Jam tujuh malam, Fabian terlihat mengeluarkan motor dari garasi, bersiap untuk pergi nongkrong ke warnet milik abangnya Aji. Pemuda itu nyaris menggunakan helm, tetapi ia mengurungkan niatan tersebut begitu mendengar suara Randi memanggil-manggilnya dari pagar.
"Cok! Sini bentar, Cok!"
Fabian mengaitkan tali helm ke stang, membiarkannya menggantung di sana selagi motornya dilajukan pelan menghampiri Randi. "Apaan, Su?"
Randi yang sedang bersedekap dengan sisi tubuh menyandar pada teralis besi pagar kontan mengernyit mendengar cara Fabian memanggilnya. "Su?"
Fabian nyengir. "Asu."
"Anjing!"
"Lo."
Randi tendang main-main spakbor depan motor Fabian sambil ngakak dikit. "Gak sopan lo sama calon abang ipar. Gak gue restuin mampus lo."
"Udah stop, Bang." Fabian unjuk eskpresi sok sedih, helaan napasnya dilepaskan dengan nada sarat beban.
"Lah kenapa?" Tangan Randi yang terlipat di depan dada bergerak turun memasuki saku di masing-masing sisi celana Cargo selututnya. "Lo udah enggak suka sama adek gue lagi, hah?"
Fabian lagi-lagi mengembuskan napas. Terasa berat sekali jika sudah menyinggung soal perasaannya kepada Anaya di depan Randi. Masalahnya restu lelaki ini sudah Fabian kantongi, tetapi hati Anaya yang jadi hal paling penting justru kini berada di genggaman orang lain. Semesta memang kadang-kadang suka bercanda. Tololnya, Fabian malah dengan senang hati meladeni candaan tersebut. Canda yang berefek samping bikin dada berdenyut nyeri. Mau bagaimana lagi, karena meskipun hati sudah compang-camping, sudah kepayahan dalam mempertahankan rasa cinta, Fabian tidak sanggup menarik mundur perasaannya.
"Bukan gue udah gak suka, tapi doi yang gak pernah suka sama gue. Sad boy gue, Bang." Fabian menyugar poninya sambil terkekeh hambar.
Randi menggeleng pelan. "Ya udah sama si adek kelas itu aja. Siapa namanya?" Dahi Randi berkerut. "Ayu, ya? Doi juga cakep banget anaknya."
"Cakep doang gak cukup."
"Emang butuh apalagi?"
"Kegilaan."
"Lo ngatain adek gue gila?"
"Emang salah?"
"YA ENGGA! Gue setuju malah!"
"Goblok banget!"
Randi ngakak nista.
Suara tawa Randi yang renyah sukses menulari Fabian. Alias, Fabian tertawa bukan karena menemukan kelucuan di konversasi barusan, melainkan karena merasa bahwa cara Randi tertawa itu lucunya effortlessly.
Setelah tawanya mereda, Randi bergumam, "Lo ngatain gue mulu."
"Peace." Yang lebih muda nyengir sambil mengangkat telunjuk dan jari tengahnya. "Ngomong-ngomong ada apa, nih? Tumben banget ke rumah tapi mentok cuma sampe pager?"
"Malam ini gue keluar dari rumah."
Fabian terpaku sesaat. "Bro?" Kemudian ia turun dari motor demi memberi rangkulan akrab ke bahu Randi sebagai sebuah tanda simpati. Macam seorang Ayah menasehati anaknya, Fabian berujar pelan sambil menepuk-nepuk punggung Randi. "Bang, semua masalah bisa dicari solusinya, jangan main kabur gitu, dong. Be gentle. Problem hidup, tuh, dihadapi bukan malah dihindari."
Tampang Randi seketika kehilangan ekspresi. Ia memandang datar Fabian yang wajahnya kentara menyirat iba. "Bacot," desis pemuda itu. "Gue mau pindah ke kostan. Capek ngampus bolak-balik. Dan lo gak usah bawa-bawa kosakata gentle, ya, Nyet! Gak pantes! Ngungkapin perasaan ke Naya aja gak berani, pake nasehatin gue harus gentle segala. Ngomong, nih, sama pantat gue yang kelap-kelip!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...