Tahu hal yang lebih lawak ketimbang berita hubungan Bunda sama Om Angga? Ya, fakta bahwa pagi ini gue semeja dengan Noah dan Ayudia di bawah bayang-bayang tensi suasana cukup bersahabat adalah jawabannya. Setelah segala konflik yang terjadi di antara kami berempat, enggak pernah terbesit akan menjumpai momen ini. Bahkan dalam bayangan sekali pun gue nggak sanggup menghadirkannya. Namun, beginilah realita bekerja; memerangkap gue tanpa aba-aba.
Jadi, formasi sarapan di kantin pagi ini begini; satu meja dengan empat kursi semula diisi gue, Anaya, Aji dan Hagan. Lalu tahu-tahu Noah menaruh satu kursi di sisi Anaya, dan tak lama Ayudia datang mengisi kursi tersebut usai meminta izin untuk bergabung.
Kemudian, Noah meletakkan satu tempat duduk lagi. Jancok satu itu tak basa-basi mengutarakan permisi, main nimbrung macam kedatangan jelangkung. Gue yang mood-nya lagi bagus lantaran senang Anaya terlihat semringah sejak dari rumah pun memilih diam, enggan mempermasalahkan kelakuan sok akrab Noah. Pada akhirnya, kami berenam benar-benar sarapan bersama. Dan yang bikin gue kaget, ternyata suasananya enggak kaku. Obrolan kami ngalir kayak kawan yang sudah saling kenal sejak lama.
Hagan yang sedari dulu kurang suka Noah pun tampak melunak, bahkan mereka sampai bertukar guyonan aneh yang enggak terlalu gue pahami di mana letak lucunya. Siapa sangka mereka bakal punya selera humor akur. Anaya bilang hal itu terjadi karena golongan darah mereka sama. Whatever, gue gak terlalu peduli juga.
"Mulai lusa kan tanggal merah tuh sampai tiga hari, liburan, kuy?"
Usulan Hagan disambut decakan oleh beberapa penghuni meja, sementara Noah jadi satu-satunya yang setuju.
"Bentar lagi kita ujian, oi. Belajar, jangan main mulu," kata Anaya sebelum menyuapkan nasi goreng.
Hagan berdecak. "Justru sebelum ujian ayo refreshing dulu. Otak gue beneran butuh hiburan. Sumpek banget gue beberapa bulan terakhir mantengin pelajaran, tambah bimbel, mana Minggu besok try out. Jadi ayo kawan-kawanku yang budiman, mari kita healing demi menjaga kewarasan."
"Kuylah! Gue sediain mobil."
"Anjay!" Hagan berseru senang sambil menepuk bahu Noah. "Memang mantep si ganteng yang satu ini."
Noah mengedikkan alis, tampangnya songong bukan main. "Atur aja, Gan."
"Siap."
Gue mendengkus samar, diam-diam mencibir kelakuan Hagan. Melihat dia yang seramah itu bikin gue geli sendiri, pasalnya tampang dongkol Hagan beberapa waktu lalu saat kami sering membahas kebusukan Noah masih jelas terekam di kepala gue. Namun, enggak masalah juga, sih. Manusia kan dinamis. Walau gue masih agak enek nengok muka Noah, tapi gue enggak akan menutup diri untuk memulai pertemanan. Lagipula masalah di antara kami juga sudah selesai.
"Aku ikut, boleh?" tanya Ayudia.
"Ya haruslah, Ay." Anaya cekikikan seraya melempar tatapan remeh pada Noah. "Kalau lo gak ikut entar yang fasilitasin transportasi gak semangat."
Alih-alih tersinggung, Noah malah mengangguk. "Seperti biasa, si cantik ini memang selalu mengerti gue."
"Cantiknya gue ini!" Anjir. Sumpah, gue niatnya membatin aja, tapi mulut gue gerak sendiri melepas kata hati, alias gue keceplosan. Alhasil, sekarang, semua pasang mata mengarah ke gue dengan tatap jahil. Kepalang tengsin, gue rangkul sekalian bahu Anaya dan mengusakkan sisi kepala gue ke kepalanya. Adegan ini gue lakukan tentu saja sambil berusaha keras mengabaikan eksistensi Ayudia. "Emang cantiknya gue, mau apa lo?" tanya gue ke Noah yang ekspresi mukanya kalau punya bunyi pasti bakal kedengaran begini; jiakh! Jiakh! Jiakh! Si monyet suka ngaku-ngaku!
"Gue mau Ay." Tatapan Noah bergeser pada Ayudia yang baru saja merotasi bola mata. "Kita holiday berdua aja yuk, Ay? Aku ada destinasi pantai keren yang pasti belum pernah kamu datengin. Duh, aku salting duluan bayangin kita semobil berdua—"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...