Istirahat para murid di MA As-Syuhada terjadi ketika akan adzan zuhur, oleh karena itu biasanya murid laki-laki dan beberapa murid perempuan sebelum ke kantin mereka menyambangi mushola kecil yang ada di sana. Secara kebetulan pada saat siang itu, Hasbi bertemu Gus Zain yang lebih dahulu keluar mushola dan tengah memakai sepatunya. Hasbi segera menghampiri.
"Gus Zain," sapa Hasbi dengan penuh keakraban.
Gus Zain menoleh, "ucapkan salam, Hasbi," tegurnya.
Hasbi menampilkan deretan gigi putihnya, lalu memberikan salam pada Gus Zain. Semenjak kegiatan lomba minggu lalu, membuat keduanya menjalin pertemanan yang dekat. Meski Gus Zain adalah senior untuk Hasbi, akan tetapi tidak ada perbedaan pada ketika keduanya mengobrol bersama.
"Mau langsung ke kantin, Gus?" tanya Hasbi ketika usai memakai sepatunya, begitu pun dengan Gus Zain.
"Iya. Mau bareng ke kantin?" Gus Zain bertanya balik.
Hasbi langsung setuju dan mereka pun berjalan beriringan menuju kantin. Tempat yang menjadi tujuan utama dikala lapar menyerang para murid itu seperti biasa terlihat ramai. Hasbi dan Gus Zain terlebih dahulu membeli makanan dan minuman di salah satu kedai, lalu menentukan akan duduk di mana.
Untung saja mereka masih mendapatkan meja di kala ramai seperti ini, kalau tidak terpaksa untuk makan di kelas atau kursi dekat lapangan.
"Kamu tidak mengajak teman sekelasmu itu?" Gus Zain berbasa-basi seraya meletakkan makanannya dan duduk.
"Ahwa dan Kirana maksudmu?"
Gus Zain mengangguk, tangannya mengaduk bakso yang akan disantapnya. Hasbi pun terlihat mengembuskan nafas pelan. "Kalau tidak ke kantin, ya ke mana lagi jika bukan perpustakaan," katanya.
Pria yang ada di hadapan Hasbi itu hanya ber ‘oh' ria saja. Ia mulai menikmati makanannya begitu pun dengan Hasbi. Ketenteraman di antara keduanya tak berlangsung lama, sebab Hasbi mulai membuka obrolan baru.
"Sekolah tidak mengikuti lomba lagi, 'kah? Bosan sekali saya, belajar monoton di kelas. Gak ada tantangan yang buat otak saya berpacu," ungkap Hasbi di sela-sela makannya.
"Kamu ini di sekolah niatnya belajar apa ikut lomba, sih." Gus Zain dengan sosok Hasbi ini, sangat ambisius dalam perlombaan.
Hasbi merasa tersentil oleh perkataan Gus Zain. "Ya, tidak seperti itu juga. 'Kan saya ingin terus membanggakan nama sekolah."Gus Zain hanya menggeleng-geleng heran. "Saya punya ide buat mengisi kebosananmu itu," ujarnya.
"Apa, toh?"
Terlihat Gus Zain menghentikan kegiatan makannya dan mulai berbicara serius. "Bagaimana kalau kita mendirikan organisasi baru di sekolahan ini? Sebenarnya sejak kelas sebelas saya udah merencanakannya, namun saya tidak yakin bisa mendirikannya seorang diri."
"Organisasi apa? Di sekolah ini sudah lengkap organisasinya." Hasbi berpikir seperti itu seusai kenyataan.
Madrasah As-Syuhada yang didirikan oleh Kiai Abdullah—Ayahnya Ning Nadia—ini sudah dikatakan lengkap akan fasilitas dan kegiatan di luar jam sekolah yang bisa mengasah kemampuannya. Sehingga mampu menghadirkan para siswa dan siswi yang berbakat. Adapun pondok pesantren satu yayasan dengan MA As-Syuhada yang menjadi pilihan para murid untuk sekolah sekaligus mondok.
"Tapi belum ada organisasi jurnalistik," jawab Gus Zain. Ia menjeda dengan meminum air, dan kembali menjelaskan. "Saya yakin para siswa siswi di sini ada beberapa yang memiliki hobi dalam tulis menulis. Kalau tidak dimanfaatkan, akan sayang sekali."
Hasbi sedikit teringat akan teman sekelasnya Ahwa yang juga memiliki minat dalam tulis menulis. Ide yang diungkapkan Gus Zain ada untungnya dan juga risiko, untungnya yaitu bisa memperluas relasi murid-murid berbakat dan membanggakan sekolah, namun risikonya bila organisasi itu tidak memiliki anggota atau kurang diminati maka akan sia-sia dan dipertanyakan oleh pihak yayasan langsung.
"Saya setuju saja, tapi bagaimana kita meminta izin pada kepala sekolah dan ketua yayasannya? Akan sangat sulit dan lama tentunya," ucap Hasbi, hal tersebut memang benar tapi Gus Zain tetap teguh pada pendirian.
"Semuanya 'kan butuh proses. Insyaallah organisasi jurnalistik akan seperti organisasi lain yang lambat laun diminati banyak murid." Gus Zain menyingkirkan mangkok baksonya yang isinya sudah habis.Ia kemudian mengangkat telunjuknya. "Pertama, kita buat proposal untuk diajukan ke kepala sekolah dan pimpinan yayasan. Nanti saya dan kamu bareng memberikannya pada kepala sekolah."
"Lalu ke pimpinan yayasan?"
Gus Zain tersenyum seolah menyimpan ide brilian. "Kita 'kan dekat sama anaknya pimpinan yayasan, kenapa tidak melalui beliau saja biar cepat?"
Hasbi mengerutkan dahi, lalu detik berikutnya tertawa puas seolah paham ide dari Gus Zain. "Ning Nadia maksudnya? Asyik, pakai orang dalem."
Gus Zain ikut tertawa ringan. "Saya yakin Ning Nadia juga akan bergabung di organisasi ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomansaLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...