4. Stay Alive

688 105 14
                                    

Menjadi satu-satunya lelaki dalam sebuah keluarga tentu bukan perkara gampang. Lebih-lebih ketika Fabian belum menginjak usia matang. Sejak kepergian sang ayah tiga tahun lalu, peran sosok dominan yang diandalkan orang-orang rumah untuk menjamin rasa aman otomatis Fabian emban. Karena menanggung beban yang demikian, maka pemuda itu tidak boleh menunjukkan sisi lemah. Ia harus tampil tangguh di hadapan Bunda Lila dan Syaqilla supaya mereka percaya bahwa Fabian bisa dijadikan tempat berlindung. Namun, terkadang ia kewalahan mengayomi. Ketika ia dituntut kuat oleh keadaan demi menopang Bunda Lila, tetapi di saat bersamaan ia tak memiliki sandaran.

Semua luka dan perih Fabian telan seorang diri. Akan tetapi ia sungguh tak keberatan sebab Syaqilla dan Bunda Lila pun melakukan hal yang sama. Kepergian ayah, selain menyisakan banyak duka, juga memberikan hikmah dan pelajaran.

Semenjak sang kepala keluarga tiada, orang-orang di rumah Fabian mati-matian saling menguatkan. Saling menopang. Saling menjaga. Luka dan tangis mereka sembunyikan di bantal masing-masing, hanya seulas senyum yang dipamerkan pada satu sama lain. Sejak ayah berpulang ke keabadian, Fabian beserta dua perempuan berharganya telah sangat memahami bagaimana cara berpura-pura bahagia. Namun, kendati selalu berusaha terlihat baik-baik saja, terkadang ada momen-momen di mana resah hati mengalahkan ketabahan ketiganya.

Seperti malam ini, ketika jarum pendek jam dinding menunjuk tepat di angka dua belas, Fabian yang berniat membasahi tenggorokan malah menemukan Bunda Lila termenung sendirian di meja makan. Ini bukan kali pertama Fabian mendapati beliau di sana dengan wajah muram seperti sedang banyak pikiran, dan Fabian hanya akan menatap dari pintu, memperhatikan beliau hingga selesai. Bisa satu jam, kadang tiga puluh menit, pernah juga sampai Subuh sebab beliau malah ketiduran dengan posisi kepala merebah di atas lipatan tangannya sendiri. Tak Fabian bangunkan, takut tidur pulas sang bunda yang jarang-jarang itu terganggu. Ia biarkan, ia selimuti.

Dari dulu beliau memang begitu, suka memendam masalah apa pun sendiri. Persis yang dilakukan anak-anaknya. Fabian sering menawarkan diri, meminta sang bunda membagi sedih hati, tetapi wanita itu malah mengatakan enggan membebani.

"Bun."

Yang dipanggil terenyak, tetapi senyuman sarat lelahnya kemudian tersungging. "Kenapa belum tidur?"

Fabian bergerak ke belakang kursi yang Bunda Lila duduki, lantas menaruh tangannya di bahu beliau dan mulai memberikan pijatan-pijatan kecil di sana. "Bian haus, Bun. Ke sini mau ambil minum," jelasnya. "Bunda sendiri kenapa malem-malem ngelamun di sini? Lagi mikirin apa?"

Bunda sedikit menengok ke belakang, ditariknya pelan lengan Fabian untuk diarahkan duduk di samping beliau. Ketika si sulung sudah menempati kursi, Bunda Lila berujar, "Ada sesuatu yang mau Bunda bicarain, Nak."

"Apa, Bun?"

"Kondisi keuangan keluarga kita lagi sulit, Nak. Tabungan ayah kamu udah habis, gaji bunda yang gak seberapa sekarang gak bisa nge-handle kebutuhan sehari-hari lagi." Bunda Lila mengelus lengan Fabian sambil menatap putranya itu dengan sorot nelangsa. "Bunda ada niat mau buka usaha katering. Untuk modal, Bunda mau minta pendapat kamu. Kira-kira kalau mobil dijual, boleh gak, Nak?"

Fabian agak kaget mendengarnya. Mobil yang terparkir di garasi adalah benda kesayangan Bunda, dipakainya untuk bekerja. Ayah dan Bunda dulu membelinya hasil menabung bertahun-tahun. Waktu itu, di malam setelah Ayah berpulang, Bunda pernah bilang tidak akan menjual mobil tersebut apa pun yang terjadi. Namun, ketika kini beliau melepas benda yang punya banyak kenangan tentang sang suami, sudah pasti masalah keuangan keluarga ini benar-benar sedang sulit. Fabian sendiri bakal setuju-setuju saja. Keputusan Bunda, apa pun itu, Fabian akan mendukungnya. Ia percaya beliau lebih tahu langkah macam apa yang harus diambil untuk mengatasi krisis ekonomi di keluarga mereka.

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang