Semua ada masanya. Mungkin kalimat itu tepat untuk saat ini. Pekan ujian kelas dua belas telah usai dan giliran kelas sepuluh serta sebelas yang menjalankan ujian akhir semester. Secepat apa pun waktu berlalu, bagi Ahwa setiap hari selalu ada ujian baginya.
Membaca ulang materi sebelum bel berbunyi telah menjadi rutinitas Ahwa sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Membaca dan memahami materi semalaman seakan tak lantas membuat materi-materi itu melekat di pikirannya. Salah dia sendiri yang hanya serius belajar saat akan ulangan saja.
Di sela aktivitasnya mencoba mengingat materi yang telah dipelajari dengan kebut semalam, kedatangan Hasbi mengalihkan atensinya dari setiap baris kalimat yang beberapa hanya berputar di otaknya lalu menguap entah ke mana.
“Hasbi,” panggilnya.
Tentu Hasbi terkejut mendengar Ahwa memanggil namanya, untuk pertama kalinya setelah kejadian itu. “Iya?” sahutnya.
Dengan sedikit ragu Ahwa bertanya, “Boleh ... minta waktunya sebentar?”
“Boleh. Seumur hidup juga boleh.” Mencium bau-bau kecanggungan antara keduanya, candaan Hasbi terlontar begitu saja.
Ahwa hanya tersenyum masam. Rupanya temannya yang satu ini tetap menjadi dirinya yang dahulu, sejak awal mereka saling mengenal dan menyatakan terikat sebuah status pertemanan.
“Iya, ada apa?” Kali ini Hasbi serius.
“Soal makanan ringan sama catatan materi di depan rumah aku, itu kamu yang anterin?” Seharusnya tebakannya tak mungkin meleset.
“Hah, yang mana?” Hasbi mencoba mengingat kembali apa yang telah dirinya lakukan.
“Waktu aku nggak berangkat, ulet, laporan biologi.” Ahwa menyebutkan hal-hal yang bersangkutan dengan hari itu.
“Oh itu. Iya, aku. Tapi kenapa bisa nebak gitu?” Hasbi mengaku seraya meletakkan tasnya tepat di meja samping seberang Ahwa. Lebih tepatnya tempat duduknya.
“Kayak nggak asing aja sama tulisannya.”
Obrolan itu terus berlanjut hingga beberapa menit ke depan. Tidak lama karena Ahwa memutuskan untuk kembali membaca ulang materi yag yang mungkin akan keluar di soal-soal ujian akhir semester.
Obrolan itu pun membawa perubahan baik bagi keduanya. Mereka berbaikan. Pikir Ahwa, yang telah terjadi memang akan tetap seperti itu. Dia tidak bisa membuat semua orang lupa akan apa yang mereka ketahui. Sudah pasti kesal dengan Hasbi, tetapi jika dia percaya takdir, mungkin memang sudah takdirnya semua berjalan seperti ini.
Hingga istirahat berlangsung, Ahwa bingung harus bagaimana lagi belajar materi matematika. Dia hanya bisa menyuarakan oh dengan lancar saat mencoba mempelajari dan memahami sebagai tanda bahwa dirinya paham, tetapi kenapa saat mengerjakan seolah susah sekali.
Alih-alih belajar bersama saling memberikan penjelasan, Ahwa dan Hasbi justru membicarakan hal lain. Perihal tawaran Gus Zain yang ingin berkolaborasi menulis dengan Ahwa, perempuan itu bercerita kepada Hasbi.
“Serius?” Bukan tak percaya. Hanya sedikit sulit untuk dipercaya.
“Iya. Aku juga ... kaget.”
“Kamu terima?”
“Mm ... mungkin bakal aku terima, tapi nggak sekarang.” Kini bahkan Ahwa telah menutup bukunya.
“Kenapa?” Lagi-lagi yang terlontar dari mulut Hasbi sebuah pertanyaan.
“Ulangan kenaikan kelas udah cukup bikin aku pusing, ya. Mana bisa pikiranku bercabang mikirin hal lain,” sahut Ahwa dengan memperagakan seolah dirinya benar-benar pusing.
“Tapi kamu sekarang mikirin Gus Zain juga, 'kan?”
Terdiam. Ahwa tidak lantas menjawab pertanyaan Hasbi kali ini. Merasa salah dengan apa yang diucapkannya, Hasbi pun segera meralat. “Maksud aku mikirin tawaran Gus Zain.”
Canggung. Ahwa hanya menanggapi dengan tersenyum dan mengangkat bahu, lalu mengalihkan topik pembicaraan seolah kembali berminat pada banyaknya angka-angka di hadapannya itu.
“Terima aja, Wa,” saran Hasbi.
“Insyaallah.”
***
Jika diibaratkan dirinya hidup di dunia kartun, mungkin kepalanya sudah mengeluarkan asap setelah berkutat dengan angka-angka. Dia hanya bisa memijat kepala agar rasa pusingnya yang benar-benar nyata setidaknya berkurang.
Tidak ada tujuan lain. Kini dia hanya ingin pulang, melepas segala beban di pundak walaupun tidak terlalu berat karena hanya membawa beberapa buku pelajaran yang diujikan hari ini.
Di sisi lain, tampak seorang laki-laki memandang dirinya menjauh. Tidak ada niatan memanggil. Bahkan kini langkah mereka terayun ke arah yang berbeda. Dengan terayun gontai, langkah laki-laki itu membawanya ke musala sekolah.
Diliriknya parkiran yang telah sepi dalam sekejap. Tidak memperdulikan sepeda motornya yang kini tak memiliki teman, pikirnya kini dirinya pun sendiri, waktu yang tepat untuk berlama-lama selagi gerbang belum ditutup.
Namun, baru beberapa menit dirinya membaca Al-Qur’an untuk menenangkan hatinya yang terasa kacau sejak istirahat melalui ponsel di teras musala, seorang perempuan yang mungkin telah menunaikan salat Zuhur keluar dari musala. Dia tidak melihat ada sepatu tergeletak di sana. Ternyata dirinya tak sendirian.
“Hasbi.”
“Ning.”
“Kenapa belum pulang?” Ning Nadia bertanya seraya memakai sepatu.
“Galau, Ning. Kalau pulang sekarang takut galaunya kebawa sampai rumah, hehe.” Jujur sekali dirinya menjawab.
“Cinta?” Singkat saja.
Kekehan Hasbi seakan membenarkan. “Hebat banget, ya, Ning. Satu kata bisa bikin yang ngerasain kayak saya ini contohnya.”
“Iya satu kata, tapi banyak rasanya. Kayak es krim, haha.” Iya, benar. Ning Nadia memang sedang bercanda. Tak panjang, tetapi setidaknya bisa membuat lawan bicaranya sejenak tertawa.
“Mending es krim, sih, Ning. Manis semua. Kalau ini?” Benar-benar sejenak tertawa. Pertanyaan dari mulut Hasbi terlontar dengan nada tak bersemangat.
“Menurut saya, nggak ada yang salah dari mencintai. Kamu nggak salah mencintai dia, tapi kamu juga harus siap menanggung apa pun itu rasanya. Mungkin akan terlalu rumit kalau dibicarakan. Kalau saya, sih, cuma inget satu hal. Apa yang menjadi takdirmu tidak akan melewatkanmu. Mau sepahit apa sekarang, kalau emang dia tulang rusukmu, suatu saat kamu akan jadi tulang punggungnya dan ... selamat bekerja buat menghidupi dia. Hahaha.” Ya, tidak jadi seserius itu pembicaraannya.
“Masyaallah. Makasih, Ning.”
“Ehm ... njenengan merasa tertikung nggak, Ning? Tertikung karena Ahwa mengagumi Gus Zain.” Hasbi merutuki dirinya sendiri dalam hati. Pertanyaan macam apa itu.
Lagi-lagi Ning Nadia tertawa. “Enggaklah. Cuma temen dan saudara, kok. Nggak lebih.” Dengan santai Ning Nadia menjawab.
“Maaf, Ning. Pertanyaan macam apa kayak begitu, ya.” Hasbi benar-benar merutuki dirinya sendiri.
“Nggak apa-apa. Santai aja. Lagipula, ada sosok lain yang lagi didiskusikan sama hati saya,” ucap Ning Nadia tanpa menatap lawan bicaranya.
“Saya pastikan dia orang yang beruntung.”***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...