Dalam menjalani kehidupan, setiap manusia melangkah di atas berbagai pilihan. Dan dalam hidup Fabian, ia memilih menjadi bajingan. Ketika ia disuguhi dua opsi yang kelewat mudah; tenggelam di kubangan luka atau menyongsong pusaran bahagia; menunggu Anaya atau menyambut perasaan Ayudia. Pemuda itu malah serakah menggenggam keduanya. Ia menerima keberadaan Ayudia di sisinya sekaligus tetap mengharapkan Anaya suatu saat bisa mencintainya.
Sayangnya meskipun tahu Fabian sebajingan itu, Ayudia tak keberatan untuk bertahan. Mereka berdua sama-sama menunggu seseorang yang hatinya telah terpaut pada orang lain. Fabian dan Ayudia merasa senasib, maka dari itu keduanya memutuskan berteman dengan dalih ingin saling mengobati, padahal kebersamaan yang mereka jalin justru malah mencipta luka-luka baru untuk diri sendiri.
Di teras rumah Ayudia, Fabian mendudukkan diri pada kursi rotan, menunggu si pemilik rumah yang sedang bersiap-siap. Ia menatap hampa deretan pot bunga di hadapannya. Fabian kepikiran sesuatu, tentang hubungannya dengan Anaya yang kian hari kian renggang. Kehadiran Noah benar-benar memberi pengaruh besar kepada sang sahabat. Fabian sebenarnya suka melihat Anaya bahagia, tetapi yang ia sesalkan adalah, kenapa bahagianya tak bersama Fabian saja? Kenapa kebersamaan mereka yang menyenangkan selama belasan tahun begitu mudah diporakporandakan?
Lima menit menunggu, pintu rumah akhirnya terbuka juga. Pemuda itu bergegas bangkit untuk menghampiri. Usai menutup pintu, Ayudia memutar badan, lantas menyungging senyum manis. Dibalas oleh Fabian dengan lengkungan bibir sama antusiasnya.
Di setiap pertemuan, Fabian selalu mengusak lembut puncak kepala Ayudia. Ia suka reaksi Ayudia pasca afeksi manis tersebut diberikan; bakal memalingkan wajah sambil menyembunyikan kuluman senyum malu-malu di balik punggung tangan. Lalu, rona merah menyusul timbul samar-samar di pipi putih gadis itu.
Kepribadian Ayudia begitu lugu, sungguh lucu, dan nyaris jadi candu.
Fabian suka.
"Bunda kamu di rumah gak, Di?"
Sebagai seorang pemuda yang dididik dengan baik oleh Bunda Lila perkara tanggung jawab, Fabian menyadari ada izin yang harus dipinta kepada orang tua Ayudia jika dirinya hendak mengajak main putri mereka. Apalagi ini adalah kali pertama ia berkunjung, jadi impresi sopan wajib diciptakan.
Ayudia yang masih sukar percaya Fabian sungguhan berdiri di teras rumahnya, menggeleng kikuk dengan pandangan tak fokus; sedetik menatap mata Fabian, detik-detik berikutnya dilarikan ke sembarang arah. Ayudia merasa sungkan dan gugup untuk alasan yang ia sendiri tak mengerti. Padahal di sekolah interaksi mereka kelewat akrab, tak ada canggung sedikit pun. Debaran jantung Ayudia yang anomali di momen ini mungkin efek dijemput main pertama kali, jadinya agak grogi. Rileks, Di. Ayo nikmati. Gadis itu menyugesti diri.
"Kamu kenapa?" Fabian terkekeh dan sekali lagi mengusak pelan kepala Ayudia, bikin gadis itu makin salah tingkah. Sadar atas apa yang dilakukannya membuat kegugupan Ayudia kian menjadi-jadi, Fabian pun berkelakar, "Santai, Di. Aku gak gigit."
Ayudia berdecak seraya merapikan poninya yang sedikit acak-acakan akibat ulah iseng Fabian. "Diem, deh, Kak Ian. Aku deg-degan banget ini."
"Dih? Kenapa?" Fabian membuat ekspresi heran yang kentara sekali dibuat-buat. Ia senang menjahili perempuan di depannya ini. "Kamu confess ke aku aja berani, masa cuma aku samperin ke rumah jadi begini?"
"Ssstt!" Gadis itu buru-buru menaruh telunjuk di bibirnya sendiri, mengode Fabian untuk tutup mulut. "Jangan ungkit insiden nekat itu! Aku juga gak tau kenapa mendadak deg-degan cuma gara-gara disamperin ke rumah sama kamu. Mungkin karena berasa dijemput pacar kali, ya? Haha ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...