Part▪︎19

65 4 0
                                    

Selang sehari setelah kejadian itu, tugas sekolah menakdirkan Ahwa dan Hasbi harus menjadi satu kelompok. Mau tidak mau, Ahwa terpaksa menerima keputusan ini karena pembagian kelompok ditentukan langsung oleh guru mata pelajaran.

Meskipun dengan irit bicara dan terkesan cuek, Ahwa mencoba tetap berkomunikasi dengan Hasbi agar tugasnya bisa terselesaikan dengan baik. Dia tidak ingin nilainya ikut bermasalah karena hidupnya yang terasa tengah disesaki masalah ini.

Seperti saat ini. Selepas bel pulang berbunyi, Hasbi bergegas menghampiri Ahwa di mejanya sebelum perempuan itu beranjak meninggalkan kelas dan entah akan mudah untuk ditemukan atau tidak karena selalu menghindar.

Hasbi bukan termasuk tipe wajah tanpa dosa setelah kejadian ini. Tentu dia merasa bersalah dan ingin menjelaskan semuanya, tetapi Ahwa selalu enggan mendengar dan seolah tutup telinga saat penjelasan hendak diutarakan. Katanya, bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Selalu.

“Ahwa, maaf.”

Hanya kata maaf yang berhasil terlontar karena setelahnya sikap Ahwa seolah tidak ingin mendengar apapun tentang hal itu, tetapi tidak juga mengalihkan topik pembicaraan karena dia hanya akan berbicara seperlunya saat apa yang Hasbi ucapkan benar-benar membutuhkan jawaban.

“Kapan ada waktu buat observasi bareng?” Keberadaan Hasbi tak diindahkan oleh Ahwa. Menyia-nyiakan salah satu laki-laki yang masuk kategori tampan di sekolah dengan tak sedikit pun menatap Hasbi yang tengah berbicara.

“Terserah, ngikut aja.” Hanya itu dan sedetik kemudian Ahwa segera beranjak hendak meninggalkan kelas.

“Kamu nggak ada kesibukan lain?”

Ahwa menghentikan langkahnya dan terdiam di tempat. “Ada, tapi seenggaknya nggak nambahin kesibukan dengan ngurusin hidup orang lain.”

Hasbi hanya bisa terdiam, menatap punggung perempuan itu yang kian menghilang tak terjangkau jarak netranya memandang. Dia tahu etika, tetapi apakah separah itu sampai Ahwa seperti ini kepadanya.


***


Obrolan singkat melalui ponsel semalam menghantarkan keduanya di sini, Greenhouse. Sepulang sekolah mereka memutuskan untuk tidak langsung kembali ke rumah. Kebetulan hari ini sekolah pulang lebih cepat dari biasanya. Entah karena apa, Ahwa tak tahu. Dia hanya mengikuti saja saat kelas lain mengatakan pulang. Dia pun sedang tak tertarik dengan alasan apa pun itu kelas selesai lebih cepat.

Tidak banyak perbincangan yang tidak penting. Mereka benar-benar fokus melakukan observasi. Ahwa yang menawarkan diri untuk pengambilan foto yang nantinya akan disisipkan dalam laporan pun sesekali fokus dengan kamera ponselnya. Terlalu fokus membidik objek hingga lupa sekitar.

Tanpa Ahwa sadari, Hasbi yang tengah mengamati beberapa kali mencuri pandang ke arahnya, tak fokus dengan buku catatan yang berada di genggaman tangannya untuk sesaat. Hingga Ahwa selesai memotret, barulah secepat kilat Hasbi kembali memfokuskan diri.

“Udah semua, 'kan?” Kali ini Ahwa yang angkat bicara terlebih dahulu.

“Belum. Sebentar lagi.” Tentu saja belum. Seharusnya dia sudah selesai jika beberapa menit yang telah berlalu tak ia bagi untuk melihat perempuan yang berdiri tak cukup jauh darinya itu.

Ahwa hanya diam di tempat. Setelah beberapa puluh menit awal melakukan observasi bersama, lalu Ahwa memecah fokusnya untuk memotret, Hasbi menawarkan diri untuk melanjutkan observasi yang tinggal sedikit lagi seharusnya selesai.

Di tengah keheningan menunggu Hasbi menyelesaikan tugasnya, refleks tangan Ahwa mencengkeram perutnya kuat-kuat. Kedatangan tamu bulanan memang seringkali menyiksa dirinya.

Hasbi yang kali ini benar-benar tak sengaja melihat pun bertanya, “Kenapa?” Hanya gelengan kepala yang dia dapatkan.

“Duduk aja di depan. Sebentar lagi selesai, kok,” titahnya. Ahwa tidak menolak. Dia segera berjalan keluar untuk mendudukkan diri dengan tangan yang terus mencengkeram perut.

Ahwa mencoba melirihkan ringisan sakitnya. Tak ingin mengundang atensi Hasbi untuk mengasihaninya. Akan tetapi, sesuatu yang terjatuh mengenai tangan membuatnya berjingkat terkejut.

Ulat bulu. Menjadi hewan yang tidak Ahwa takuti bukan berarti ia senang bermain-main dengan hewan yang satu itu. Tak menunggu waktu lama, tangannya merasakan gatal yang teramat, tetapi ia hanya diam.

Benar-benar diam hingga Hasbi selesai dengan kegiatannya. Jika saja Hasbi tak melihat tangan Ahwa yang bentol-bentol, mungkin saja Ahwa benar-benar tidak berbicara sekadar mengadu akan apa yang tengah dirinya rasakan. Perut yang sakit dan tangan yang gatal, menambah buruk mood-nya saja.

“Ahwa, kejatuhan ulat? Kok, nggak ngomong?”

“Nggak apa-apa.”

“Aku keluar dulu beli bedak gatal di apotek samping sekolah. Kamu duduk di sana aja,” ucap Hasbi seraya melirik kursi lain yang tak cukup jauh dari tempat keduanya berdiri. Lagi-lagi Ahwa tidak bisa melakukan penolakan. Diamnya pertanda setuju.

Beberapa menit berlalu Ahwa hanya diam, sampai akhirnya Hasbi datang membawa bedak gatal di tangan kanan dan air mineral di tangan satunya lagi. Jujur saja, melihat perlakuan Hasbi saat ini membuat hatinya bimbang. Ahwa masih ingat segala perlakuan Hasbi yang terus mencampuri urusannya, tetapi perlakuan baik temannya itu saat ini tak lantas membuat hatinya tergerak untuk menyatakan telah memberi maaf.

“Mau minum dulu?” tanya Hasbi setelah berada di depan Ahwa.

“Nanti deh.” Mendengar jawaban Ahwa, Hasbi pun memberikan bedak di tangannya dan Ahwa bergegas pamit menuju kamar mandi.

Senyum Hasbi sempat akan mengembang, tetapi berujung hanya kaku tertahan. Perlahan dia memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa persahabatan yang awalnya baik-baik saja harus menjadi seperti ini? Dan karena kesalahan yang ia anggap niat baik?

Tak lama setelahnya, Ahwa kembali. Hasbi menyodorkan air mineral dan disambut baik oleh penerima. Duduk sejenak, meminum sebotol air yang dibelikan oleh Hasbi dan kini telah berpindah ke tangannya.

“Udah selesai, 'kan?” Ahwa bertanya sembari menahan gatal di tangan.

“Udah.”

“Aku pulang duluan. Nanti hasilnya foto aja terus kirim, biar aku aja yang nyusun laporannya. Nanti failnya aku kirim, kamu yang nge-print, barangkali nanti aku nggak berangkat.” Sebuah kalimat panjang yang baru Hasbi dengar setelah kejadian hari itu.

“Aku bantu?” Hasbi menawarkan diri.

“Nggak usah,” sahut Ahwa, “eh, ini?” Ahwa mengangkat bedak dan air di tangannya, memberikan kode akan bagaimana nasib keduanya.

“Bawa pulang aja.”

“Nanti aku ganti. Makasih. Assalamu'alaikum.” Tanpa berlama-lama lagi Ahwa langsung berjalan menjauh.

“Wa’alaikumussalam.” Secepat itu Ahwa menjauh dan kini sosoknya tak tertangkap oleh netra Hasbi yang masih mematung di tempatnya.


***


Mesin yang menorehkan tinta di kertas yang semula berwana putih itu berjalan seakan lambat sekali. Hasbi yang menunggu pun sedikit lebih cemas dari sebelumnya karena tampak satpam sekolah telah bersiap-siap hendak menutup gerbang.

Dia terus menatap ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan. Katanya, jika menatap jarum jam, waktu akan terasa berputar melambat. Sungguh membuat Hasbi ingin tertawa. Seiring dengan tawanya, penantiannya telah selesai.

Dengan cepat dia berlari memasuki sekolah setelah membayar. Pagi tadi Ahwa mengirimkan fail laporan observasi. Ketidaksengajaannya tertidur kembali usai salat Subuh membuatnya gugup tak keruan. Ditambah tempat fotokopi yang biasanya sepi, pagi ini sesak.

“Pak!” sapanya dengan napas tersengal-sengal.

“Hasbi, tumben telat.” Pemilik nama hanya tersenyum menampilkan deretan gigi rapi dan putihnya.

Kring! Tepat. Bel berbunyi usai dirinya memasuki gerbang. Hasbi pun mempercepat langkah menuju kelas. Untung saja sesampainya di kelas belum ada guru yang masuk. Aman, dirinya menghela napas lega.

“Ahwa mana?” Hasbi bertanya pada Kirana karena tidak berhasil menemukan keberadaan Ahwa di kelas.

“Izin, sakit. Katanya minta tolong kamu konsultasi laporan sendirian.”

Dalam hati, Hasbi memuji Ahwa yang benar-benar tidak berangkat sekolah. Semoga saja bukan karena ingin menghindar darinya. Akan tetapi, semoga saja Ahwa tidak benar-benar masih sakit usai apa yang terjadi kemarin siang.


***


Mengkonsultasikan tugas sendirian membuatnya kesulitan. Jadilah Hasbi memberikan alasan bahwa teman satu kelompoknya itu kini tengah sakit, meskipun dalam hatinya merass yakin bukan itu alasan utamanya.

“Baik, Bu. Terima kasih.” Hasbi senang bukan main karena tugas mereka langsung diterima tanpa harus melalui proses revisi.

“Langsung pulang atau ada kegiatan lagi?”

“Iya, Bu. Saya istirahat ikut lomba-lomba dulu.” Lelah, kata yang tak sempat terucap.

Saat keluar dari ruang guru, tak sengaja dirinya mendengar perbincangan Kirana bersama seseorang melalui sambungan telepon. Mendengar isi obrolan itu walaupun hanya sepihak, Hasbi segera berlari menuju gerbang keluar.

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang