Part▪︎27

47 4 0
                                    

Kau tahu salah satu bagian yang mendebarkan dari takdir? Ingin menyangkal atau tidak, tentu takdir akan terjadi sesuai ketetapan-Nya. Sebagai hamba hanya mampu berusaha yang terbaik. Terkait hasil akhirnya, menerima adalah jalan akhir, perihal memperbaiki kembali lagi kepada hamba yang menjalani.

Bagi Ahwa, salah bagian yang mendebarkan dari takdir adalah teka-teki yang muncul di tengah-tengah alurnya menjalani kehidupan. Teka-teki yang membuat dirinya menerka-nerka, memunculkan harapan yang seharusnya sudah mulai dia kikis meski perlahan.

Selalu ada pilihan dalam kehidupan. Segala kemungkinan yang terlintas dalam benaknya pun bercabang, menambah rumit kehidupan yang nyatanya semakin rumit setelah rasa bernama cinta itu hadir dalam hidupnya.

Ahwa takut. Kata hidup yang telah mengajarkannya banyak hal, yang dikejar justru semakin menjauh, dan sebaiknya. Lalu yang tidak terbayangkan terjadi, sedangkan yang terbayangkan justru hanya menjadi angan yang tak lantas menjadi kenyataan.

Jadi, bagaimana jika yang akan dia tulis berbanding terbalik dengan kenyataan? Bagaimana bisa Gus Zain menuliskan segala hal yang indah dalam buku ini? Apakah ini bentuk harapan dan doanya? Namun, tidak bisakah segala kata di buku ini tak membuat Ahwa berpikir keras?

Setiap rangkaian katanya seolah membuat hatinya terombang-ambing. Ahwa seakan melihat, kata “dia” pada setiap narasi-narasi tulis tangan Gus Zain ini adalah dirinya. Entah betul adanya atau memang karena dirinya yang terlalu berharap. Ahwa takut, sebenarnya selama ini dirinya kecewa karena ekspetasinya sendiri.


***


Senin, bukan tentang kepadatan usai hari libur. Mereka para pelajar MA As-Syuhada justru tersenyum bahagia karena hari ini bebas karena beberapa alasan. Meskipun tidak semua karena ada yang merasa sia-sia berangkat sekolah jika tidak mendapatkan pelajaran secara langsung dari guru.

Namun, untuk saat ini Ahwa termasuk ke tim yang tersenyum lega, bukan bahagia. Dia hanya bersyukur, di saat pikirannya tengah kacau, bercabang memikirkan banyak hal yang memang seharusnya tidak perlu dia pikirkan, setidaknya tidak harus ditambah dengan memikirkan Matematika yang senantiasa menyambut awal pekan.

“Ahwa.” Merasa dipanggil, pemilik nama yang baru saja menghela napas panjang langsung menoleh ke arah suara.

“Iya. Kenapa?” Ahwa menyahut bertanya. Rupanya Hasbi yang memanggilnya.

“Istirahat makan bakso di depan sekolah, mau?” Hasbi menjawab dengan pertanyaan sekaligus ajakan.

“Boleh keluar sekolah?” Sepertinya ini ajang saling bertanya.

“Bolehlah. Bebas juga.” Usai Hasbi menjawab demikian, Ahwa pun menerima ajakannya itu.

Kirana yang baru masuk kelas seolah bisa menangkap telah terjadi sesuatu. Bibirnya langsung terbuka, melontarkan pertanyaan-pertanyaan, penasaran dengan apa saja yang telah dilewatinya. Padahal dia hanya ke belakang sebentar.

“Yahhh, makan bakso nggak ngajak-ngajak,” keluhnya kesal setelah mendengar penjelasan Hasbi.

“Ya udah tinggal ikut aja.” Ahwa ikut menyahuti.

“Nggak bisa, Ahwa! Kalian bebas, aku ada urusan.”

“Sok sibuk,” cibir Hasbi.

“Lah emang aku orang sibuk. Sampai pusing banget, jadwalnya pada bentrokan.” Kirana melebih-lebihkan ucapan dan ekspresinya.

Ahwa hanya bisa tertawa kecil. Si tukang rebahan yang mendadak sibuk. Paling urusan yang Kirana maksud ulangan susulan dan tugas yang belum terselesaikan. Ahwa terkadang juga heran. Seorang Kirana yang kerjaannya lebih banyak rebahan, kok, tugasnya tetap terabaikan.

“Ya udah nggak usah ikut. Gampang wes, urip aja digawe angel.” Kirana pun diam, meratapi nasibnya yang harus memperbaiki nilai ulangan. Tentu dia tidak ingin membuat hidupnya susah sesuai ucapan Hasbi barusan.


***


Meskipun tidak ada bel, jangan ragukan kekuatan ingatan Hasbi tentang kapan jam ganti pelajaran, istirahat, dan pulang tiba. Kekuatan ingatannya menghantarkan Hasbi dan Ahwa telah sampai di penjual bakso depan sekolah.

Tanpa mereka sangka, Ning Nadia pun hendak memakan bakso di sini juga. Akhirnya mereka pun memakan bakso bersama dalam satu meja. Beberapa menit didominasi keheningan karena sibuk dengan makanan masing-masing dan bingung harus berbicara apa.

Namun, menit berikutnya, keberanian yang telah berhasil Ahwa kumpulkan menghantarkan mereka membicarakan seseorang yang seakan telah lama menghilang dari penglihatan Ahwa.

“Ning, Gus Zain tiba-tiba ngilang, ya.” Ahwa bingung harus menjadikan itu kalimat pertanyaan atau pernyataan.

“Dia nggak ngomong sama kamu? Dengar-dengar kalian mau nulis bareng.” Ning Nadia mengernyit kebingungan.

“Enggak. Cuma waktu lagi ngebahas itu kayak beda.” Ahwa mengungkapkan rasa kejanggalannya akan sikap Gus Zain.

“Gus Zain sekarang kuliah di Yaman.”

Pernyataan Ning Nadia membuat Ahwa terbatuk-batuk. Segara diambilnya es teh manis di hadapannya itu dan meminumnya perlahan. Ahwa benar-benar terkejut mendengar ucapan Ning Nadia. Bagaimana bisa kabar itu tak tercium banyak orang termasuk penggemar Gus Zain, padahal dirinya sering mengecek akun media sosial Gus Zain hingga keluarganya.

“Nggak apa-apa?” Pertanyaan Hasbi mendapat gelengan dari Ahwa. Sedangkan Ning Nadia terdiam yang sejenak dan menatap Hasbi serta Ahwa secara bergantian.

“Kapan perginya, Ning?” Menepis segala rasa takutnya, Ahwa bertanya demikian. Biarkanlah. Jika menolak lupa, semuanya juga sudah tahu bahwa dirinya menaruh rasa pada Gus Zain.

“Mungkin sekitar 24 jam yang lalu. Setelah ... kalian ketemu,” jawab Ning Nadia.

“Kemarin kalian habis ketemuan?” Tanpa aba-aba, Hasbi ikut menyahut.

Ahwa sedikit terbelalak, terkejut. Dia tidak mengira bahwa Ning Nadia seakan tahu segalanya tentang Gus Zain. Atau barangkali mungkin Gus Zain mengatakan yang sebenarnya saat pergi sebelum berangkat ke Yaman.

Ya, jika kepergian Gus Zain sekitar 24 jam yang lalu, itu tandanya Gus Zain pergi setelah bertemu dengan Ahwa dan Kirana pagi hari itu. Menyempatkan bertemu sebelum keberangkatannya ke Yaman? Tolong, jangan buat Ahwa semakin berharap usai mendengar kenyataan ini.

“Kita ... joging, sama Kirana juga. Sekalian ngebahas projek bareng.” Jeda sepersekian detik. “Sesuai saran kamu buat nerima tawaran Gus Zain.”

Hasbi hanya mengangguk menanggapi. Ahwa dan Ning Nadia pun terdiam. Mereka bertiga kembali fokus dengan makanan masing-masing dan mencoba menghabiskannya. Meskipun rasanya Ahwa sudah kenyang.


***


Ahwa menarik kembali senyum leganya, rasa syukur karena hari ini bebas. Tidak ada pelajaran yang harus dia terima dan coba memahami membuat pikirannya semakin leluasa kosong, menempatkan Gus Zain semakin luas dalam setiap sisi ruang dalam pikirannya.

Hingga pulang sekolah. Semuanya terasa berubah. Ahwa memang tidak terlalu pandai berakting akhir-akhir ini. Perubahan sikapnya disadari oleh Hasbi. Sebagai saksi keterkejutan Ahwa saat mendengar kabar Gus Zain pergi, Hasbi seakan bisa menebak untuk siapa kini pikiran Ahwa tertuju.

“Udah, Gus Zain ke Yaman juga buat menuntut ilmu.”

“Innalillahi. Ngagetin aja. Apa, sih? Nggak ada yang mikirin Gus Zain.” Ahwa menyangkal.

“Mikirin projek tulisannya?” Ahwa terdiam. “Kalian pasti udah ngebahas ini. Tulis aja, Wa. Gus Zain akan nganggap karya kamu sebagai hadiah kepulangannya nanti. Ini impianmu, 'kan?”

“Huh ....” Jelas, helaan napasnya terdengar jelas.

***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang