— Fabian's PoV —
⚠️🔞⚠️
Gue memutuskan untuk rehat dari mencintai Anaya. Menjauh sebentar. Syukur-syukur bisa sampai menyerah. Siklus terluka kemudian diobati ternyata nggak selamanya menyenangkan. Nggak ada namanya mendingan. Sama-sama bikin sakit.
Hari ini gue masuk meskipun badan rasanya kayak dibakar. Niat nggak niat sih sebenarnya karena di sekolah pun berencana molor di UKS. Gue cuma mau lihat Ayudia. Ya, gue rasa sudah waktunya untuk benar-benar memulai kisah baru bersama dia. Gue enggak bisa terus-terusan menunggu seseorang yang jelas nggak akan balik menyukai. Anaya dan alasannya yang nggak mampu gue pahami, terserah.
Pemakluman gue habis.
"Kedip, brader."
Gue berdecak saat merasakan tepukan di bahu. Itu Hagan yang menganggu kegiatan gue memandangi Ayudia.
Ayudia yang sedang mengunyah pentol bakso kontan menoleh. Satu alisnya naik, dan gue secara naluriah mengusap alis itu supaya turun lagi. Dia terkekeh, lalu melanjutkan sarapannya. Bisa gue dengar Hagan dan Aji kompak mencibir sambil pasang tampang jengah yang kentara.
Sekarang gue di kantin buat sarapan. Empat kursi yang mengelilingi meja dihuni gue, Ayudia, Hagan, dan Aji. Anaya biasanya bergabung, tapi tadi pagi dia chat bakal sarapan bareng Noah. Pesan dia nggak gue balas. Enggak gue angkat juga teleponnya. Gue mau membiasakan diri untuk tidak peduli berlebihan padanya. Mulai tadi malam, gue berkompromi dengan ego gue untuk membangun batas yang jelas dalam pertemanan kami. Akan gue perlakukan dia selayaknya seorang teman. Akan gue turunkan dia dari prioritas teratas.
"Muka kayak jasad gitu ngapain pake sekolah, sih, nyet?" Hagan menyeruput cairan hitam dari gelasnya yang mengepulkan asap. Dia memang punya kebiasaan macam bapak-bapak lantaran nggak afdol jika memulai hari tanpa segelas kopi. "Mending bobo ganteng di rumah kalau gue mah."
"Bobo jelek buat lo mah, Bang."
Hagan mendelik pada Aji. "Gue ganteng!" katanya sewot sambil menunjuk batang hidung sendiri.
Dan mereka pun berdebat. Gue menghela napas sambil memijit pelipis yang agak berdenyut, lalu mengalihkan pandang pada Ayudia yang ternyata lagi fokus ke gue juga. Kilat khawatir terpampang di matanya yang cantik. Gue senyum, menopang dagu, dan meladeninya adu tatap.
"Kamu pucet banget, lho, Kak."
"Kan lagi sakit."
"Ya makanya kalau tau lagi sakit kenapa malah sekolah?" Dahinya mengerut tak suka. Ayudia memasuki mode bawelnya, dan gue senang kalau dia sudah cerewet begini karena mengkhawatirkan kondisi gue. "Nanti malah makin sakit, Kak Ian. Lagian kenapa maksain sekolah, sih?"
"Mau lihat kamu."
Puk!
Kepala gue dihantam bungkus Sukro. Cibiran Hagan yang gerah mendengar gombalan gue pun kedengaran, tapi gue enggak peduli. Gue lebih suka melihat Ayudia yang mendengkus geli dengan pipi putih dihiasi rona merah.
"Suntuk di rumah, Di." Gue berikan alsan kedua, karena gue nggak bohong soal alasan pertama. Gue memang mau ketemu Ayudia. "Nanti malem aku boleh main ke rumah kamu gak?"
Sesaat, mata bulatnya melebar, tapi detik berikutnya ia mengangguk. Haduh, tolong, dia gemesin banget. Gue acak rambutnya pelan, dibalas dia dengan gerutuan. Hagan yang kayaknya sudah mau muntah menyaksikan kelakuan gue pun menarik turun tudung hoodie gue sambil misuh-misuh. Gue ketawa, tapi getar ponsel di saku celana menginterupsi. Gue langsung diam, menatap bimbang layar ponsel di mana tertera nama Anaya melakukan panggilan. Ada keinginan untuk menolak, tapi jari gue mendadak kaku buat digerakkan. Pada akhirnya, gue kalah lagi. Mengabaikan Anaya sekarang tinggallah sebuah wacana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...