Hari yang cukup melelahkan, hingga hamdalah mengirinya yang merebahkan tubuh di kasur yang terakhir kali dirinya sentuh pagi tadi dan kini langit sudah berganti gelap. Hanya menyisakan bulan dan bintang-bintang di sana.
Gus Zain baru saja pulang usai mengisi tausiah di sebuah acara menggantikan undangan sang abah yang berhalangan hadir. Dirinya seolah sudah lelah sekali untuk melanjutkan beraktivitas lagi. Usai sampai di rumah, Gus Zain bergegas menunaikan salat Isya. Setelahnya, tanpa perlu berpikir panjang dia memilih merebahkan diri.
Disambarnya benda pipih yang tergeletak di ruang kosong kasur sebelahnya. Dirinya menyalakan layar itu, lalu menekan beberapa nomor hingga ponselnya terbuka. Gus Zain membuka media sosialnya, melihat hal-hal apa saja yang telah dirinya lewatkan setelah beberapa hari hanya sempat membuka pesan saja.
Dia terus menggulir layar, jemarinya dengan lincah mengetuk dua kali unggahan para gus dan temannya. Hingga aksinya terhenti, jemarinya tertahan pada sebuah unggahan seseorang satu hari lalu. Ahwa. Foto diri Ahwa tampak belakang dengan latar seperti di Indonesia. Mungkinkah Ahwa tengah berada di Indonesia atau hanya foto lamanya yang baru sempat terunggah? Gus Zain bertanya-tanya dalam hatinya.
Tanpa memerlukan waktu panjang, Gus Zain bergegas mengirimkan pesan kepada Ahwa, mempertanyakan terkait keberadaannya sekarang untuk menuntaskan rasa penasarannya. Akan tetapi, Ahwa tidak membalasnya. Padahal beberapa detik setelah Gus Zain mengeklik ikon pesawat untuk mengirimkan pesannya, masih terdapat tanda hijau pada profil Ahwa, menandakan dirinya tengah aktif. Mungkin Ahwa sengaja menghindar. Ah, tidak. Mungkin Ahwa ada kepentingan yang teramat mendadak.
Tidak ada lagi yang menarik. Dirinya terlalu lelah untuk sekadar menunggu balasan pesan dari Ahwa. Gus Zain lebih memilih mematikan layar ponselnya, meletakkannya, dan memposisikan diri untuk menyelami alam mimpi.
***
"Buat apa, Gus?" Seseorang di seberang sana terdengar keheranan.
"Saya ada keperluan dengan dia, Hasbi. Kamu temannya, mungkin kamu tau alamat rumahnya." Gus Zain sangat berharap Hasbi akan memberitahukan tanpa ada rasa kecurigaan.
"Dengan Ahwa?" Hasbi kembali bertanya. Barangkali telinganya salah dengar.
"Iya. Kamu nggak keberatan, 'kan, ngasih alamat Ahwa ke saya?" Tentu, tentu iya.
Ada sedikit rasa kekhawatiran seiring rasa penasarannya. Untuk apa Gus Zain meminta alamat Ahwa? Wanita yang beberapa waktu lalu dirinya temui itu. Dia khawatir. Takut hatinya akan benar-benar kembali terpatahkan. Melihat siapa Gus Zain dan siapa dirinya. Seolah sangat jauh sekali di mana dirinya kini berada.
"Saya kirim alamatnya lewat pesan, Gus," ucap Hasbi di seberang sana pada akhirnya.
"Terima kasih banyak." Telepon terputus usai keduanya mengucapkan salam.
Berbanding terbalik dengan raut Hasbi yang sangat masam di sana, di tempat duduknya Gus Zain hanya mampu tersenyum melihat deretan kata yang akan menjadi tempat tujuannya kini. Gus Zain segera memakai baju kokonya, merapikan sarung, dan menyambar kunci mobil di nakas. Untuk saat ini dia akan pergi sendiri, tanpa ditemani santri abahnya.
"Abah, Zain pamit pergi dulu." Meski dirinya mencoba biasa saja, sang abah masih mampu melihat raut bahagia pada wajah putranya itu.
"Sampean kenapa? Mau ke mana? Kayaknya lagi seneng banget," cecar sang Abah.
"Enggak apa-apa, Bah. Zain mau main ke rumah temen," sahut Gus Zain dengan mencoba menahan senyumnya.
"Nggak nginep, 'kan?" Lagi-lagi Gus Zain tersenyum. Padahal pertanyaan sang abah hanya sekadar pertanyaan yang umum, sangat umum sebagai layaknya orang tua.
"Nggak, Bah. Insyaallah Zuhur udah pulang. Belum boleh nginep. Doain nanti bisa nginep. Assalamualaikum, Bah." Gus Zain mencium tangan abahnya dan melenggang pergi. Bisa-bisa dirinya kaku menahan senyum di sini. Huh, pagi yang cerah.
***
Baru tiga hari sejak kepulangannya, Ahwa seolah tidak diberikan waktu dan ruang untuk beristirahat. Dia terus-menerus dibuat terperangah, bahkan sejak hari pertamanya menginjakkan kaki di Indonesia.
Ahwa yang sedang duduk-duduk mengobrol dengan ibunya di ruang keluarga, dengan segera dia melarikan diri ke kamar untuk memakai cadarnya ketika sebuah ketukan dan salam terdengar. Sebuah suara yang sudah tidak asing baginya, tetapi pikir Ahwa akan sangat tidak mungkin itu dirinya.
Ibunya pun membukakan pintu, terdengar menyambut hangat sang tamu. Semua menjadi jelas ketika ibunya memanggil Ahwa dan mengatakan ada Gus Zain di ruang tamu. Ahwa sungguh bingung. Ingin rasanya dia tidak menemui lelaki itu. Akan tetapi, pada akhirnya perintah ibunya yang menang.
"Ibu ke dalem dulu, ya," pamit ibunya. Ahwa ingin sekali menahan. Setidaknya jika ibunya berada di antara mereka berdua, Ahwa hanya perlu menyahut obrolan sedikit-sedikit.
"Nggih, Bu," ucap Gus Zain sembari tersenyum.
"Apa kabar?" Pertanyaan Gus Zain mengawali perbincangan keduanya.
"Alhamdulilah, baik." Akan tetapi, mungkin setelah ini hatinya akan tidak baik-baik.
"Ahwa, ke-" Belum selesai berbicara, Ahwa menyela ucapannya.
"Mau minum apa, Gus? Teh atau ...."
"Air putih saja." Setelah itu, secepat kilat Ahwa menghilang. Sedikit lama, hingga kembali dengan segelas air putih dan beberapa camilan.
"Monggo, Gus."
Gus Zain meminum air putih tersebut, lantas bertanya, "Kamu udah berapa hari di Indonesia?"
"Udah tiga hari ini, Gus," jawab Ahwa sembari menunduk.
Di tengah perbincangan keduanya, ibu Ahwa datang. Ahwa sangat bersyukur akan hal itu. Beberapa saat Ahwa hanya terdiam, giliran ibu dan Gus Zain yang mengobrol. Hingga rasa penasaran Ahwa sudah tidak bisa tertahankan, karena ada yang kurang dengan kehadiran Gus Zain kali ini.
"Gus Zain datang sendirian, Ning Nadia kenapa nggak ikut?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Ahwa.
"Perjodohan saya dan Ning Nadia dibatalkan. Itu sebabnya saya datang ke sini." Ahwa terkejut dengan jawabannya.
"Batal karena saya?" Dia teringat, Ning Nadia pernah menemuinya dan membahas perihal perjodohannya dengan Gus Zain.
"Nggak. Karena kami nggak saling mencintai," ralat Gus Zain.
"Tapi cinta bisa hadir karena terbiasa, 'kan?" Ahwa menyahut.
Gus Zain tersenyum sebelum kembali menjawab. "Ning Nadia yang membatalkan. Saya nggak ingin memaksa dia untuk hidup dengan seseorang yang nggak dirinya inginkan. Abah dan orang tua Ning Nadia juga menyetujui," terang Gus Zain.
"Kalau njenengan nggak setuju dengan keputusan itu, njenengan bisa berjuang, Gus," saran Ahwa.
"Nggak, Ahwa. Kalau saya masih ingin dengan perjodohan itu, saya nggak akan ada di sini sekarang." Jeda sepersekian detik. "Saya ingin melamar kamu."
Sebuah kalimat yang sangat membuat Ahwa terkejut. Hatinya tiba-tiba seolah meletup, segala rasa bercampur menjadi satu. Kenapa? Kenapa sekarang? Ahwa terkadang bingung dengan skenario Tuhan. Sesuatu yang coba dirinya genggam, justru seolah pergi menjauhinya. Kini dia dengan mencoba lapang dada menjauh, tetapi sesuatu itu mendekat kepadanya tanpa dirinya minta.
"Saya ingin melamar putri ibu," ucap Gus Zain menatap ibu Ahwa. "Saya meminta izin untuk bisa saling mengenal lebih dekat, Bu."
"Nak Zain, biar Ahwa yang menjawab."
Ibu? Ahwa kelabakan sekarang. Ahwa berharap ibunya yang akan menjawab, tetapi justru ibunya menyerahkan semuanya kepada Ahwa. Dia bingung. Dia harus bagaimana. Apa yang harus Ahwa katakan.
"Saya ...."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...