Pagi ini gue membuka mata dengan perasaan lumayan tenang. Tentang Bunda dan Om Angga enggak mau terlalu gue pikirkan. Kesampingkan dulu masalah itu. Nanti, misal Bunda mulai ngomongin tanggal, baru gue bakal ketar-ketir lagi. Namun, untuk sekarang gue mau menikmati momen bersama Anaya. Menghabiskan waktu bersamanya sebagai dua orang yang saling suka. Ah, gila, euforia karena tahu dicintai olehnya ternyata pecah banget di dada gue. Rasa senangnya nggak bisa gue urai pakai kata-kata.
Setelah beres memakai sepatu, gue berlari kecil ke garasi, mengambil motor dan siap menjemput Anaya.
Hanya saja saat motor gue baru sampai di ambang pagar, gue melihat Anaya berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Dari wajahnya yang semringah luar biasa, gue tebak pasti sesuatu bagus menyapa pagi harinya. Lihat senyum lebar yang memesona itu, hari ini gue bisa menatapnya tanpa merasa sakit hati, menatapnya dengan dada kembali berdebar. Seperti orang yang pertama kali jatuh cinta, begitu rasanya menatap Anaya di momen ini.
"Bian!" Dia berseru di sela-sela napasnya yang ngos-ngosan.
Gue melepas helm, menatapnya geli.
"Gue gak jadi nebeng!"
Perasaan gue langsung nggak enak. Perempuan ini sebelumnya kerap membatalkan janji karena Noah, tapi sekarang mereka sudah berpisah, jadi kini alasan apa yang membuat Anaya lagi-lagi harus meninggalkan gue?
"Kenapa gak jadi?"
Bukannya segera membalas, dia malah mengulas senyum misterius. Satu alisnya bergerak naik turun menyebalkan, tapi Demi Tuhan, gue enggak kesal. Gue suka, kok. Jangankan tingkah isengnya, bahkan saat dia bersikap kelewatan atas perasaan gue pun gue masih bisa memakluminya.
"Gue ...." Anaya cengengesan, gue makin penasaran. "Dianterin Ayah!"
Gue diam, kaget, dan hanya mampu menyuguhkan kebisuan untuk menanggapi informasi mengejutkan tersebut. Namun, rasa penasaran gue lantas luruh tergerus suka cita yang berpendar dari obsidian cantiknya.
Anaya mengulum senyum. Wajahnya berseri-seri. Bisa gue pahami betapa senang dia saat ini. Bayangkan saja, seumur hidup baru sekarang Anaya diantar sekolah ayahnya. Si cantik yang malang ini kini mendapat apa yang selalu didamba-dambakannya.
Gue lega bisa melihat dia secerah ini. Senyum dan binar di matanya amat cantik. Namun, di sisi lain, gue agak resah. Fakta bahwa Om Angga bukan ayah biologis Anaya mendadak jadi duri di kepala gue. Sambil menatap Anaya yang kini berceloteh antusias perihal perubahan sikap Om Angga, gue diam-diam berharap; semoga rahasia tetapi jadi rahasia. Semoga kenyataan pahit itu tak terungkap selamanya. Gue nggak sanggup membayangkan akan sehancur apa Anaya andai tahu kebenarannya.
Gue mengulurkan tangan, mengacak pelan rambutnya. "Gue ditinggal lagi."
Dia tergelak. "Cemburunya jelek!"
Gue yang masih duduk di atas motor, menarik pelan lengannya supaya jarak di antara kami menipis. Gue rapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Dia cuma nyengir selagi tangan gue bergerak membenahi helaian hitam di kepalanya. Tatapan gue turun, menyambut binar bahagia di matanya.
"Bilangin sama ayah lo."
"Apa?"
"Makasih."
Keningnya mengerut. "Buat apa?"
"Terima kasih karena beliau sudah mau membahagiakan perempuan yang gue sayang." Gue senyum kala dia merespons dengan tawa keras, tapi sejurus kemudian Anaya menatap gue pakai matanya yang berkaca-kaca. Bukan sedih, itu air mata bahagia.
"Akhirnya, Bian." Dia bergumam, dan gue tahu dia sedang berusaha keras menahan getaran di bibir. "Akhirnya ayah peduli ke gue. Akhirnya gue bisa ngerasain hangat telapak tangan beliau di kepala gue. Ngerasain dipeluk dan ditanya gue baik-baik aja atau enggak. Rasanya kayak gak nyata, gue sampe bingung harus bereaksi gimana pas tadi ayah tiba-tiba peluk gue sambil minta maaf berkali-kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...