6. Selayaknya Saudara

586 99 12
                                    

Alunan melodi dari petikan senar gitar melibas kesunyian di teras rumah Fabian, suara beratnya sayup-sayup mengiringi, menyenandungkan lirik bahasa Inggris yang sesuai dengan isi hati. Malam ini, pemuda itu terduduk seorang diri berteman sepi demi menunggui kepulangan sang bunda beserta adiknya yang tengah menghabiskan waktu di luar. Ia tak ikut sebab baru pulang latihan futsal.

Di tengah kekhidmatan memetik senar gitar sampai dahi Fabian mengernyit dalam dan mata memejam saking menghayatinya, bunyi nyaring dari klakson motor membuat pemuda itu terkesiap. Kala membuka mata, ia mendapati motor gagah Noah baru saja melintasi depan rumahnya. Di boncengan, Anaya melambaikan tangan serta pamer senyum semringah, tetapi Fabian mengabaikannya. Namun, kendati berekspresi datar, tatapan Fabian terus mengikuti laju kendaraan Noah hingga motor tersebut berhenti di halaman rumah Anaya. Dua sejoli itu terlihat bercanda sebentar sebelum berbarengan memasuki rumah.

Jika boleh sok-sokan, Fabian sejatinya tak memberi restu kepada Anaya untuk menjalin kasih dengan si player itu. Terlepas dari rasa sukanya, Fabian tidak menyukai Noah adalah karena track record Noah dalam mengencani gadis-gadis sangatlah tidak patut dicontoh. Jajaran primadona sekolah tak satu pun yang luput dari gosip pernah dipacarinya. Fabian kadang tidak mengerti pada jalan pikir sang sahabat yang bisa-bisanya memilih Noah padahal cowok-cowok keren yang mengejar gadis itu juga bejibun. Noah memang tampan dan berasal dari kalangan orang berada, tetapi kelebihan tersebut seolah tak bermakna sebab ia semena-mena.

Fabian mengalihkan pandang, bibirnya berdecak keras tanda kepanasan—hatinya yang terbakar. Suara gitar yang semula beraturan membentuk harmonisasi, melodinya mendadak buyar karena Fabian menggenjrengnya dengan emosi. Namun, kekesalan pemuda Itu seketika sirna saat motor familier berhenti di depan sana. Bunda Lila dan Syaqilla telah tiba, Fabian pun bergegas lari membukakan pagar untuk perempuan-perempuan berharganya.

Fabian dan Syaqilla berjalan bersisian menuju teras, sementara Bunda Lila memarkirkan motor ke garasi dan tampaknya langsung masuk ke rumah. Di teras, si sulung kembali memangku gitar, ancang-ancang melampiaskan patah hatinya pada lagu-lagu lagi. Namun, belum sempat ia memetik barisan senar, Syaqilla tiba-tiba merapatkan badan ke sisinya dan berbisik, "Abang! Aku bawa kabar yang sangat unexpected! Mau tau gak?"

Gitar diletakkan ke sisi tubuh, lantas Fabian rangkul bahu sang adik sambil balik berbisik, "Kabar apaan, Dek?"

"Bunda kayaknya punya pacar."

Dalam satu kedipan mata, ekspresi konyol Fabian berganti raut serius. Ia menatap sang adik dengan kernyitan di dahi. "Kamu tau dari mana, La?"

"Tadi aku gak sengaja denger Bunda sayang-sayangan di telepon, Bang."

"Salah denger kali."

"Orang suaranya jelas banget!"

Fabian termangu, mendadak merasa canggung sendiri mengetahui sang bunda sedang kasmaran. "Kamu enggak tanya langsung ke Bunda, La?"

"Aku gak beranilah, Bang." Syaqilla menyandarkan sisi kepalanya di bahu Fabian, lalu memaku pandang pada rerumputan yang tumbuh di halaman. "Rasanya aneh pas tau Bunda punya seseorang yang disayang selain Ayah."

"Gak rela?"

"Mungkin." Gadis itu menjeda sesaat. "Tapi lebih ke merasa dikhianati, sih."

Fabian mengulas senyum samar, sangat memahami bagaimana perasaan adiknya. Ia juga merasa demikian, tetapi sisi dewasanya justru sedikit lega mengetahui hal ini.

"Pernah kepikiran gak, La? Kalau setelah Ayah berpulang, Bunda mungkin kesepian. Bunda mungkin butuh sandaran, butuh seseorang yang bisa diajak diskusi soal kehidupan."

"Kan ada kita, Bang."

Kekehan Fabian mengalun pelan sebelum melanjutkan, "Emang Bunda pernah curhat soal kerjaan ke kita? Pernah cerita soal betapa capeknya beliau ngejalanin hari-harinya? Pernah ngeluh ke kita? Gak, La. Bunda gak pernah lakuin itu semua karena tau anak-anaknya belum cukup tangguh. Beliau selalu takut membebani kita."

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang