Part▪︎6

78 7 0
                                    

Seluruh kelas di Madrasah As-Syuhada masih terus diramaikan oleh topik perbincangan menfess yang ditujukan pada Gus Zain. Hebohnya pesan rahasia terjadi di kalangan para siswi, dan ada beberapa para siswa juga yang ikut penasaran siapa perempuan pencipta kehebohan ini.

Gus Zain harus lebih bersabar atas kejadian ini, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun termasuk perempuan pengagum tersebut. Toh, Gus Zain sendiri yang menciptakan ide menfess, dan tidak ada larangan untuk para murid akan menunjukkan pesan itu untuk siapa.

Jika perempuan itu benar-benar mengagumi, Gus Zain tidak melarang. Selagi tidak ada tindakan yang buruk, maka Gus Zain akan tetap diam dan tidak ikut penasaran siapa perempuan itu. Diamnya Gus Zain terhadap kabar yang berembus, membuat para siswi semakin digelayuti penasaran. Terkadang mereka memberikan pertanyaan pada Gus Zain.

"Njenengan gak risih sama menfess itu, Gus?"

"Ngapain toh harus risih? Kalau yang ngirim menfess itu Ning Nadia."

"Belum tentu, yang kagum sama Gus Zain 'kan banyak."

Gus Zain memejamkan matanya sekejap seraya mengembuskan nafas pelan. Ia harus sabar. Dua siswi tanpa tahu kondisi secara tiba-tiba datang ke meja perpustakaan tempatnya membaca. Mereka berbisik-bisik membahas topik hangat tersebut pada Gus Zain.

Hal ini sangat mengganggunya, tapi Gus Zain harus tetap sabar. "Maaf, ini perpustakaan dilarang berisik begitu pun mengobrol. Silakan kembali membaca dengan tenang, nggih."

Lantas saja dua siswi itu terdiam, dan kembali pada meja tempat membacanya tadi. "Astagfirullah, sabar," gumam Gus Zain sangat pelan. Lalu ia memilih membawa buku yang sedang dibacanya untuk dipinjam ke pihak penjaga perpustakaan.

Di sisi lain pada ruangan perpustakaan itu, seorang perempuan berpakaian sama seperti siswi lain terlihat menyembunyikan wajahnya di balik buku besar yang dibaca. Akan tetapi telinganya seolah terhubung pada pembicaraan dua siswi yang menghampiri Gus Zain tadi. Tanpa sadar perempuan itu menggigit bibir bawahnya selama mendengarkan, seolah ada perasaan tertentu.



***


Keesokan harinya, sesuai apa yang diberitahukan sang ketua organisasi di grup obrolan, bahwa istirahat pertama akan diadakan kumpul bersama para anggota jurnalistik.

Dikarenakan masih kenyang sarapan tadi, biasanya Ahwa dan Kirana memilih tidak ke kantin dan menghabiskan waktu istirahatnya ke perpustakaan ataupun duduk-duduk di depan kelas. Akan tetapi, hari ini ada pertemuan organisasi, maka keduanya memilih ke ruang pertemuan terlebih dahulu.

Para anggota jurnalistik biasanya melalukan pertemuan di gazebo halaman sekolah yang biasa digunakan para OSIS rapat ataupun belajar mengajar di luar.

"Hebat, ya, perempuan pengirim menfess itu." Tiba-tiba Kirana membahas lagi 'si pengirim menfess' yang membuat Ahwa bosan mendengarnya.

"Hebat buat heboh satu sekolah, ya?" lontar Ahwa seraya duduk di pinggir gazebo begitu pun dengan Kirana.

"Hebat juga bisa ngungkapin perasaannya. Enggak cuma dipendam sampai sesak. Siapa tahu dengan mengungkapkan ada takdir dia buat wujudkan perasaannya."

Ahwa terlihat menatap lurus. "Tapi kalau diam memendam lalu happy ending, itu lebih romantis."

Kirana mengembuskan nafas. "Apalah Ahwa yang hanya bisa memendam tanpa tahu rasanya mengungkapkan sebuah perasaan itu selega apa."

Mendengar penuturan sang teman membuat Ahwa seketika tersenyum masam. Inilah jadinya bila dua pemegang prinsip berbeda membicarakan tentang cinta.
Selang beberapa menit setelah pembicaraan Ahwa dan Kirana selagi menunggu, akhirnya yang ditunggu itu datang. Para anggota perlahan berdatangan, ada yang dari kelas 10 sampai 12. Gus Zain selaku ketua pun sudah datang.

Di pertemuan itu mereka membahas perihal dilanjutkan atau tidak kegiatan menfess yang kini cukup menjadi heboh di kalangan murid. Beberapa pendapat anggota mengatakan bahwasanya dilanjut saja, agar organisasi jurnalistik semakin dikenal. Lalu pembahasan kedua mengenai kegiatan selanjutnya, entah mengenai pencarian pemberitaan sekolah, pendidikan, dan lain-lain yang akan dimasukkan pada blog jurnalistik dan akun medsos lain.

Di ujung pembahasan sebelum usainya pertemuan, Hasbi menyentil kembali topik hangat yang sangat bosan didengar oleh Gus Zain ataupun yang lain.

"Kamu Jihan yang kebagian tugas memposting menfess pada hari itu 'kan?" tanya Hasbi pada siswi yang duduk di sebelah Ning Nadia.

Jihan menangguk. "Kenapa?"

"Gak ada niatan apa buat kasih tahu siapa pengirim menfess heboh itu? ‘Kan ada tuh nama emailnya.”

"Perempuan itu gak bodoh Hasbi, dia gak bakal pakai email asli, lah." Jihan dengan santai menanggapi.

Gus Zain mengangguk. "Benar itu. Hasbi sudahlah, biarkan Allah dan perempuan itu yang tahu."

"Ah, tapi saya penasaran banget. Saya juga kayanya yakin, deh, Ning Nadia yang ngirim. Iya 'kan, Ning?" Hasbi beralih melihat ke arah Ning Nadia.

Tampak Ning Nadia tertawa ringan mendengar penuturan Hasbi. Ia menggeleng kecil. "Tidak, Hasbi."

Hasbi menatap tak percaya, ia seperti detektif yang melempar tatapan curiga pada Ning Nadia. Sebelum Hasbi mengajukan pertanyaan lagi pada Ning Nadia, maka Gus Zain pun dengan segera mengusaikan pertemuan tersebut.


***

Mohon maaf part nya pendek.
Jangan lupa kritik dan saran

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang