Fabian masih terjaga di jam sebelas malam ini. Lumrah terjadi, tetapi kini alasannya tidak seperti biasa. Jika kemarin-kemarin untuk menekuni layar ponsel yang menyuguhkan permainan, maka sekarang dia begadang karena memikirkan kejadian tadi siang. Pemuda itu baru setengah percaya pada prasangka bahwa Ayudia dan Noah diam-diam memiliki hubungan. Sekadar melihat tatapan Noah terarah lembut pada Ayudia tidak lantas jadi alasan kuat untuk menyimpulkan jika mereka berdua main-main di belakang Anaya.
Kendati begitu, Fabian tetap menaruh curiga. Ayudia sempat menunjukkan gestur tidak nyaman saat ditatap Noah. Kira-kira alasan apa yang ada di balik kejanggalan tingkahnya tersebut? Setiap reaksi dilandasi motif, 'kan?
"Ah, sial." Fabian mendengkus kesal sambil mengusak kasar rambutnya.
Dua detik ia terdiam sebelum akhirnya menggapai headphone dari atas nakas. Benda itu lantas dipakainya seraya mendekat ke jendela. Di sana, Fabian menumpukan kedua tangan pada kusen, sementara matanya terarah lurus ke rumah Anaya yang berada tak jauh dari tempatnya berpijak. Dari jendelanya, penerangan di kamar gadis itu tak menyala, mungkin karena sudah ditinggal tidur pemiliknya.
Beberapa saat mencoba menikmati alunan musik, ujung-ujungnya Fabian melamun juga. Suara dari headphone seolah raib dari pendengarannya, digantikan hening yang perlahan merenggut semua beban yang bercokol di kepala. Sampai kemudian pandangan pemuda itu menggelap karena ada jari-jari yang menutup matanya tanpa permisi. Fabian agak terlonjak, tetapi saat ia membaui wangi familier, Fabian pun langsung tahu siapa seseorang di belakangnya.
"Apa faedahnya tutup-tutup mata begini?" Sebelah tangan Fabian bergerak ke belakang, berusaha mencari puncak kepala sang sahabat. Kala dia berhasil menemukannya, didaratkanlah tepukan pelan di sana. Suara tawa pun terdengar kemudian. Tidak keras, tetapi itu cukup untuk memenuhi pemdengaran Fabian dengan bebunyian favoritnya.
"Ga berfaedah sama sekali." Anaya menarik tangannya untuk beralih ke bawah, melingkar longgar pada pinggang Fabian, memeluk pemuda itu dari belakang. Sebelah pipinya menempel pada punggung sang sahabat, kemudian Anaya menambahkan, "I miss you."
Headphone telah Fabian turunkan ke leher. Dia tidak berbalik, tetapi jemarinya masih bergerak lembut mengusap punggung tangan Anaya yang bertaut di perutnya. "Udah malam, kenapa malah kelayapan?"
"Pengin ketemu. Tadi siang lo sibuk banget sampe lupa nyamperin gue di belakang panggung, ya?” tanyanya.
Mendengarnya, Fabian tak pelak tersenyum kecut. Diam-diam pemuda itu merutuki ketidakpekaan Anaya yang luput menyadari ketegangan antara dirinya dan Noah. "Takut ganggu. Gue tau Noah gak sudi kalau lo ngajak gue pas kalian ketemuan.”
Anaya mendengkus geli. "Perasaan lo doang kali. Dia enggak masalah, kok."
"Perasaan lo doang kali." Fabian meniru ucapan Anaya dengan gerakan bibir miring-miring, sontak memicu tawa gadis itu kembali mengudara. "Udah belum peluknya? Gerah, nih.”
Anaya menggeleng samar. "Bentar lagi, Bian. Kenapa selalu ogah dipeluk lama-lama sama gue, sih? Kita sohib sehidup tapi enggak semati, 'kan?"
Fabian berdecak, tetapi sejurus kemudian tawa gelinya lolos juga. "Sehidup-semati juga ayo, Nay. Lo hidup, gue hidup. Lo sakit, gue gantiin biar gue yang mati dan lo bisa tetap hidup. Tapi tolong jangan sakit, soalnya gue takut gak bisa gantiin karena keburu sakit lihat lo kesakitan."
"Ga lucu, ya!" Anaya membenturkan pelan dahinya pada punggung Fabian. Tidak senang mendengar penuturan temannya itu. "Biar apa ngomong kayak gitu? Gue enggak bakal baper."
"Lagian enggak niat bikin lo baper. Gue cuma ngomong apa yang gue pikirin," balas pemuda itu seraya mengurai paksa pelukan sahabatnya. Fabian pun berbalik setelah kuncian tangan Anaya terlepas. "Kenapa cemberut, sih? Ngambek, huh? Jelek banget muka lo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...