Part▪︎33

66 5 0
                                    

Belum sepekan keputusan mengenai lamaran itu diambil, khalayak terutama para penganggum-penganggum Gus Zain sudah heboh dan mengendus tentang kebenaran kabar tersebut. Baik pihak Gus Zain dan keluarga Ning Nadia, mereka menginginkan perjodohan itu terlaksana secara diam-diam hingga akad. Akan tetapi, bila Allah sudah berkehendak melalui seseorang untuk menyebarkan kabar tersebut, mereka pasrah dan hanya berharap semua bisa menerima serta merestui.

Kabar menyebar dengan cepat terutama di pesantren dan sekolah, para alumni pun ikut mengetahuinya. Beberapa dari mereka menyambut baik keputusan tersebut dan mendoakan yang terbaik, akan tetapi ada juga yang merasakan patah hati karena mau tidak mau mereka yang memiliki rasa atau kagum pada Gus Zain harus berusaha melepas dengan ikhlas.

Seperti halnya yang terjadi pada Ahwa. Setelah kemarin mengetahui kabar perjodohan dari Hasbi, ia masih merasa kaget dan tidak percaya. Seseorang yang Ahwa kagumi selama bertahun-tahun, hanya menuai kata ikhlas lagi dan lagi. Ahwa paham, perjodohan sangatlah melibatkan keluarga, dan keputusan yang diambil di dalamnya tidaklah bisa diganggu gugat oleh pihak luar.

Ahwa kembali menyalahkan dirinya sendiri, atas kebodohannya yang terus mengikuti rasa kagum dan hanya berakhir luka. Pikiran Ahwa menjadi ramai oleh hasutan setan, sehingga semalaman ia tidak bisa tidur.

Terjaga semalaman dengan pikiran yang tidak izinkan beristirahat, mampu membuat pagi Ahwa menjadi rusak. Ahwa demam dan kepalanya berdenyut hebat. Jika sudah seperti ini, tidak masuk ke sekolah adalah jalan terbaik. Mungkin Allah mengizinkan Ahwa menghindari embusan kabar dari mulut ke mulut mengenai kabar perjodohan Gus Zain dan Ning Nadia.

"Ahwa kamu kenapa, sih!" Gadis itu terduduk di kursi meja belajarnya dan menempelkan kepalanya ke meja dengan lesu. Matanya menangkap sebuah buku diari yang ada di antara jajaran buku. Terlihat sunggingan senyum kecewa di bibir Ahwa.

"Apa kisah itu akan selesai?" lirihnya kemudian.



***



Sementara itu di sekolah, terlihat seorang pria dengan gaya khasnya memakai sarung dan kemeja polos dengan lengan digulung hingga lengan, pria itu adalah Gus Zain yang mendatangi sekolah untuk menemui seseorang. Ia datang ketika jam istirahat agar memudahkannya mencari orang tersebut, karena di waktu-waktu itu dia sering ada di perpustakaan ataupun kantin.

Setelah mengecek di dua tempat tersebut, Gus Zain tidak menemukannya. Malah, ia harus menanggapi banyak pertanyaan dari beberapa siswa mengenai kabar perjodohan. Gus Zain tidak mengharapkan ini. Ia pun lantas menuju kelas orang tersebut, berharap dia ada di sana.
Namun, di sana Gus Zain hanya bertemu dengan Hasbi salah seorang bisa ia tanyakan. "Hasbi, assalamualaikum!" Ia menyapa.

Hasbi yang akan keluar kelas sedikit terperanjat dengan kehadiran Gus Zain. "Waalaikumsalam. Hey, Gus. Njenengan ada di sini?" Hasbi sedikit bergeser agar tidak menghalangi teman-temannya yang keluar masuk kelas, begitu pun dengan Gus Zain yang mengikutinya.

"Iya saya ke mari untuk bertemu Ahwa, ada yang ingin saya obrolkan." Gus Zain berterus terang. "Tadi saya mencari di perpus dan kantin, tapi dia engga ada, kamu tahu Ahwa di mana?"

Terlihat Hasbi melihat Gus Zain sekilas lalu melempar pandangannya ke arah lain, dan terdengar embusan nafas pelan. "Ahwa tidak masuk sekolah."

"Kenapa?" Pria di hadapan Hasbi itu mengerutkan keningnya.

"Njenengan tidak perlu lagi mengkhawatirkan Ahwa. Seperti yang sudah diketahui banyak orang, kalau njenengan itu akan dijodohkan. Apa tidak sebaiknya Gus menjaga jarak dari sosok perempuan?" Hasbi menatap Gus Zain.

"Terlebih Ning Nadia belum kembali dari Turki. Ngampunten, bukan ingin menggurui tapi hanya mengingatkan saja agar tidak terjadi fitnah," sambung Hasbi dengan senyuman tipis.

Gus Zain di sana hanya bisa diam, ucapan Hasbi tidak sepenuhnya salah.



***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang