42. We are Over

528 58 14
                                    

Fabian menatap nanar kepala Anaya yang merebah di pahanya, kemudian dengan perlahan ia pindahkan ke atas bantal. Sekali lagi ia pandangi wajah cantik itu, wajah sedikit bengkak dengan mata sembap yang terlelap. Hati Fabian teriris mengingat betapa nelangsanya perempuan ini menangis beberapa saat lalu. Seumur-umur saling mengenal, ini kali pertama Fabian menyaksikan Anaya mengurai air mata hingga meraung-raung.

"Kita harus gimana, Nay?" gumamnya.

Fabian bangkit dari ranjang setelah mengusap pipi Anaya untuk terakhir kali, lantas ia bawa langkahnya menuju pintu. Ketika hendak meninggalkan kamar Anaya, bahkan kakinya baru saja menapaki undakan anak tangga pertama, Fabian mendadak kepikiran sesuatu. Bergerak lemas, ia rogoh ponsel di saku baju, menyalakan layarnya, lalu mendapati berderet notifikasi pesan dari Ayudia.

Ah, perempuan ini ... gue nyaris melupakannya. Fabian bajingan.

Dengan dada yang terasa semakin memberat, Fabian hubungi Ayudia.

"Halo?"

Sesak.

Suara lembut bernada parau itu berhasil membuat dada Fabian terkoyak. Rasa bersalahnya telah menggunung. Dia kehabisan nyali untuk mengemis maaf, sebab rasanya memang tak layak mendapatkan pemakluman lagi usai apa yang dia lakukan malam ini. Ya, Fabian secara sadar meninggalkan Ayudia demi perempuan lain. Secara sadar melukai. Jika hubungan ini diteruskan setelah kebenaran yang Anaya ungkapkan, Fabian tahu hanya rasa sakit lebih dalam yang akan ia toreh di hati kekasihnya. Jadi, di panggilan ini, Fabian berniat menyudahi segalanya. Melepas Ayudia; berhenti menyakiti.

"Kamu udah pulang, 'kan?"

"Kak," Ayudia menjeda barang sesaat, "kayaknya kita gak akan berhasil, ya?"

Fabian bergeming, hanya jemarinya yang kian erat meremas ponsel.

"Antara aku sama kamu dan rencana kita untuk saling menyembuhkan ...." Lagi, Ayudia membentangkan keheningan. Di seberang sambungan, gadis itu sedang mati-matian menahan isak tangis. "Rasanya mustahil, Kak Ian. Kamu hanya lari ke aku pas kecewa sama Kak Nay. Dari dulu sampai sekarang kamu selalu kayak gitu. I don't blame you. I can't. I just realize that your priority isn't me. I'm never be. Jadi, kita udahan aja ya, Kak Ian?"

"Boleh gak kita ketemu aja buat ngomongin ini, Di?" Fabian ternyata tidak sanggup menyudahi dengan cara seperti ini. Dia ingin bicara langsung, menatap Ayudia dan memeluknya.

"Gak mau, Kak Ian. Aku gak bisa."

"Kenapa?"

"Aku sakit kalau lihat kamu."

"Di ...."

"So, from now on, we are over," putus Ayudia. "Aku gak mau membebani kamu. Bikin kamu terus-terusan ngerasa bersalah atas sesuatu yang enggak sepenuhnya salah kamu."

Fabian mengurut kening.

"Kak Ian, jangan ngerasa bersalah untuk apa yang terjadi di antara kita. Sama kayak kamu yang selalu menyediakan pemakluman dan maaf untuk Kak Nay, aku ke kamu juga begitu. Ternyata benar yang kamu bilang dulu, Kak. Pada akhirnya kita sama-sama nyerah. Aku nyerah, ya?"

Lidah Fabian kelu. Hanya kebisuan yang mampu ia beri sebagai balasan.

"Aku berhenti bukan karena capek, Kak, tapi karena tau kalau bahagia yang kamu cari-cari enggak ada di aku. Bukan aku dan gak akan pernah jadi aku. Kalau aku nahan kamu di sisiku, aku egois banget, aku bakal nyakitin kamu. Aku sayang kamu, makanya mau lihat kamu bahagia sama Kak Nay. Gih, samperin bahagia kamu, Kak."

"Tapi sama kamu juga bahagia, Di."

"Jangan gitu. Jangan bilang sesuatu yang bisa bikin aku nyesel lepasin kamu." Ayudia meloloskan isakan. Tak sungkan lagi menahan diri dan menunjukkan pada Fabian bahwa ia terluka di seberang sambungan sana. "Besok ayo ketemu kayak biasa, tapi kali ini ayo bersikap seolah kita gak pernah bikin cerita yang lebih dari seharusnya. Sebatas teman, anggap kita gak pernah melangkahi batas itu."

"Ayudia," panggil Fabian dengan suara letih dan nyaris habis. "Aku harus gimana, Di? Everything is getting  worst. Aku harus gimana kalau ketemu kamu besok-besok? Malu banget rasanya. Kak Ian sayang Ayudia, but sorry cause my feeling couldn't goes deeper than before. It stuck, and it hurting us a lot. Aku mungkin bakal nyesel banget udah nyia-nyiain kamu, tapi aku gak akan nahan kamu, aku gak akan nyesel untuk ngelepas kamu supaya ketemu seseorang yang bisa bikin kamu lebih bahagia. Yang enggak kayak aku, Di. Habis ini tolong janji untuk gak sedih-sedih lagi, ya? Be happy. Happiest. Ayudia deserves to getting all happiness. Deserves to be loved. Kak Ian sayang Ayudia juga."

"Kak Ian?" Serak, Ayudia memanggil.

"Hm?"

"Makasih udah pernah sayang aku."

"Aku yang harusnya bilang gitu, Di."

Ayudia terkekeh. "Night, Kak Ian."

"Ya. Sleep tight, Di."

Lalu, bersamaan dengan terputusnya panggilan tersebut, ada sesuatu ikut selesai. Kini, antara Fabian dan Ayudia tak ada lagi kita. Kisah mereka tamat dengan akhiran tidak bahagia. Ayudia memilih menyerah sebab menemukan kebersamaan mereka hanya jadi beban bagi Fabian, sementara Fabian mengiyakan lantaran tak mau lebih jauh menyakiti Ayudia. Ini jalan paling bijaksana menyikapi situasi rumit ini.

Di tengah usaha Fabian menahan air mata, tiba-tiba suara derap langkah yang terburu-buru terdengar riuh dari arah bawah. Fabian bergeming, menunggu seseorang itu sampai ke hadapannya. Setelah terdiam tak sampai setengah menit, ia melihat Randy setengah berlari menghampiri. Begitu tiba di depan Fabian, Randy langsung membungkuk sambil memegangi lutut. Dadanya tersengal naik turun dengan napas putus-putus.

"Nay gimana, Fab?"

"Dia gak baik-baik aja, Bang."

Kepanikan langsung timbul di wajah Randy. Tanpa mau bertanya lebih banyak lagi, pemuda itu bergerak ke ruang sempit di sisi Fabian untuk pergi melihat Anaya. Namun, Fabian malah mencekal pergelangan tangan Randy, belum sempat Randy melepas keheranannya, Fabian tahu-tahu memeluk kakak lelaki dari Anaya itu.

Fabian menyandarkan kening di bahu Randy, mulutnya nihil dari berkata-kata, membuat si empu bahu yang tengah disandari kebingungan.

"Lo kenapa, nyet?" tanya Randy.

"Sakit."

"Apa yang sakit?"

"Hati gue."

"Bentar ...." Randy mendorong dada Fabian supaya bisa leluasa melihat wajah pemuda itu. "Lo kenapa, sih?"

"Hancur, Bang." Fabian terkekeh kosong. "Angan-angan gue hancur."

Meski clueless akan maksud Fabian, Randy tetap bertanya, "Angan-angan yang mana? Siapa yang hancurin?"

"Angan-angan gue untuk hidup bareng adik lo sekarang udah hancur lebur."

"Siapa yang hancurin?"

"Ayah lo—" Fabian tercekat. "Sama bunda gue. Mereka yang menghancurkan semuanya."

"Maksud lo, Fab?"

"Om Angga mau nikahin bunda gue."

"What the heck?!"

Fabian terkekeh miris. "Emang."

Dan Randy langsung menarik Fabian ke dalam dekapannya lagi, sekarang ia mengerti kenapa Fabian tampak frustrasi. Situasi, ternyata sepelik ini.

***

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang