7. Love Yourself

523 77 3
                                    

Pagi-pagi sekali, Anaya sudah merecoki Fabian. Ia mengekori pemuda itu yang melangkah ke sana dan ke mari karena sedang membantu Bunda Lila membereskan rumah. Kendati sudah ia tempeli macam lintah, tetapi Fabian tak juga menyapanya, melirik pun tidak. Fabian khusu menyapu, mengepel, dan melakukan kegiatan bersih-bersih lainnya sambil berlagak seolah-olah tak melihat keberadaan Anaya. Namun, tenang saja, Anaya tak menyerah. Ia akan terus mengikuti ke mana pun Fabian melangkah sampai Fabian sudi memberikan maafnya.

Ketika waktu terus bergulir dan matahari nyaris sampai ke tengah langit, Fabian pun selesai membersihkan kamar beserta ruang tengah. Kini, ia berencana membawa langkahnya menuju dapur. Sebelum beranjak, ia tanya Anaya yang merengut di sofa, "Ikut gak?"

"Ke mana?"

"Konoha."

"Ish!" Anaya mendengkus.

"Sarapan."

Anaya melirik jam. "Udah siang ini."

"Ya gapapa. Ikut gak?"

Ditanya demikian setelah diabaikan selama hampir dua jam, Anaya pun seketika semringah. Ia berlari kecil ke arah Fabian dan langsung memegang ujung piyama pemuda itu. Keduanya berjalan beriringan menuju dapur.

Saran ngawur dari Hagan malah betulan Anaya pertimbangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saran ngawur dari Hagan malah betulan Anaya pertimbangkan. Ia terdiam sambil menimang-nimang; apakah jika dirinya melakukan hal sinting yang Hagan katakan, panci dalam genggaman Fabian tidak akan melayang? Masalahnya Fabian ini refleksnya patut diacungi jempol!

Dari ekor mata, Fabian diam-diam memperhatikan Anaya yang terbengong dengan satu tangan mengelus-elus dagu di sampingnya. Dahi gadis itu mengernyit hebat seolah tengah memikirkan sesuatu. Berhasil dikalahkan rasa iba dan juga sayang, akhirnya Fabian pun menyerah bersikap tak acuh. Ia menghadapkan diri pada Anaya, lantas menatap sang sahabat lekat-lekat. Ah, kepada si cantik ini, mana bisa Fabian marah lama-lama. "Nay," panggil Fabian.

Melihat gelagat pemuda di depannya kembali bersahaja, Anaya kontan nyengir lebar. "Maafin gue, please?"

"Iya, udah dimaafin."

"Boleh peluk?" tanya Anaya, matanya dikedip-kedipkan sok imut, bikin Fabian mengumpat dalam hati sebab tak kuasa menahan diri dari gempuran peluru menggemaskan yang dilempar padanya bertubi-tubi. "Boleh engg—"

Ucapan Anaya terhenti di sana karena Fabian menarik pelan bahu gadis itu ke dalam dekapan. Ia membenamkan wajah di dada bidang Fabian demi membaui wangi pelembut pakaian yang menguar samar-samar dari piyama sang sahabat. Di bawah, tangan Anaya melingkar erat di pinggang Fabian, merengkuh kelewat nyaman raga si tampan yang begitu ia rindukan. "Maaf, ya?" bisik Anaya.

"Iya," balas Fabian seraya merapikan rambut Anaya yang agak berantakan.

"Jangan marah lagi, gue beneran bingung kalau lo diemin, Bian."

"Makanya lo jangan terlalu bucin."

Fabian mendengar tawa renyah Anaya, memanjakan telinganya, tetapi meski hangat dari sepasang tangan perempuan itu masih terasa, fokus Fabian justru terpusat pada isi kepalanya sendiri. Riuh, di dalam sana amat berisik oleh sebaris cibiran.

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang