Bujukan Hasbi menerbitkan kata bersedia dari Ahwa. Riuh ucapan syukur dalam batinnya, tidak menyangka usahanya berbuah hasil yang diharapkan. Hasbi pun meminta Ahwa untuk mengatakan kesanggupannya langsung kepada Gus Zain.
Ucapan Hasbi itulah membawa Ahwa di sini, pelataran aula sekolah, berniat hendak menemui Gus Zain. Setelah mencari ke tempat yang biasa disinggahi Gus Zain, rupanya gus yang masih berusaha dilupakan olehnya sedang berada di sini.
Namun, langkah Ahwa tertahan untuk mendekat. Pasalnya Gus Zain saat ini terlihat sedang bersama Kiai Abdullah atau abi Ning Nadia. Seperti sedang membicarakan hal yang teramat penting dan merasa sungkan pula, akhirnya niatnya itu dia batalkan.
Tidak ingin mengganggu, Ahwa perlahan berjalan mundur dan pergi menjauh. Dirinya kini bingung hendak ke mana. Jam istirahat membuat koridor sekolah cukup disesaki lalu-lalang siswa siswi.
Empat bulan berlalu tidak lantas menjadikannya seorang siswi normal kembali yang tidak terlalu diindahkan keberadaannya. Jika maksud diindahkan itu ditatap tidak sebelah mata lagi oleh orang-orang, tentu dirinya tidak masalah karena itu harapannya.
Namun, saat ini beberapa orang yang dia temui menatap sinis ke arahnya. Entah Ahwa pun tidak tahu ada urusan apa antara dirinya dan mereka yang menatap sinis seakan tidak suka keberadaan dirinya di sini. Bukankah ini urusan antara dirinya, hatinya, dan Gus Zain?
Ahwa tidak suka urusan hidupnya ikut diurus oleh orang lain. Akan tetapi, lagi-lagi dirinya hanya bisa terdiam saat diperlakukan seperti itu, memaki dalam hati, dan menangis jika sudah terlalu lelah.
Setelah berjalan tidak jelas, Ahwa putar balik, padahal kelasnya sudah dekat jika dia tidak menemukan tujuan akan ke mana. Akan tetapi, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk memberitahukan keputusannya untuk mengikuti perlombaan kepada guru yang bersangkutan secara langsung. Lagi, dia harus melewati tahapan-tahapan tidak mengenakkan itu untuk sampai ke ruang guru.
“Assalamu'alaikum,” ucapnya lirih seraya meneliti mencari keberadaan guru bahasa Indonesia selaku penanggung jawab perlombaan ini.
Ketika netranya tidak menangkap yang dicari, barangkali penglihatannya yang tidak mahir mencari seseorang, Ahwa lantas berjalan dengan sedikit membungkuk mendekati guru yang paling dekat dengan pintu. Bermaksud hendak bertanya.
“Assalamu’alaikum. Permisi, Bu. Maaf, izin bertanya, ibu guru yang mengampu perlombaan esai di mana, ya?” Dengan mencoba sopan Ahwa bertanya.
“Ahwa, ya?” Ahwa lantas mengangguk.
Dirinya yang pendiam dan tidak memiliki terlalu banyak prestasi bisa dikenal oleh guru yang belum pernah mengajarnya tentu karena persoalan itu. Lagi pula, berani-beraninya dirinya dengan senang hati berurusan dengan gus. Kini hatinya yang sakit.
“Kayaknya lagi di lab komputer. Kamu coba ke sana aja.”
Ahwa mengangguk paham. “Nggih, Bu. Terima kasih. Maaf mengganggu waktunya.”
“Nggak apa-apa.”
Huh! Ahwa harus kembali berjalan jauh. Sekolah yang cukup luas ini terkadang membuat dirinya merutuk kesal. Terlebih setelah kejadian itu, tingkat level kemalasan Ahwa untuk keluar kelas semakin naik.
Ahwa mencoba tidak peduli dengan sekitar. Biarkan saja yang tidak tahu melihat seperti apa. Lagi pula mengakui perasaan bukan hal yang teramat sangat memalukan pikirnya. Itu hal yang biasa bukan? Mungkin hanya bisa dilakukan oleh yang pemberani.
Ahwa hanya bisa tertawa sendiri dan menggelengkan kepala. Untung saja keadaan sekitar sepi. Jika ramai, bertambahlah bahan omongan tentang dirinya yang tidak-tidak. Sungguh si pemalu yang sedang dilatih bermental baja. Akan tetapi, ternyata Ahwa yang tidak menyadari ada seseorang di situ.
Hingga sampailah Ahwa di laboratorium komputer. Kini dia bisa bernapas sedikit lega karena tujuannya benar ada di ruangan ini. Tinggal mengutarakan maksud kedatangannya, baru setelah itu bisa sepenuhnya bernapas lega. Ah, tidak. Ada perlombaan yang harus dipersiapkan jika dirinya disetujui untuk ikut.
“Assalamu'alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Ahwa, ya?”
“Nggih, Bu.”
“Monggo, masuk. Bagaimana, Ahwa? Gus Zain sudah ngomong ke ibu.”
Ahwa sedikit membelalakkan mata. Baru masuk langsung ditodong dengan pertanyaan. Dia hanya bisa tersenyum seraya memasuki ruang laboratorium komputer.
“Iya, Bu. Saya ke sini ingin menyampaikan kalau saya bersedia mengikuti lomba menggantikan Gus Zain.” Ahwa sedikit gugup.
“Alhamdulillah kalau kamu mau.” Ahwa hanya tersenyum canggung menanggapi. “Gus Zain sendiri yang merekomendasikan kamu ke ibu.” Lagi-lagi Ahwa hanya tersenyum. Dia bingung harus menanggapi seperti apa.
“Kalian berteman baik, ya?”
Untuk kali ini Ahwa kebingungan harus bereaksi seperti apa. “Ehm ... insyaAllah, Bu.”
“Saya tidak sengaja mendengar kabar yang sempat ramai itu.”
Tentu saja, siapa warga sekolah yang tidak tahu. Bahkan kabarnya berembus ke luar sekolah. Akan tetapi, bisakah ibu tidak membahasnya sekarang? Rasanya Ahwa ingin menangis dan menghilang saja.
Merasa tidak enak atas perkataannya, ibu guru pun mengalihkan topik pembicaraan. “Ehm, kayaknya kamu sudah tahu banyak, ya, tentang esai.”
“Hah? Eh, enggak, Bu. Saya minta bimbingan ke ibu. Boleh?”
“Boleh banget. Tapi nggak apa-apa nanti kamu tetep berangkat waktu kelas sepuluh libur?” Ahwa mengangguk menyanggupi.
***
Jam waktu pulang telah tiba, bel berdering sesuai waktunya. Murid yang sudah pasti hafal dengan bunyi-bunyian itu segera memasukkan peralatan sekolah mereka ke tas dan mempersiapkan diri untuk berdoa bersama sebelum pulang.
Bel pulang tidak langsung membawa Ning Nadia pulang. Dia menyempatkan diri untuk pergi ke tempat fotokopi di seberang sekolah. Kendaraan yang berlalu-lalang seakan tidak memberi pengguna jalan lain untuk sekadar menyeberang.
Merasa sudah tidak terlalu ramai, Ning Nadia lantas berjalan menyebrang. Tanpa dirinya sadari, sebuah mobil melaju dengan cepat dari arah kanan. Ning Nadia hanya tahu tiba-tiba tasnya ditarik oleh seseorang yang mengakibatkan dirinya mundur dan hampir terjatuh.
“Ning, maaf. Tadi ada mobil kebut-kebutan.”
“Ya Allah, nggak apa-apa. Makasih. Saya yang minta maaf kamu jadi jatuh begini.” Ya, Ning Nadia hampir terjatuh dan Hasbi benar-benar terjatuh karena terpeleset kaleng minuman.
“Jatuhnya orang ganteng tetep estetik, ya.”
“MasyaAllah! Sakit nggak, Mas, jatuh dari langit?”
Ning Nadia menahan tawa mendengar suara-suara yang berasal dari para pengagum Hasbi yang sepertinya seangkatan dengan Hasbi. “Sakit, Mbak!” ketus Hasbi.
Hasbi segera bangkit dan menawarkan diri untuk membantu menyeberangkan Ning Nadia karena jam pulang sekolah dan kerja memang membuat jalanan tidak mengenal kata sepi untuk beberapa saat.
“Harusnya satpam yang bagian nyebrang-nyebrangin diperbanyak,” celetuk Hasbi, “kalau bisa satu murid satu satpam.”
Ning Nadia tertawa. “Hahaha. Satpam apa bodyguard? Kamu yang mau gaji mereka?”
“Enggaklah, Ning. Saya aja masih minta uang sama orang tua, hehe.”
“Ya udah nggak usah aneh-aneh, haha. Tadi saya aja yang buru-buru jadi kurang teliti pas mau nyebrang.” Ning Nadia mengakui kesalahannya yang ceroboh.
“Udah, Ning. Mau ditungguin biar dibantu nyebrang lagi atau saya pulang aja?” canda Hasbi.
“Makasih. Pulang aja. Saya bukan anak TK, Hasbi!” Ning Nadia merasa sedikit kesal tetapi bibirnya mengukir tawa yang indah. Membuat Hasbi terdiam sejenak.***
![](https://img.wattpad.com/cover/313522244-288-k228897.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomansaLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...