Part▪︎45 (Selesai)

250 6 0
                                    

Ada yang belum terceritakan dalam sepenggal kisah yang beberapa orang sudah menduga akan berakhir bahagia. Di balik semua bahagia, kalian harus mengetahui ada yang diam-diam menyembunyikan luka dan menyingkirkan egois atas perasaannya. Perasaan itu bertepuk sebelah tangan, di kala orang yang dicintai dengan jelas mengatakan bahwa tidak pernah ada perasaan yang sama dan ia hanya dianggap sebagai sahabat. Selama bertahun-tahun, hanya ia yang mencintai. Terkadang ada cinta yang salah tumbuh dan hadir.

Hasbi harus memperbaiki kesalahan itu, ia akan menghadirkan cinta baru. Obrolannya dengan Ahwa, ya gadis yang pernah ia lamar itu begitu terekam jelas. Obrolan itu terjadi sehari setelah Ahwa menolak lamaran Hasbi. Di sebuah taman terbuka yang kala itu tampak teduh dan angin membuat daun-daun di pohon besar melambai-lambai.

"Aku minta maaf." Kalimat awal yang membuka obrolan, kalimat itu berkali-kali diucapkan saat kemarin dari mulur Ahwa.
"Aku datang bukan untuk mendengar kamu minta maaf. Sudah, meminta maaf tanpa ada kesalahan itu tidaklah benar," ucap Hasbi tersenyum tipis.

Ahwa masih setia menunduk pandangan. "Tentang penolakanku kemarin, kamu belum mendengar alasan lebih jelas dari aku."

Hasbi diam, dan Ahwa berusaha memberanikan diri untuk berbicara kembali. "Aku benar-benar tidak tahu mengenai perasaanmu, Bi. Selama kita berteman, hanya ada rasa pertemanan tidak lebih. Aku takut, bila kita memaksakan melangkah pada hal yang serius, aku nanti hanya bisa menganggapmu sebagai teman."

"Aku tahu, cinta itu akan muncul karena terbiasa. Tapi Hasbi, cinta yang aku miliki sudah lebih dahulu terkunci pada sosok lain, meskipun tidak tahu itu akan berakhir bahagia atau tidak," tutur Ahwa berhenti guna memberi kesempatan Hasbi berbicara.

"Aku paham. Apa kamu tidak ingin berjalan pada hal yang nyata?" Hasbi tidak serius dengan pertanyaannya. Tapi Ahwa menanggapi, "Itu urusanku dengan Sang pemilik hati. Bila harus ikhlas, aku akan mengikhlaskan sendiri tanpa melibatkan orang lain termasuk perasaanmu."

"Kamu tidak boleh lebih terluka dengan menjadi pengalihan hati aku. Aku yakin rasa sayang kamu akan jauh lebih berarti untuk orang lain."

Pria di samping Ahwa tersenyum miris dengan kepala mendongkrak sebentar guna mengendalikan rasa sakit. Luka ini tidak boleh menjadi dendam atau benci, sebab Hasbi sendiri yang menghadirkannya ia harus menerima.

"Kita masih bisa berteman, Ahwa?" tanya Hasbi.

"Tentu saja. Namun saat ini, bisakah untuk kamu menyibukkan diri guna mengendalikan semuanya? Aku tahu, ini tidak mudah. Aku dan kamu sama-sama berada di posisi yang sama dan merasakan luka yang sama."

"Insyaallah. Terima kasih sudah membuat aku paham akan keputusanmu, semoga bahagia selalu, Ahwa."

Sejak obrolan serius tersebut, Hasbi dan Ahwa tidaklah sering bertemu. Mereka bukan lagi anak SMA yang memiliki waktu luang untuk main. Kesibukan sudah menjadi hal lumrah ditemui pada masa setelah menyelesaikan seluruh pendidikan. Kini, Hasbi pun memutuskan mengambil alih bisnis sang ayah guna menyibukkan diri dan mengabdi. Perusahaan properti yang cukup berjalan sukses dan stabil padahal belum genap satu bulan Hasbi menjalankan

"Hasbi, di saat kamu melakukan pekerjaan ini tepatlah untuk menjaga kesehatan tubuh jangan seperti ayah. Sibuk boleh, tapi istirahat juga penting." Nasihat kecil dari sang ayah menjadi pengingat Hasbi di kala kesibukan melanda.

Sekarang pukul sepuluh malam, batas maksimum untuk Hasbi bekerja lembur. Pria dengan wajah lelah itu mulai membereskan data di laptop dan mengemas benda elektronik tersebut. Di gedung itu, tentunya Hasbi memiliki ruang sendiri sebagai CEO, jadi tak ada teman mengobrol dan pekerjaan menjadi lebih fokus. Tapi, di luar ruangan ada sekretarisnya dan beberapa staf yang biasanya ikut menemani dirinya lembur di kala perusahaan melonjak permintaan pelanggan atau problem lain.

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang