihan dan meminta anaknya untuk segera mencari pendamping hidupnya.
"Cari pendamping gitu, Gus,” ucap sang abah memulai perbincangan yang menurut Gus Zain kini tidak lagi menarik. Sangat membosankan.
"Abah, pendamping-pendamping terus, toh. Nanti juga Zain nemuin, kok." Gus Zain menjawab dengan terus sibuk berkutat mempersiapkan barang-barangnya.
Sang Abah menyeruput teh dalam cangkir putihnya sebelum akhirnya berucap, "Abah kasihan lihat sampean kewalahan begini. Lagi pula sampean udah lulus.”
"Zain masih muda, Bah. Nggak pengin buru-buru. Mau dikasih makan apa nanti anak istri Zain." Selesai, kini dirinya siap untuk berangkat. Gus Zain sungguh tidak berniat membentak abahnya dalam bentuk apapun. Inilah dirinya apa adanya, dengan segala rasa lelah yang telah lama terpendam.
"Zain berangkat dulu, Bah. Maaf kalau tadi kesannya Zain ngelawan Abah. Assalamualaikum." Gus Zain mencium tangan sang abah sebelum akhirnya beranjak pergi.
“Waalaikumussalam. Abah hanya pengin yang terbaik buat kamu. Mungkin dengan itu kamu akan menemukan sosok umimu lagi.” Tidak akan ada yang seperti uminya.
***
Di dalam mobil, Gus Zain mengisi waktu luangnya dengan mencoba memfokuskan diri membaca buku, meskipun sejujurnya dirinya tidak benar-benar fokus. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Entahlah, terlalu bercabang.
Lokasi acara tersebut tidak terlalu jauh dari rumahnya. Setelah hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk sampai dan turun, Gus Zain justru barulah membuka ponselnya. Mengecek apakah ada informasi penting atau tidak.
Tidak ada informasi penting yang dirinya dapatkan. Hanya sebuah pesan dari Ahwa. Sebuah hanya yang mampu membuat hatinya berdebar. Bahkan debarnya mengalahkan debaran saat dirinya hendak naik ke atas mimbar atau panggung.
Tanpa ragu, Gus Zain segera membuka pesan itu. Tidak ada notifikasi lebih menarik selain itu. Dengan cepat dirinya membaca pesan itu, tetapi sebuah aba-aba untuk turun membuatnya tidak sempat untuk membalas pesan itu. Menerimanya mudah, tetapi untuk membalasnya sulit. Seperti cinta yang dirinya rasakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...