Part▪︎26

63 4 0
                                    

Usai kepergian Gus Zain, Ahwa dan Kirana tidaklah langsung pulang, tetapi beberapa menit mereka habiskan untuk mencari camilan di sekitaran area car free day tersebut. Jadi, tujuan untuk pagi ini bukan hanya membakar lemak, tetapi juga menambah lemak.

Lalu keduanya pulang dengan menggunakan sepeda, Kirana yang menggoes sedangkan Ahwa hanya duduk di belakang sembari asyik melihat ponselnya. Karena tidak ada suara dari teman yang diboncengnya, Kirana merenggut kesal seraya bergumam, "Heran aku sama kamu, Ahwa."

"Heran kenapa?" Ahwa tetap menyahut karena ia masih bisa mendengar gumaman Kirana.

"Kok, masih tetep kagum sampe segitunya sama Gus Zain. Padahal biasanya orang terkenal satu sekolahan dan organisasi, dekat gitu bakal biasa aja. Nggak peduli orang itu terkenal."

Tanpa sepengetahuan Kirana, Ahwa mengedikan bahu. "Kamu nggak bakal paham soal perasaanku, Kir."

"Iya deh, si paling berperasaan," canda Kirana yang tidak ditanggapi oleh Ahwa karena lebih tertarik pada postingan-postingan yang ada di ponselnya.

Hingga sampai di rumah dan membersihkan diri serta menyantap jajanan yang dibeli, Ahwa sempatkan lagi membuka ponsel dan melihat story WhatsApp dari sosok Gus Zain, di sana tertera caption "Bismillah" yang menimbulkan rasa penasaran Ahwa. Karena rasa itulah gadis itu pun tergerak mencari tahu di story Instagram keluarga dari Gus Zain. Salah satu story menarik perhatian Ahwa, yaitu dari saudara dekat Gus Zain di sana tertera foto di jalan yang tak sengaja pula tertangkap objek punggung dari Gus Zain.

Sebuah pertanyaan timbul, ke mana mereka pergi?

Pertanyaan itu lagi-lagi tidak bisa dijawab Ahwa. Ia seharusnya tak menuntut selalu ingin tahu tentang Gus Zain, ke mana pria itu pergi atau sedang apa dia.


***


Pukul satu siang setelah sholat Zuhur, Ahwa memutuskan untuk duduk-duduk di depan teras rumahnya karena bingung ingin melakukan apa. Orang tua Ahwa belumlah pulang dan di rumah pun masih ada Kirana. Ahwa terdiam memandangi langit yang harusnya cerah kini malah terlihat teduh.

Jika sedang diam melamun seperti ini, Ahwa lagi-lagi terpikirkan tenang siapa dia yang menginginkan sosok Gus Zain sebagai tambatan hati? Rasa insecure tidak bisa hilang hanya dengan kedekatan yang terjadi.

"Ahwa, ngapain?"

Kedatangan Kirana dari dalam rumah seraya membawa mangkuk berisi baso aci membuyarkan lamunan Ahwa. Kirana ikut duduk di samping Ahwa untuk menikmati bakso acinya yang baru dimasak. "Dari pada ngelamun, mending makan. Mau gak? Seger, nih."

Ahwa menggeleng cepat karena melihat kuah merah di mangkuk tersebut. "Aku masih sayang lambung."

"Lambungmu payah," cetus Kirana diakhiri tawa. "Tadi mikirin apa, BTW?"

"Aku ngerasa nggak pantas lagi, Kir."

Kirana memasang wajah datar. "Masih tentang Gus Zain?" Terlihat Ahwa mengangguk kecil.

"Dulu jauh gak bisa digapai. Sekarang deket malah minder buat ngegapai. Serba salah gak, sih?" Ahwa meminta pendapat Kirana.

"Aku nggak paham, deh, sama jalan pikiran kamu apalagi sama perasaan kamu. Labil, kayak anak puber. Eh, emang lagi masa puber, sih," ucap Kirana yang mendapat tatapan mendelik dari Ahwa. "Kunci agar doa segera terwujud itu adalah usaha, dan di dalam usaha harus singkirkan rasa minder atau apalah itu."

"Gampang kalau ngomong doang," sahut Ahwa seraya mengembuskan nafas lirih.

"Denger, kamu harus ambil kesempatan dari projekmu itu," ujar Kirana dengan sedikit berbisik.

Ahwa mendelik kembali. "Sesat," katanya kemudian.

Usai mengobrol-ngobrol santai di teras tadi, Ahwa kembali ke kamarnya tanpa diikuti Kirana karena gadis itu sedang menerima akibat dari menyeruput kuah merah bakso acinya.

Tangan Ahwa menggenggam ponsel yang tak kunjung ia sentuh layarnya. Ia sedang menimbang-nimbang untuk menghubungi Gus Zain tentang projek itu atau tidak. "Jangan terlihat terlalu antusias, Ahwa!" gumamnya pada diri sendiri dan lalu meletakan ponselnya di atas nakas. Ia urung menghubungi.

Namun, beberapa jam kemudian ketika Kirana akan berpamitan pulang. Ahwa tanpa berpikir kembali dan mengesampingkan gengsi, ia pun menghubungi Gus Zain dengan alasan projek menulis. Akan tetapi, yang dihubungi tidak aktif, baiklah tak masalah Ahwa harus menunggu.

Pesan yang dikirimkan Ahwa tersebut baru dibalas beberapa hari setelahnya dan hanya sempat mengobrol sebentar karena nomor Gus Zain kembali tidak aktif. Cukup lama, bak menghilang begitu saja.

Dari pada terus menunggu Gus Zain yang tidak kunjung ada kabar. Selama beberapa hari berikutnya Ahwa mulai memikirkan bagaimana kisah hidupnya bersama Gus Zain untuk cerita yang akan dijadikan garis besar, begitu pun sesuai dengan apa yang diceritakan Gus Zain juga sebelumnya.

Harusnya ini merupakan projek tulisan yang menguntungkan dari segi ide, karena diri sendirilah yang menjadi sumber ide tersebut. Ahwa hanya perlu mengungkapkan harapan dan perasaan pada sosok Gus Zain di dalam cerita tersebut. Akan tetapi entah mengapa, ide yang diharapkan datang dengan lancar malah tersendat tanpa sebab.

Ahwa kehilangan ide, hingga akhirnya Ahwa dengan berpikir berkali-kali untuk membuka buku diari yang diberikan Gus Zain sewaktu pertemuan terakhir kali mereka. Ahwa dibuat berdebar-debar untuk membaca setiap kalimat di dalam sana.

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang