Usai, kini saatnya dia kembali menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswa setelah menghabiskan seluruh waktu liburnya di tanah kelahiran. Sejak kurang lebih lima belas menit yang lalu pesawatnya telah mengudara.
Berat meninggalkan Indonesia, tetapi untuk tetap tinggal pun tidak semudah itu juga. Banyak hal yang nantinya akan memenuhi isi pikirannya. Maka lebih baik dirinya pergi, walaupun tidak menyelesaikan masalah, setidaknya sedikit menghindar. Memikirkan sesuatu yang menurutnya masih jauh untuk terjadi sunguh melelahkan baginya.
Gus Zain menghela napas berat, seakan mengembuskan segala beban yang menggelayut dalam diri sejak tiba di Indonesia pada saat itu. Baginya, lebih baik pusing memikirkan pelajaran daripada persoalan hidup yang satu ini.
"Perasaan akan muncul karena terbiasa? Huh, bahkan saya nggak percaya. Haha, dasar, Zain. Kalau maau ngomong dipikir dulu gitu, lho," gumamnya sendirian. Menertawakan sekaligus merutuki dirinya sendiri.
Omong-omong soal kepergiannya saat ini, Gus Zain tidak berpamitan kepada banyak orang, termasuk Ahwa. Melewatkan wanita itu dari sesi berpamitan tidak salah bukan? Dia harus segera mengakhiri rasa yang masih bersemayam itu. Bahkan lagi-lagi dia sengaja membuat sosial medianya senyap. Biarlah orang-orang tidak perlu mengetahui setiap detil kehidupannya. Menjadi dikenal banyak orang tidaklah mengenakkan menurutnya.
Di sisi lain, seorang wanita tengah menguatkan tekadnya untuk segera kembali ke Turki meskipun waktu liburnya belum usai. Dia ingin kembali lebih awal, berbeda dari rencana semulanya yang ingin menghabiskan waktu lebih lama di Indonesia. Pergulatan batinnya yang membuat dirinya ingin menikmati waktu sendiri di Turki sana.
Namun, sebelum kembali dia menyepatkan waktu untuk bertemu dengan Ahwa, gadis yang selama ini menjadi bahan pertimbangannya, antara menerima atau menolak. Berulang kali dirinya mencoba menghubungi Ahwa, dari mulai mengirim pesan hingga mencoba melalui sambungan telepon, hingga entah untuk percobaan yang keberapa kalinya barulah dia dapat berapas lega karena akhirnya dirinya dapat terhubung dengan Ahwa dan benar-benar akan bertemu.
Dia sungguh belum memutuskan meskipun sang abi terkesan mendesak walaupun tidak mengungkapkannya secara langsung. Mungkin saja betemu dengan Ahwa bisa membuatnya lebih yakin untuk membuat sebuah keputusan.
"Assalamualaikum, Ning. Maaf nunggu lama," sapa Ahwa seraya menjabat tangan Ning Nadia sebelum akhirnya duduk.
Jalanan yang macet
Jalanan sore yang macet membuatnya seperti ini. Untung saja kendaraan tidak benar-benar berhenti tidak dapat bergerak, sehingga dirinya tidak membuat Ning Nadia menunggu terlalu lama.
"Waaaikumussalam, nggak apa-apa. Saya juga belum terlalu lama di sini, kok," sahut Ning Nadia yang diiringi senyum manis.
"Apa kabar?" Tidak mungkin jika langsung menanyakan apa yang sedang mengganggu pikirannya. Jadi Ning Nadia berbasa-basi terlebih dahulu.
"Alhamdulillah baik, Ning. Njenengan sendiri gimana kabarnya?" Ahwa bertanya balik dengan canggung.
"Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat, saya baik juga. Senang bisa ketemu sama kamu lagi." Lagi, sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman yang manis, melengkapi setiap pahatan wajahnya yang cantik.
Sejenak keduanya terdiam saling menatap. Canggung semakin Ahwa rasakan, hingga akhirnya dia membuka suara, bertanya, "Ada sesuatu yang membuat njenengan bertemu saya, Ning?"
Gelagat canggung Ahwa membuat Ning Nadia mengartikan bahwa lawan bicaranya tidak nyaman. "Kamu lagi sibuk? Maaf banget kalau mengganggu akhir pekan kamu."
"Enggak, Ning. Saya kosong akhir pekan ini."
"Kamu sudah tau kabar perjodohan saya dengan Gus Zain?"
Tiba-tiba saja? Ahwa cukup terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Ning Nadia. Menurutnya, ini bukan urusannya, kenapa Ning Nadia harus membahas ini bersama dirinya? Ahwa mencoba menetralkan reaksi keterkejutannya. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Tentu, siapa yang tidak tahu kabar perjodohan itu.
"Maaf kalau kamu nggak nyaman atau kaget dengan pertanyan saya."Kali ini Ahwa hanya tersenyum.
"Jujur, saya bingung harus menolak atau menerima permintaan abi saya." Perkataan Ning Nadia membuat Ahwa spontan menarik tubuhnya ke belakang. Lagi-lagi terkejut. Dia benar-benar tidak paham maksud Ning Nadia membicarakan hal ini dengannya.
"Saya pikir kalian berdua cocok, Ning. Pilihan orang tua juga mungkin yang terbaik."
"Kamu yakin?" Ning Nadia menelisik mata Ahwa. Bagaimana bisa dia mengatakan itu jika hatinya sudahlah pasti bertentangan.
"Saya hanya berpendapat. Njenengan yang akan menjalani. Apapun itu, semoga yang terbaik. Saya ikut senang jika nantinya kalian benar berjodoh." Ahwa tersenyum, tidak peduli dengan hatinya.
"Kamu masih mencintai Gus Zain?" Entah sudah berapa kali Ahwa terkejut.
"Saya? Tentu tidak jika kalian sudah bersama. Semua orang bisa berubah, begitu juga hati saya. Tapi jika kalian berdua ditakdirkan bersama, saya nggak bisa apa-apa dan tidak akan ada yang berubah jika takdir Allah sudah ditetapkan."
"Saya bisa menolak jika kamu masih mencintai dia. Lagipula saya nggak bisa menjalani ini. Saya nggak mencintai dia walaupun kita sering bersama." Sungguh diluar dugaan Ahwa.
"Semua orang bisa berubah, begitu juga hati njenengan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...