Di bawah selimut tebal yang menggulung macam ulat, Fabian melenguh panjang ketika suara halus derit ranjang singgah di telinganya, lalu disusul sedikit kemerosotan pada bagian kosong di belakang pemuda itu seolah seseorang baru saja menekannya. Ia menyibak selimut yang menutupi kepala, lantas memicing demi menjernihkan penglihatan. Kala netranya mampu menangkap objek dengan jelas, Anaya yang sedang cengengesan sambil mengedikkan sepasang alis menyebalkan adalah pemandangan pertama yang merangsek ke matanya.
Fabian bergerak malas mendudukkan diri seraya menyugar poninya yang mencuat sana-sini. Ia menguap, kemudian menatap datar perempuan cantik dalam balutan seragam putih abu yang duduk santai di tepian kasur.
"Ngapain pagi-pagi udah di kamar orang?" Suara parau khas bangun tidur mengalun pelan dari bibir tipis Fabian.
Mendapati nada suara dingin beserta raut wajah enggan dari Fabian, Anaya sontak menyatukan kedua tangan dan memposisikannya di depan dada sebagai gestur meminta ampun. Ia sadar telah melakukan kesalahan tak termaafkan semalam. "Maafin gue. Semalam gue lupa kalau lo lagi jalan buat beliin gue makanan. Soalnya gue laper banget, terus Noah tiba-tiba ngajak keluar. Sorry banget, Bian."
Fabian diam dan memilih beranjak dari kasur, mengabaikan Anaya yang tampak sangat menyesal. Pemuda itu meraih handuk di jemuran yang terletak di sudut ruangan, lalu berjalan menuju kamar mandi. Dengan tangan memegangi knop pintu, Fabian sempat sedikit menoleh ke belakang dan berkata, "Gapapa, Nay. Gue udah biasa dilupain. Cuma agak kecewa karena ngerasa gak dihargai. Ke depannya tolong sadari, lo udah punya pacar sekarang, jadi jangan ngerengek minta sesuatu ke gue lagi. Manfaatin si Noah, bergantung ke cowok lo sana, jangan datang ke dia pas lagi senang aja."
Buk!
Sebuah bantal menghantam telak punggung Fabian, tetapi pemuda itu sama sekali tak menanggapi dan lebih memilih memasuki kamar mandi.
Meninggalkan Anaya menggerutu seorang diri. "Dih, jahat banget!"
Fabian selesai membersihkan diri dan berpakaian dalam dua puluh menit. Sekarang ia berdiri di depan cermin, tengah menata rambut bagian depannya menggunakan pomade. Begitu dirasa sudah rapi, ia langsung menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan dan tengkuknya.
Tas yang menggantung di daun pintu diraih, digendongnya, kemudian pemuda itu melenggang keluar kamar.
Fabian kira Anaya sudah berangkat sekolah sejak tadi, tetapi ternyata ia malah menemukan keberadaan gadis itu di dapur. Anaya tengah membantu Bunda Lila memasak. Ada Syaqila juga di sana, duduk di meja makan seraya ngemil keripik dan sesekali menyahuti pertanyaan yang Anaya lontarkan. Seperti tak ada masalah, Fabian menyapa hangat dua anggota keluarganya, lalu mengambil posisi duduk pada kursi di sisi sang adik.
Ia sempat melirik Anaya yang sedang sibuk berbincang dengan Bunda Lila di depan kompor, dari aroma yang menguar kuat di ruangan, tampaknya gadis itu menggoreng telur sekarang.
Bunda Lila dengan Anaya memang sangat akrab. Bahkan Fabian kerap merasa bundanya itu lebih sayang Anaya ketimbang Fabian sendiri selaku anak kandung. Namun, ia sama sekali tidak keberatan. Berbagi kasih sayang seorang ibu kepada anak piatu justru sangat Fabian banggakan.
Benar, Anaya sudah ditinggal mati ibunya sejak lahir. Seolah belum cukup ujian yang semesta berikan; Anaya harus menerima kenyataan bahwa ayahnya menganggap kematian sang istri adalah ulah Anaya sehingga beliau tak menerima baik Anaya sebagai putrinya. Om Rehan memang bertanggung jawab dengan tetap membesarkan Anaya, menyekolahkannya, mencukupi segala kebutuhan gadis itu. Namun, untuk urusan kasih sayang, Om Rehan benar-benar angkat tangan. Beliau enggan memenuhi nafkah tersebut.
Di saat gadis-gadis lain mengatakan bahwa ayah mereka adalah pemilik tahta tertinggi dari daftar lelaki yang mereka cintai, their first love, maka bagi Anaya sebaliknya; sang ayah merupakan sosok pematah asa. Sumber luka. Beruntung di rumah keluarga Bramanto masih ada Randy yang sudi memberikan Anaya afeksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...