51. The Last Kiss

931 71 9
                                    

⚠️🔞⚠️

***

Setelah seharian menjelajah destinasi wisata yang ada di Pangandaran, Fabian dan kawan-kawan pergi ke Kampung Turis untuk mencari santap malam. Mereka singgah ke salah satu kafe tak jauh dari vila. Berlokasi di pinggir pantai dengan dekorasi lampion cantik menaungi meja-meja yang ditata apik di bagian luar bangunan. Tempat makan ini memang dikonsep indoor dan outdoor. Pemandangannya menghadap langsung ke lautan, menyuguhkan panorama estetik yang memanjakan penglihatan, apalagi jika berkunjung di malam hari, suasananya damai sekali. Sungguh tempat tepat untuk melepas dahaga sekaligus mengistirahatkan benak yang penat. Alam akan menghibur dengan suara konstan debur ombak dan desau angin yang menerbangkan anak rambut.

Fabian bersenang-senang, sangat menikmati liburan mendadak ini. Apalagi melihat Anaya yang tampak sumringah dan antusias, makin senang Fabian menghabiskan hari. Mereka mengukir banyak kenangan indah, termasuk saat keenamnya pergi ke Cagar Alam demi mempertemukan Fabian dengan saudara-saudaranya.

"Saudara lo, tuh!" Hagan menunjuk primata yang bergelantungan di pohon, membuat Fabian berdecak, sementara yang lain puas tergelak.

"Lebih mirip Noah," elak Fabian.

Dan yang dituduh langsung menjitak kepala Fabian sambil mendengkus sebal. "Jangan gitu. Nangis nanti saudara-saudara lo, Fab. Sapa dulu mereka, dong. Atau mau gelantungan juga? Gih, bersatu kembali dengan keluarga yang udah lama pisah."

"Monyet," gumam Fabian keki.

"Ya kan mereka emang monyet."

Begitulah canda tawa di sepanjang jalan menuju Pasir Putih. Mereka sengaja tak menyewa perahu lantaran Hagan bersikeras ingin melihat monyet-monyet penghuni Cagar Alam. Monyet-monyet nakal yang sempat melompat ke tas selempang Anaya dan berusaha merebutnya, beruntung Fabian sigap menahan tali tasnya. Walau harus saling tarik menarik beberapa detik, tas Anaya berakhir dilepas si monyet juga. Sisanya menyaksikan perebutan tas tersebut sambil memekik takut, tetapi kemudian kompak meloloskan tawa kala makhluk primata itu melarikan diri ke kawanannya lagi di atas pohon.

Kala malam beranjak semakin larut, mereka sudah terlelap di kamar masing-masing. Fabian tidur miring ke kanan, sebuah guling tersembunyi dalam dekapan. Ia tampak pulas. Namun, meski memejam erat, ia masih bisa merasakan pergerakan sebuah tangan yang tiba-tiba melingkari bagian pinggang. Fabian sontak terjaga dan beringsut membalikan badan.

Fabian pasang ekspresi berang, mulutnya terbuka lebar, bersiap memberondong Noah dengan makian. Berani-beraninya Noah sekonyong-konyong main peluk. Bikin Fabian merinding sebadan-badan! Jelas saja ia mengira itu lengan si Jancok, kan mereka roommate, tetapi kala pandangannya mengunci si empu tangan, semua kata umpatan langsung tertelan lagi ke kerongkongan. Bukan tampang menyebalkan Noah yang Fabian temukan, melainkan wajah cantik Anaya yang kini menampilkan ekspresi menggemaskan; mengerjap lucu seraya pamer cengiran lebar.

"Halo?" sapa gadis itu.

Fabian mengernyit. "Kok, elo?"

"Lo berharap Noah yang peluk lo?"

"Buset. Gak gitu, njir." Fabian berniat mendudukkan diri, tetapi baru setengah jalan menegakkan punggung, Anaya tahu-tahu memeluk lehernya hingga tubuh pemuda itu jatuh lagi ke kasur. Sesaat, Fabian mengedarkan pandang, mencari keberadaan Noah.

Anaya membenamkan wajah ke dada Fabian, mengusak-ngusakkan pipi, mencari posisi nyaman. Si pemuda mengernyit sebentar, masih agak linglung karena dipaksa terbangun, tetapi di akhir ia membalas pelukan Anaya. Mendekap bahu gadis itu dengan erat. Fabian memejam, merunduk untuk bisa memerangkap wangi manis yang menyelip di setiap helai hitam di kepala perempuannya.

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang