20. Keep Going

451 61 4
                                    

Suara derap langkah terburu-buru terdengar menggema di sepanjang koridor kelas sepuluh. Berasal dari alas sepatu Fabian yang bergerak tergesa lantaran ada Anaya di gendongannya. Gadis itu mimisan, dan jatuh pingsan tepat di depan Fabian ketika keduanya mengikuti upacara rutin hari Senin.

Kain baju seragam Fabian tampak merah di bagian bahu kanan, tembus hingga ke kaos dalaman yang warnanya senada. Menimbulkan kecemasan yang keterlaluan bagi si pemuda. Sejatinya Fabian tak kaget lagi sebab ini bukan kali pertama ia mendapati Anaya mimisan. Namun, tiap kali hal itu terjadi, Fabian pasti langsung khawatir dan kelabakan. Apalagi sekarang sampai pingsan, bikin jantung Fabian kebat-kebit.

"Gak usah lari, Bian ...."

Langkah Fabian melambat tatkala suara lirih Anaya terdengar amat dekat di telinganya. "Udah bangun, Nay?"

"Kalau enggak bangun gue gak bakal ngomong. Tolol, ih." Anaya terkekeh lemah sembari menyeka lelehan darah di bawah hidung. Ia mengerjap lantaran pandangannya agak berputar, sejurus kemudian ia meringis kecil melihat kain baju di bahu Fabian berubah warna jadi kemerahan. "Baju lo nanti gue cuci."

Fabian berdecak. "Gak usah mikirin baju gue, pikirin aja diri sendiri dulu."

Anaya kembali menyandarkan dagu ke bahu Fabian, lantas memeluk leher pemuda itu. Mimisannya sudah berhenti, menyisakan pening di kening. "Makasih, Bian," bisiknya.

Sejenak, Fabian terdiam, membiarkan bisikan Anaya dibalas keheningan. Lalu, di sela-sela langkahnya yang terayun dalam tempo normal, pemuda itu melepas tanya, "Begadang, ya?"

Tanya itu ditembakkan lantaran Fabian sudah hafal betul kebiasaan Anaya jika mimisan. Alasannya pasti karena belajar hingga lupa waktu.

Anaya cengengesan.

"Sampai jam berapa?"

"Tiga?" balas Anaya ragu, pasalnya ia juga lupa waktu tepat kapan tertidur dengan posisi duduk di meja belajar.

Helaan napas Fabian terdengar berat. Ia berbelok di ujung koridor. Ruang UKS sudah kelihatan di depan sana. "Kenapa terlalu keras sama diri sendiri, sih, Nay? Udah tau badan lo ini suka protes kalau lo gak tidur semalaman, tapi masih aja lo paksain. Emang gak sayang sama badan sendiri, huh?"

"Enggak, soalnya gue sayangnya sama lo." Lalu ia tergelak. "AAA-Jangan!"

Fabian tertawa karena keisengannya yang berlagak hendak menjatuhkan Anaya dari gendongan berhasil menyentak kesadaran gadis itu. "Makanya diem. Flirting lo jelek."

"Becanda lo juga jelek!" gerutu Anaya. "Kalau pantat gue beneran nyium lantai terus jadi tepos gimana?!"

"Berarti gak ngaruh, 'kan?"

"Maksud?"

"Orang udah tepos dari pabrikannya."

"The fuck," desis Anaya sembari pura-pura mencekik leher Fabian, membuat pemuda itu tertawa-tawa.

Pintu ruang UKS terbuka, Fabian memasukinya masih sambil adu mulut dengan Anaya. Begitu melewati ambang pintu, ia disambut beberapa anggota PMR yang sedang leha-leha di atas ranjang. Ah, Anaya menyesal tidak mengikuti ekstrakurikuler ini. Dia telat tahu jika menjadi anggota PMR berarti bisa mangkir dari upacara bendera dan bersantai di sini tanpa takut dimarahi oleh guru kedisiplinan.

Fabian menurunkan Anaya dari gendongannya ke ranjang dengan hati-hati. Lalu meminta bantuan pada seorang anggota PMR untuk membawakan kotak P3K dan kain basah untuk mengelap area mulut Anaya yang berlumuran darah.

Anaya memejam ketika Fabian mulai menyapukan sapu tangan basah ke bibirnya. Ia baru membuka mata tepat saat pemuda di depannya bersuara.

"Jangan begadang lagi, Nay."

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang