Meskipun hari telah berganti, Hasbi tidak lantas menutup segala yang terjadi hari itu. Dirinya masih belum usai dengan lembaran hari sebelumnya. Jawaban Gus Zain saat obrolan kemarin masih terus berputar-putar dalam ingatannya.
Seakan mengisi setiap sudut pikirannya, fokusnya untuk melaksanakan kegiatan lain terampas kehilangan tempat. Akhirnya, Hasbi pun memutuskan untuk mengajak bertemu perempuan pengirim menfess tersebut.
Awalnya tidak ada kecurigaan saat tiba-tiba Hasbi mengajak bertemu tanpa adanya kepentingan sekolah karena memang terkadang Hasbi mengajak perempuan itu bertemu dengan alasan sekadar ingin, bosan, atau menikmati masa putih abu-abu yang hanya berlangsung tiga tahun saja.
Namun, kecurigaan muncul saat Hasbi mengatakan ingin berbicara empat mata saja. Ya, biasanya mereka bertiga atau ditambah teman Hasbi dari luar sekolah. Meskipun merasa heran, ajakan Hasbi tetap disetujui. Hingga akhirnya, di sinilah mereka sekarang. Sebuah kafe yang tak jauh dari rumah keduanya.
“Kenapa, Bi? Maaf, telat,” ucap perempuan itu sesaat setelah berhasil memijakkan kaki di dekat Hasbi yang tengah memainkan ponselnya.
“Nggak apa-apa. Duduk aja, aku pesen minum dulu.” Hasbi mempersilakan setelah melihat siapa yang datang. “Mau minum apa?”
“Samain aja kayak kamu.”
“Oke.” Hasbi beranjak memesan minuman, sembari menyusun rangkaian kosakata untuk memulai pembicaraan itu.
Perempuan tersebut tampak tak tenang dengan duduknya. Ada rasa heran dan penasaran yang membuat jantungnya terasa berdegup abnormal. Pikirannya berlayar ke sana kemari, memikirkan kemungkinan-kemungkinan hal apa yang akan menjadi topik pembicaraan pertemuan yang secara tiba-tiba ini.
Tidak lebih dari sepuluh menit berlalu, Hasbi telah kembali dengan membawa dua gelas minuman dan satu piring kentang goreng. Diletakkannya di atas meja seraya mempersilakan perempuan itu minum terlebih dahulu.
Sebenarnya dirinya masih sibuk menyusun rangkaian kata, tetapi malas untuk berbasa-basi terlebih dahulu. Akhirnya, apa saja yang tengah terlintas di pikirannya pun dia ucapkan tanpa memikirkan bagaimana dengan detik berikutnya.
“Aku bisa bantu kamu,” ucap Hasbi spontan.
Hampir tersedak, perempuan itu bingung dengan apa yang Hasbi ucapkan. Laki-laki yang biasanya tak suka berputar-putar saat berbicara kini benar-benar sulit dicerna ucapannya. “Hah? Bantu apa?”
“Mungkin kamu kaget dengernya. Tapi sebelumnya aku minta maaf karena aku juga salah karena udah lancang ngebuka buku itu.” Hasbi tetap mengakui kesalahannya.
“Maksud kamu apa, sih?” Ada terkaan dalam benaknya akan ke mana arah pembicaraan ini, tetapi dirinya mencoba menyangkal dan yakin arah pemikirannya salah.
“Aku bisa bantu kamu dengan jadi perantara rasa yang sekarang lagi kamu tanggung sendirian.” Hasbi tak mengindahkan kebingungan perempuan itu. Dia yakin, tak mungkin perempuan itu tidak berpikir ke arah sana.
“Sebentar, Hasbi. Aku aja nggak tau arah pembicaraan ini ke mana.” Merasa cukup tak nyaman, hingga intonasinya pun sedikit meninggi.
“Mulai detik ini, kamu nggak perlu capek-capek lagi pura-pura nggak tau di depan aku, karena sekarang aku udah tau apa yang lagi kamu sembunyiin. Bahkan beberapa hari belakangan ini aku lihat gimana jagonya kamu berakting seolah nggak terlibat di kejadian yang lagi rame jadi bahan omongan ini.” Hasbi kehilangan kontrol dirinya.
“Oke, aku minta maaf kalau barusan salah omong. Itu emang hak semua warga sekolah buat ngirim pesan apapun itu tanpa diketahui identitas aslinya.” Hasbi lebih melembut kali ini.
Hening. Tidak ada sahutan dari perempuan itu. Bahkan seakan tidak ada niatan untuk menyahut. Akhirnya Hasbi pun kembali buka suara. “Ingat sesuatu yang tiba-tiba ada di laci meja kelas? Karena itu aku bisa tau.”
“Aku rasa kamu juga tau aturan-aturannya,” ucap perempuan itu.
“Tapi setelah kehebohan yang terjadi dan fitnah yang nyebar, apa kamu nggak ada niatan buat meluruskan?” tanya Hasbi mencoba tetap tenang.
“Dan si pengirim kehilangan haknya buat nggak diketahui identitas aslinya?” tegas perempuan itu.
“Kamu bisa meluruskan tanpa ngomong siapa kamu yang sebenernya.”
“Tapi kenapa tiba-tiba kamu pengin bantu? Padahal, kalaupun orang itu bener aku, ini urusan antara aku dan Gus Zain.” Perempuan itu berucap dengan bergetar. Antara menahan tangis dan memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Dirinya tak menyangka jika tingkahnya akan berujung seperti ini.
“Karena aku tau rasanya jadi kamu.” Singkat saja, karena itu Hasbi melakukan ini.
Perempuan itu hanya diam. Lantas Hasbi kembali berucap, “Aku bakal bantu. Aku bakal tunjukkan tulisan itu ke Gus Zain biar dia tau?”
“Apapun itu, tolong, jangan ikut campur urusanku. Aku harus pergi dan kamu nggak perlu repot-repot ngebantu. Makasih.”
Perempuan itu beranjak, berlalu pergi tanpa ada kata lagi yang terlontar. Meninggalkan Hasbi seorang diri dengan perasaan kacau. Dalam batinnya bertanya-tanya, apakah dia salah melakukan ini.
***
Sementara itu, di sudut lain kota yang sama, seorang anak perempuan tengah berbincang dengan ayahnya. Terduduk di ruang keluarga, usai hening cukup lama menyelimuti keduanya. Anak itu telah berhasil mengumpulkan keberanian untuk angkat bicara.
“Abuya,” panggilnya sopan.
“Nggih, Ndhuk. Pripun?” Sang ayah kini fokus kepada putrinya.
“Kalau kula mencintai laki-laki yang bukan dari kalangan gawagis, apakah Abuya akan merestui?” tanyanya dengan sangat hati-hati.
“Loh, nggak ada yang salah dari sekadar mencintai, Ning. Pokoknya yang penting sampean tau batasannya aja.” Sang putri sedikit bernapas lega mendengar tanggapan sang ayah. Dirinya hanya takut akan mengundang amarah sang ayah karena pertanyaan yang dirinya ajukan.
“Kalau lebih dari sekadar mencintai, Buya?”
“Maksudnya sampean? Ngikat, memiliki?” Cecaran pertanyaan ayahnya ditanggapi oleh anggukan oleh sang putri.
“Sampean masih sekolah, loh.”
“Suatu saat nanti, Buya.”
“Kayaknya tanpa perlu buya jelaskan, sampean udah khatam sama kebiasaannya keluarga kita. Lagipula buya juga sudah ada seseorang yang pengin sekali buya jodohkan sama sampean.”***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomantizmLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...