Pertemanan yang diisi dua orang antara lelaki dan perempuan memang riskan menimbulkan penderitaan. Masalahnya, beberapa orang terkadang lancang melibatkan perasaan. Yang cari aman memilih memendam, yang mengutarakan kebanyakan menemui kekecewaan. Dari dua opsi tersebut, Fabian menjejak pilihan pertama. Ia diam-diam menaruh rasa sambil berharap Anaya akan sadar dengan sendirinya. Namun, ekspektasi pemuda itu tanpa ampun dihempas realita. Sampai detik ini, sang sahabat tak kunjung peka, malah memilih menjalin kasih dengan seseorang yang lebih berani mengakui perasaannya.
Fabian sempat kecewa, bukan pada Anaya, melainkan ke diri sendiri yang menganggap pertemanan lebih berharga dari segalanya. Padahal ternyata status teman cuma bikin nelangsa. Cemburu yang dirasa tak bisa disampaikan lewat kata-kata pada Anaya. Sebab apa? Ya, tak ada haknya.
Di sebuah kamar dengan penerangan remang-remang, Fabian termenung menghadap layar laptop sambil mendengarkan gemuruh hujan. Sepasang bahu kokohnya didekap keheningan, tetapi berisik dalam kepalanya membuat ia tetap terjaga.
Sampai kemudian lamunannya dipaksa buyar oleh suara dering ponsel penanda panggilan masuk. Fabian mengambil benda pipih yang tergeletak di dekat lampu belajar, mengecek layar, lalu senyumnya terulas tipis begitu mendapati nama sang sahabat yang tertera di sana.
"Apaa—"
"Biaaaan!"
Fabian spontan menjauhkan ponsel dari sisi wajahnya ketika pekikan Anaya menghajar gendang telinga. Pemuda itu mengumpat tanpa suara sambil menatap kaget benda dalam genggamannya. "Berisik banget, woy!"
"Bian, gue pengin sate!" pinta perempuan itu dengan nada merengek. "Beliin, dong, Bian. Ya?"
Sunyi yang mendominasi kamar membuat dengkusan Fabian menggema hingga ke penjuru ruangan. Ia bangkit dari kursi untuk mendekat ke jendela yang daunnya setengah terbuka. Di seberang sana, terpaut sekitar dua puluh meteran, adalah rumah Anaya. Letak kamar gadis itu berada di satu garis lurus dengan pandangan Fabian saat ini. "Look out your window." Lantas, ia menumpukan kedua siku pada bingkai jendela.
Menunggu tak sampai semenit, jendela di depan sana pun terbuka. Terlihatlah sosok cantik melambai-lambaikan tangannya. Anaya melempar senyum, tampak antusias seperti selalu. Yang Anaya lakukan seketika menghadirkan keinginan kuat di benak Fabian untuk mendekap raga itu erat-erat. Namun, tidak bisa. Sekat tak kasat mata bertitel persahabatan tak mengizinkannya.
Suara perempuan itu kembali terdengar dari ponsel Fabian, "Gimana? Beliin, ya? Please?"
"Lo lihat sekarang lagi hujan?"
Anaya cemberut. "Lihat."
"Nah, emang lo tega nyuruh gue keluar pas hujan?" tanya Fabian, mengandung sarkasme, membuat Anaya langsung mengudarakan desahan kecewa. "Suruh Noah sana."
"Jangan, ih! Kasian pacar gue disuruh-suruh, mana lagi hujan."
Fabian menipiskan bibir sebal mendengarnya. "Di mana, Nay?"
"Di kamar?" balas gadis itu ragu. Sejatinya Anaya bingung kenapa tiba-tiba Fabian bertanya demikian.
"Bukan lo."
"Terus?"
"Akhlak lo."
Disambut tawa keras oleh Anaya. Fabian mendengkus kasar sambil pasang tampang kesal bercampur gemas. Di titik ini, hujan yang sedikit mengaburkan penglihatannya seolah menjelma tirai yang sanggup membingkai sempurna suara gelak beserta ekspresi senang Anaya.
"Bian, denger gak?"
"Gak, gue budeg."
"Serius, weh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...