Pagi ini Hagan dibuat keheranan. Pasalnya sejak datang hingga duduk di depan kelas seraya menunggu giliran tanding basket, dia melihat Fabian bertingkah aneh. Sahabatnya itu tersenyum tanpa jeda. Bahkan untuk lawakan garing sekalipun tumben-tumbenan Fabian antusias meresponsnya. Hagan agak khawatir kepala Fabian terbentur sesuatu.
"Lo lupa minum obat, ya?" Hagan bertanya kurang ajar sembari menyentuh dahi Fabian, memastikan anak itu dalam kondisi baik atau tidak. Dia pun menghela napas lega kala dirasa suhu tubuh manusia di sampingnya normal-normal saja.
Fabian menoleh, cengiran lebarnya jadi tanda betapa bagus suasana hatinya saat ini. "Gue lagi seneng."
"Kenapa? Selain kabar kulit manggis ada ekstraknya, lo punya kabar bahagia apalagi?” Hagan bertanya dengan ekspresi masih terheran-heran.
Fabian menepuk bahu Hagan dengan tenaga berlebih saking semangatnya, lalu timbul ide nista kala menangkap sorot penasaran yang begitu pekat di mata kawannya itu. Seringai samar Fabian ulas, jiwa usilnya bergelora.
“Mau tau?”
"Coba kasih tahu kenapa, hm? Biar gue yakin kalau kita enggak perlu ke psikolog buat periksa kejiwaan lo." Hagan bicara seolah-olah dia ini emak-emak yang tengah membujuk anak gadisnya untuk bercerita.
"Gak gitu, nyet!" Fabian seketika bersungut-sungut, tidak lupa menabok pundak Hagan supaya otaknya bisa memproduksi perkataan yang lebih waras. "Semalam gue sama Anaya ...." Sengaja dijeda, biar Hagan penasaran.
"Harus banget digantung gitu, ya? Harus banget mancing-mancing otak gue buat berpikiran negatif?" Hagan berdecih keras kala menyadari cecunguk di sampingnya sedang dalam mode iseng. "Ketawa terus lo, su!"
Fabian terbahak. "Tebak, dong, Gan."
"Dipikir kuis kali," cibir Hagan yang telah kehilangan minat untuk mencari tahu alasan di balik senangnya Fabian.
"Dih, ngambek." Fabian mencolek dagu sohibnya sambil tertawa. Puas sekali melihat pemuda itu misuh-misuh.
Beruntungnya tampang Hagan ini tampan, sehingga meskipun tubuh tinggi tegapnya tidak sinkron dengan ekspresi merajuk yang ditunjukkan, Fabian bisa menoleransinya. The power of good looking; mendapatkan pemakluman dari berbagai sisi, sudut dan arah. Sebuah privilege yang katanya bisa mengatasi setengah masalah hidup. Well, Fabian tidak akan menyangkalnya. Hal itu memang fakta!
"Jangan sentuh-sentuh gue!" Hagan menepis tangan Fabian yang masih berusaha menjawil dagunya. Benak pemuda itu kini sibuk bertanya-tanya, kira-kira kepala Fabian terbentur di mana sampai perilakunya mendadak jadi super menggelikan seperti ini?
"Tebak dong, Gan!"
"Males."
"Gan!"
"Oi!" Hagan melotot kala tangan Fabian lancang mengelus kepalanya. Harga diri pemuda itu tersentil. Pasalnya Fabian ini terbiasa melakukan afeksi tersebut pada Anaya dan Ayudia. Sedangkan dia ini lelaki jantan, pantang dielus-elus! "Nyet, ah! Gue bukan Ayudia sama Anaya yang bisa dielus-elus dan digantungin!"
"Kenapa merembet ke sana-sana, elah!" Telinga Fabian agak iritasi mendengar kalimat terakhir. Lagi pula Hagan pintar betul menyelipkan sindiran ke dalam omelannya. "Jadi, semalam gue sama Anaya abi—”
"Bodo amat, gak mau denger."
"Semalam gue sama An—" Fabian tiba-tiba berhenti sebab ponsel di saku celananya bergetar. Hagan sontak mendengkus, tetapi langsung ngeri saat melihat cengiran temannya makin lebar setelah tahu nama siapa yang tertera di layar. "Kenapa, Nay?"
Hagan berdecak mendapati Fabian mendadak mengubah intonasi suaranya jadi kelewat lembut. Tengok pula rona samar yang mulai timbul di telinga dan leher pemuda berkulit putih pucat itu, sungguh membuat Hagan merinding sekujur badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...