36. Sesal

403 65 18
                                    

Enggak butuh menunggu sampai istirahat pertama untuk mendatangi Noah dan menghajarnya. Karena ternyata dia betulan membiarkan Anaya berangkat sendirian. Tepat ketika bel masuk menggema ke sepenjuru sekolah, gue menyeret Noah yang sedang ketawa-ketiwi bareng sohib-sohibnya ke atap gedung olahraga. Semula, kawan-kawannya hendak mengikuti, tapi Noah dengan sok keren menyuruh mereka stay. Baguslah, at least gue bakal by one adu jotosnya. Bakal seimbang lawannya.

"Berhenti nyakitin Nay, anjing!" Gue setengah berteriak sembari mendorong tubuh Noah hingga anak itu nyaris limbung ke lantai semen.

Dia berusaha mendapatkan kembali keseimbangan tubuh, lalu tertawa sumbang sambil menatap gue dengan sorot remeh. Jarak cukup renggang di antara kami pun dikikisnya hingga menyisakan sebelah rentangan tangan. "The fuck," desisnya, "Lo kalau mau banget sama Nay mending putusin Ayudia! Perasaan lo tuh bercabang!"

Gue bisa merasakan sensasi panas dari emosi yang menggelegak di dasar perut. Noah dan omongannya yang nggak make sense itu benar-benar bikin darah gue mendidih. Apalagi pembawaannya yang santai dan terkesan menganggap sepele apa yang gue keluhkan, sumpah, gue enggak pernah mengira bisa semarah ini pada seseorang. Anaya yang bahagianya gue usahakan mati-matian, bahkan sampai hati gue porak poranda, lalu dengan begitu gampang dia menyakitinya.

Anaya gue ... salah apa sampai diperlakukan sedemikian buruk?

"Gak usah bawa-bawa cewek gue!"

Dia cengengesan. "Barter cewek aja gimana?" tanyanya. "Nay buat lo—"

"Stres lo, sialan!" desis gue. "Jadi lo beneran suka sama Ayudia, No?"

Seringainya merekah kian lebar, membuat gue makin muak melihatnya.

"Iya, gue suka Ayudia." Lalu, sorot matanya tiba-tiba memancarkan kesungguhan. Sorot tajam yang pertama kali gue lihat sepanjang bersitatap dengannya. "Jauh sebelum lo sama dia ketemu, gue udah suka Ayudia. Lo itu cuma bajingan yang tiba-tiba datang dari antah berantah dan ngehancurin segalanya, Fab!"

Berderet kalimat yang lolos dari mulutnya berdenging nyaring di telinga gue. Butuh beberapa saat bagi gue untuk bisa mencernanya, dan saat kesadaran gue kembali menguasai diri, gue beneran nggak mampu mengatakan apa pun. Pengakuan Noah yang unexpected ini, harus dengan cara yang seperti apa gue menyikapinya?

Gue menatapnya dengan gemuruh di kepala. Benak gue ikutan berisik, dan demi Tuhan gue nggak suka terjebak di situasi yang membuat kerja otak gue mendadak eror. "Lo suka Ayudia?"

"Harusnya lo sama Nay jadian aja sejak lama biar Ayudia enggak ngejar-ngejar lo kayak orang bego!" Suaranya meninggi. "Lo pikir lo doang yang hancur karena Nay disakitin? Gue juga hancur lihat Ayudia nangis gara-gara lo, bajingan! Lo sama gue tuh gak ada bedanya, Fab. Sama-sama pecundang!"

Gue mengusap kasar wajah dan membuang napas keras-keras.

"Jadi sebenernya ...." Gue menjeda sesaat lantaran enggak sanggup mendengar jawaban dari pertanyaan yang bakal gue lontarkan. Namun, kendati tahu besar peluang Noah akan melepas kebenaran menyakitkan, gue tetap mau tahu bagaimana perasaan dia yang sejujurnya. "Lo suka Nay gak? Pernah gak sedetik aja lo tulus ke dia?"

"Enggak." Segampang itu dia bicara. "Gue cuma manfaatin dia karena tau dia orang yang lo suka. Kalau gue enggak bisa dapetin Ayudia, lo juga gak boleh dapetin Anaya. Kita impas, bro."

Gue nggak punya komentar apa-apa selain ... gila! Nggak waras ini orang!

"Childish lo, No. Sumpah."

Dia mengedikkan bahu, tatapannya berubah tengil lagi. "I don't give a fuck."

Gue kehilangan kesabaran, jadi langsung saja mendaratkan satu pukulan ke wajahnya. Noah terdorong ke belakang dan nyaris ambruk, tapi cowok itu bergerak cepat menegakkan badan demi membalas pukulan gue.

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang