Fabian mengerang saat suara ketukan pada kaca jendela kamarnya tidak kunjung berhenti. Sudah nyaris dua menit seseorang membuat kegaduhan di luar sana, sangat mengganggu waktu istirahatnya. Setelah memejam sejenak demi meredam kekesalan, Fabian beranjak dari ranjang, hendak mencaci maki siapa pun yang lancang membuat onar di jam dua belas malam ini. Tanpa ragu atau merasa waswas, pemuda itu menyibak kain gorden.
"Nay?" Fabian mengernyit.
Yang dipanggil malah cengengesan, tidak merasa berdosa sama sekali. Setelah beberapa saat saling tatap, Anaya pun menggerakkan tangan, memberi isyarat pada Fabian supaya membuka jendelanya. "Buka, dong!"
"Lo lagi cosplay kunti, huh?" Fabian bertanya seraya menyentil kening perempuan di depannya yang masih tersenyum meski baru saja kena cibir.
Gadis itu tidak mengindahkan ucapan Fabian, lebih memilih menaruh barang bawaannya ke atas kusen jendela. Sebuah kue seukuran kepalan tangan berbentuk hati dengan krim cokelat membungkus permukaannya.
"Ini apa?"
Giliran Anaya yang menyentil dahi Fabian. Seraya mendesis gemas, gadis itu menjawab, "Ini kue, cintaku."
Fabian merotasikan bola mata sembari pura-pura tidak mendengar kata terakhir. Selanjutnya tidak ada lagi balasan, sebab pemuda itu menemukan pertanyaannya barusan memang terdengar sangat bodoh.
"Mau masuk gak?" tanya Fabian yang merasa aneh ngobrol dengan posisi begini. Di mana dia dan Anaya kompak menumpukan siku pada kusen jendela, berdiri saling berhadapan, sedikit menengok demi bisa memandang wajah satu sama lain. "Dingin, 'kan?"
"Enggak, mau gini aja." Anaya menegakkan punggung, lalu merogoh ke dalam saku celana trainingnya. Sebuah pemantik api dan lilin berbentuk angka delapan kemudian tampak di genggaman perempuan itu.
"Delapan doang? Angka satunya lo buang ke mana?" Fabian hanya mengamati saat Anaya mulai menempatkan lilin tersebut pada kue, tidak lama kemudian Anaya menyulutkan api pada sumbunya.
"Angka satunya nanti nyusul sepuluh tahun lagi." Anaya tersenyum sampai matanya jadi segaris, lengkung bibir yang menyirat nyata sebuah euforia.
"Kenapa sepuluh tahun lagi?" Fabian tiba-tiba saja merasa sangat bodoh.
Tanya pemuda itu dibalas sang sahabat dengan tatapan teduh. Namun, binar ceria di manik Anaya mendadak luruh digantikan sorot lembut. "Karena sekarang gue mau merayakan kebersamaan kita yang udah nginjak tahun kedelapan. Kita, Fab, ternyata udah selama itu bareng-bareng."
Delapan tahun, ya?
Lama, tetapi tidak terasa. Jika ditengok ke masa lalu, ternyata sudah sangat banyak kenangan yang mereka ciptakan bersama. Dari yang senang sampai sedih. Tawa hingga tangis. Dari yang satu mencintai dan yang lain tidak kunjung memahami. Mereka telah berbagi segalanya. Benar-benar segalanya sampai-sampai sebuah bayang hadir di benak Fabian, tentang hidupnya yang pasti akan hampa jika Anaya tidak ada. Sepenting itu eksistensi Anaya di semesta Fabian.
"Fab."
Panggilan pelan itu menarik kesadaran Fabian dari lamunan. "Hm? Kenapa?"
"What would I do without you?" Anaya berkata pelan, nyaris seperti bisikkan. "I will never forget what you have done for me. Lo yang tetap tinggal walau tau gue kacau banget. Lo yang enggak pergi di momen-momen terburuk gue. Untuk semuanya, hal-hal baik yang pernah lo kasih ke gue ... I thank you most warmly, Fabian. Thanks a lot."
Fabian kehilangan kata-kata untuk membalas. Dia masih menerka-nerka alasan di balik sikap Anaya sekarang. Gadis itu memang sering tiba-tiba datang untuk mengatakan hal serius , terlebih jika episode maniknya sedang kambuh. Namun, yang ini terasa berbeda. Perkataan Anaya terdengar tulus, seakan-akan bukan jiwa tertekannya yang sedang bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...