Fabian, Hagan, Aji, Syaqilla dan Ayudia kini berada di kediaman Anaya. Berkumpul dalam rangka mempersiapkan kejutan ulang tahun untuk gadis itu. Ketika teman-temannya sibuk dengan tugas masing-masing, di sana Fabian malah terduduk gelisah dan berulang kali mengecek jam di pergelangan tangan.
"Doi udah di mana, bro?" tanya Hagan, lalu kembali menggembungkan pipi demi mentransfer udara ke dalam balon. Di sekitar tempatnya bersila, sudah ada sepuluh balon yang berhasil ditiup, menyebar samar-samar bau jigongnya yang tertinggal pada lubang balon tersebut. Canda, napas cowok ganteng mah semerbak wanginya.
"Chat gue ceklis satu." Fabian menaruh ponsel ke saku baju bersamaan dengan beralihnya pandangan pemuda itu ke depan, menatap tiga orang yang kini sibuk mendekor dinding dengan balon huruf. Sesaat kemudian, matanya bergeser ke arah dapur di mana Randi baru saja melangkah keluar dari sana. "Nay ada ngabarin enggak, Bang?"
Randi tidak buru-buru menjawab, memilih mendekat dulu, lantas duduk di sebelah Fabian usai menyuguhkan nampan berisi camilan beserta sebotol air mineral ukuran besar. "Dia di jalan. Setengah jam-an lagi sampe katanya."
Melihat camilan disuguhkan, Hagan kontan melepas balon-balon kempis yang telah merenggut sebagian napasnya, lantas mencomot lima keping kuping gajah sekaligus.
"Makasih, nih, Bang." Hagan melempar cengiran pada Randi, dibalas anggukan disertai kekehan geli oleh pemuda berusia selisih dua tahun darinya itu. Dan karena kebetulan memang sedang kelaparan, Hagan pun kembali mengambil berkeping-keping.
Melihat sifat tamak Hagan, Fabian hanya bisa menggeleng sambil membatin dalam hati. Temannya itu padahal anak orang kaya, tetapi sering bertingkah seperti manusia yang kekurangan pangan. Jika niatnya untuk membumi, Fabian rasa Hagan justru malah menjurang; terlalu serius dalam memaknai kesederhanaan.
"Panggil yang lain, Fab. Suruh mereka minum dulu. Udah hampir satu jam kalian nyiapin kejutan ultah buat Nay."
"Aji, sini!" panggil Hagan.
Aji yang tengah berusaha menarik perhatian Syaqilla dengan bertingkah sok keren pun terpaksa menghentikan aksinya. Dia dan Syaqilla mendekat, diikuti Ayudia selepas perempuan itu memastikan semua persiapan kejutannya rampung tanpa menyisakan sedikit pun cela.
Fabian mengangsurkan satu kaleng minuman bersoda ketika Ayudia mengeluh kehausan di sampingnya.
Ayudia menerima gelas itu dengan senyuman. "Makasih, Kak Ian."
Fabian mengedikkan kepala seraya pamer senyum manis. "Makasih juga kamu mau bantu nyiapin semuanya."
"Sama-sama, Kak."
Fabian kembali mengecek jam, lalu berdecak kala mendapati waktu nyaris sampai ke pukul sepuluh malam. Kalau seperti ini otaknya mendadak disinggahi berbagai prasangka buruk. Malam-malam begini ke mana Noah membawa Anaya pergi keluyuran?
"Ngelamun terus, Bang." Syaqilla yang duduk di atas sofa persis di belakang punggung Fabian, berbisik pelan. Gadis itu menyandarkan dagu pada bahu sang abang, terlihat nyaman.
"Berat, Dek." Fabian menoyor bagian samping kepala Syaqilla, tetapi tidak berhasil membuat sang adik menjauh. Gadis itu justru makin menjadi-jadi dengan mengalungkan dua tangannya memeluk leher Fabian. "Qila, berat."
"Senderannya di bahu gue sini, Sya." Aji tahu-tahu berujar demikian, ternyata sejak tadi ia memperhatikan obrolan antara Syakila dan Fabian.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...