37. Enggak Gini

360 53 8
                                    

⚠️🔞⚠️

⚠️🔞⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Keadaan berjalan kian rumit di antara gue dan Anaya. Dia yang seakan sengaja pamer kemesraan di media sosial sukses membuat gue berang. Gue gamang dan terdorong untuk membalas, tapi setelahnya gue merenung, merasa khawatir untuk sesuatu yang nggak gue mengerti alasannya. Lalu, lantaran enggan memberi kesempatan pada kekalutan bercokol makin tebal di dada, gue pun nekat menerobos gerimis menuju kostan Hagan. Gue butuh distraksi. Berisik di kepala gue harus dialihkan.

Sesampainya di sana, gue disambut kawan-kawan Hagan yang nongkrong di gazebo sambil gitaran. Biasanya Hagan menyaru di sana, menyumbang suara merdunya, tapi malam ini eksistensi cowok itu nihil. Ternyata, kata Andi, Hagan meriang dan sekarang sedang bergelung di bawah selimut. Setelah menghabiskan sepotong pisang goreng, gue pun beranjak menuju kamar Hagan.

Gue buka pintu pelan-pelan, lalu terlihat satu gundukan berwarna cokelat di atas ranjang. Tanpa permisi, gue melompat ke kasur dan langsung memeluk Hagan yang bentukannya macam ulat di iklan Teh Akar. Dia mengerang sambil menyibak selimut. Gue nyengir, sedikit meringis juga lantaran merasakan hangat dari lengan dia serta mendapati mata sayunya. Gue menyingkir ke samping, lalu memeluk guling, sedangkan Hagan bergerak menyandarkan punggung ke kepala ranjang sambil menggerutu.

"Bisa sakit juga lo."

"Pintu di sebelah sana, Fab," balasnya.

Gue ketawa, lalu mengarahkan fokus pada langit-langit ruangan. Gue nggak basa-basi nanya dia udah minum obat atau belum karena di atas nakas ada bekas sobekan kemasan paracetamol.

"Mau sampai kapan, Fab?" Suaranya yang parau memecah keheningan.

"Apa?"

"Lo sama Nay kayak gitu."

Gue pura-pura bego. "Gitu gimana?"

Dan decakannya mengudara disertai tepukan di kening gue. "Lo sama Nay saling provokasi buat bikin satu sama lain cemburu. Mau sampai kapan?"

Hagan memang selalu peka.

Gue mengusap wajah sambil menghela napas, mendadak sakit kepala lagi. Tanya Hagan, gue biarkan mengambang karena gue enggak menemukan jawaban bagus untuk membela diri. "I'm fucked up."

"Nih, Fab, gue kasih tau." Dia berhenti sebentar karena batuk. "Gue sih gak masalah kalau si Noah kebakaran jenggot, mampus malah karena monyet satu itu arogan parah. Cuma masalahnya, pernah gak lo mikirin perasaan Ayudia? Kira-kira elo tuh permisi dulu atau enggak pas mau bales-balesan postingan sama Nay?"

"Gue salah lagi, Gan?"

"Bangsat pake nanya!" Dia setengah berteriak, gue terperanjat. "Kenapa lo tolol banget, dah? Emosi gue emosi!"

"Kalem anjir gak usah teriak!" Gue mengusap cuping telinga yang baru saja dihajar teriakannya. "Sakit, nyet!"

"Bentar, gue tarik napas dulu."

"Silakan."

Dia pun melakukan inhale exhale, lagaknya kayak frustrasi banget menghadapi kelakuan gue.

"Gini, sahabatku tersayang."

Pengin gue umpat! "Najis!"

"Asu lo," cibirnya.

"Serius, Gan."

"Oke, oke." Hagan menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari, lalu mata sayunya itu mengarahkan tatap ke gue. "Lo itu kelihatan banget kalau masih perhatiin Nay, Fab. Padahal harusnya, meski iya pun lo emang gak bisa lepasin atensi dari dia, seenggaknya jangan show it terlalu kentara. Jatuhnya kayak lo manfaatin Ayudia buat manas-manasin Nay. Jahat lo. Kasian, njir. Itu cewek baik enggak salah apa-apa tapi lo sakitin mulu."

"Terus ...." Gue merasa hampa. Rasanya otak udah nggak bisa berpikir jernih lagi. Setiap hal yang gue kira wajar dilakukan pasti berujung menyakiti Ayudia. "Gue harus gimana, Gan?"

"Gue tanya," Hagan menatap gue kelewat serius, "sayang Ayudia gak?"

Gue ... nggak tau.

"Sayang." Mungkin?

"Ih, najis! Gue bukan maho!"

"Njing, ah!" Gue cubit lengannya.

Dia ketawa.

"Gue sayang Ayudia, kok," ulang gue yang sejatinya sedang berusaha meyakinkan diri sendiri. Sekarang bukan lagi otak yang eror, hati gue juga ikutan goyah. Mendadak linglung.

"Misal kalau gue suruh lo milih antara Anaya atau Ayudia, bakal pilih siapa?"

"Lo siapa nyuruh-nyuruh?" Dan leher gue langsung dicekiknya main-main. Setelah dia berhenti menganiaya, dan balik ke posisi semula, gue pun melanjutkan, "Gue gak tau, Gan. Gue gak bisa milih. Gue beneran bingung."

"Pasti bisa milih, Fab. Pas gue nanya barusan, di otak lo pasti langsung muncul satu nama. Nah, siapa itu?"

Gue nggak mau ngaku. "Gak tau."

Plak!

Kepala gue ditabok.

"Ayudia?" tanyanya.

"Gak tau, nyet, gak tau!"

"Berarti Nay," asumsinya.

"Sok tau lo!"

Hagan senyum miring. "Lo masih berharap sama Nay, Fab. Ngarep banget. Gue saranin mending udahan sama Ayudia. Lo cuma nyakitin dia. Kasian anak orang digedein susah payah sama emak-bapaknya, dibahagiain mati-matian, eh elo brengsek dari antah berantah tiba-tiba masuk ke hidup dia dan lancang bikin dia nangis mulu." Tawa miris Hagan mengakhiri perkataannya. "Hubungan kalian gak sehat. Lo gak tulus ke dia."

Gue terpekur.

Tertohok.

***

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang