Waktu yang dapat dikatakan singkat untuk saling mengenal menuju kehidupan yang tidak hanya menyatukan dua orang laki-laki dan wanita, melainkan juga menyatukan dua keluarga. Bukan sekadar ingin, lantas menikah. Bahkan sekalipun mereka telah jauh hari saling mengenal, meskipun salah satu di antaranya sejak dahulu sangat ingin memiliki, pada akhirnya akan banyak pertimbangan untuk mengambil langkah lebih serius ini.
Namun, pada akhirnya kini dua insan yang rupanya saling mencintai itu sama-sama meyakinkan hati untuk melangkah ke jenjang lebih serius. Dengan abaya hitam dan jilbab ungu lengkap dengan cadar yang menutup sebagian wajah cantiknya, mata wanita itu terlihat menatap dengan gugup. Kepalanya tertunduk, jemarinya yang tertaut tidak dapat tenang, tanda bahwa dirinya benar-benar gugup saat ini.
Bagaimana tidak. Di hadapannya, terdapat keluarga yang sebelumnya hanya terdapat dalam angannya. Keluarga yang dulu dia angankan untuk datang memintanya menikah dengan sang anak. Meskipun kini posisinya tidak lagi sama. Tidak ada seorang ibu yang dia harapkan akan menyematkan cincin di jarinya.
“Bismillah. Dengan izin Allah, saya menerima lamaran njenengan.” Riuh hamdalah seketika terdengar usai wanita itu menyelesaikan ucapannya dengan suara yang bergetar menahan tangis.
“Bagaimana dengan ijab qabul dan resepsi pernikahannya?” Pertanyaan itu terlontar dari ayah sang lelaki.
“Lebih cepat lebih baik.” Ayah sang wanita pun menyahut.
Dua keluarga itu terus berbincang. Di tengah obrolan yang tidak ada habisnya seolah keduanya telah lama menjadi akrab, ada seorang lelaki dan wanita yang hanya terdiam. Mereka yang masih tidak menyangka takdir akan membawanya kepada saat ini. Sebuah kisah yang bahkan dahulu hanya terdengar sebagai lelucon, sebuah hal yang tidak mungkin terjadi, hanya imajinasi.
“Bagaimana kalau sekarang?”
“Loh, Abah.” Matanya terbelalak lantaran terkejut. “Kenapa buru-buru sekali. Ada pernikahan impian Ahwa yang ingin Zain wujudkan.”
***
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan.” Kalimat itu terucap dengan lantang. Seorang wanita mengembangkan senyum bercampur haru. Kata sah yang menggema pun semakin ingin menerobos pertahanannya, meluruhkan bulir bening yang sudah sedari tadi dirinya tahan agar tidak membasahi pipi.
Masjid ini menjadi saksi bisu keduanya mengikat janji suci, setelah perjalanan panjang yang seolah tak memberi arah untuk bersatu. Beberapa tahun lalu, ada sesuatu yang baru dimulai. Di masjid ini, takdir Allah mempertemukan seorang wanita dengan lelaki yang mampu membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama. Lelaki yang jika dilihat dari sudut pandang manapun, jelas tidak ada hal yang bisa dijadikan alasan cintanya akan berujung indah.
Kalian tahu halu? Itu makian yang bahkan wanita itu sendiri lontarkan terhadap dirinya saat mulai berharap kepadanya. Mengikhlaskan sempat menjadi sebuah keputusan. Segala hal telah dia tempuh agar cinta itu hilang dan segala kenangan tak perlu lagi dikenang.
Namun, Allah Maha Baik. Menetapkan takdir terbaik pada waktu terbaik pula. Pun mempertemukannya dengan lelaki terbaik untuknya menurut Allah. Wanita itu berjalan didampingi kedua temannya. Rasa gugup mendekapnya, tetapi senyum itu masih tercetak indah pada bibirnya meski terhalang kain cadar.
“Masyaallah, Ahwa. Selamat udah nggak jomblo lagi,” celetuk Kirana agar temannya tidak terlalu gugup.
“Jangan gitu, nanti aku nangis.” Tidak bisa, Ahwa tidak bisa berjalan dengan anggun seraya tersenyum manis layaknya pengantin lain. Dia bingung harus bagaimana selepas ini.
Hingga sampailah Ahwa terduduk di samping laki-laki yang sebelumnya hanya ada dalam imajinasinya meski nyata dalam dunianya. Ahwa meraih tangan yang sebelumnya tak pernah dirinya sentuh. Seperti tersengat listrik. Ahwa sejenak terdiam. Ada rasa yang sebelumnya tidak pernah dirinya rasakan. Seperti ... Ahwa pun tak tahu perasaan apa ini.
“Masyaallah, cantik.”
“Gus Zain ....” Netra Ahwa menatap seolah memprotes, tetapi bibirnya tidak bisa berbohong untuk tidak tersenyum. Tidak bisa. Ahwa salah tingkah. Untunglah tidak ada yang melihat senyuman itu.
“Mas.” Gus Zain meralatnya.
***
Gus Zain dan Ahwa berjalan beriringan usai melaksanakan salat Isya di masjid pesantren. Keduanya tidak lepas dari atensi para santri. Ahwa terus menundukkan pandangan lantaran malu. Kini dia sudah seperti di negeri khayalannya dahulu.
“Kenapa?” tanya Gus Zain ketika melihat Ahwa seperti itu.
“Eh? Nggak apa-apa, Gus. Malu aja diliatin gitu,” jawab Ahwa, “Oh iya, besok kita jadi ke rumah aku, Gus?” Ahwa mengalihkan topik pembicaraan.
“Rumah kamu, kan, aku.”
“Ih, maksudnya rumah ibu.” Gus Zain, tolong jangan buat Ahwa salah tingkah terus.
“Aaa, pengin kayak gitu, Ya Allah.” Aksi salah tingkah Ahwa terhenti saat mendengar ucapan salah satu santriwati yang cukup keras.
“Kecilin suaranya. Ngapunten, Gus, Ning.”
Huh, akhirnya Ahwa bisa bernapas sedikit lega terbebas dari tatapan santri. Dia tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian, tetapi kini justru menikah dengan Gus Zain yang selalu menjadi pusat perhatian. Bahkan, belum ada sehari menikah, akun media sosialnya sudah diserbu oleh para pengagum gusnya itu. Tunggu, gusnya?
“Ning.” Ahwa tersentak kaget mendengar sapaan itu. “Lagi mikirin apa, sih?”
“Enggak, Gus. Kaget aja fans njenengan banyak yang mampir ke akun aku.” Ahwa jujur sekali. Bagaimana tidak. Akun yang dahulu anonim dan tidak ada pengikutnya, sekarang dalam sekejap diikuti oleh banyak orang.
“Kalau nggak nyaman diprivat aja akunnya.” Ahwa mengangguki saran Gus Zain.
Hening. Tidak ada lagi obrolan. Keduanya masih cukup canggung. Hingga sesuatu terlintas di pikiran Gus Zain. Dia pun beranjak, berjalan menuju lemari dan mengambil sesuatu. Ahwa mengernyitkan dahi melihat itu. Seolah tahu Ahwa meminta penjelasan, Gus Zain pun terduduk dan langsung angkat bicara.
“Cerita kita.” Singkat, tetapi Ahwa tahu maksudnya.
“Cerita yang aku tulis? Gus Zain print?” Ahwa cukup terkejut. Dia kira file tulisannya itu sudah hilang.
“Iya, tapi bagian akhir masih belum ditulis,” ucap Gus Zain.
“Kenapa?” Ahwa bertanya penasaran. Sudah bertahun-tahun lamanya.
“Nunggu ending terbaik. Dan ternyata ... hari ini ending terbaiknya.” Gus Zain tersenyum usai menyelesaikan ucapannya.
“Tapi ini bukan akhir, 'kan, Gus?”
“Bukan. Ini awal, semuanya akan terus berlanjut. Kita bareng-bareng menjalani kehidupan setelah ini. Kita jalani bersama, ya.”***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...