Pangandaran, enggak banyak hal yang gue tahu selain tempat itu bakal ramai luar biasa saat libur panjang. Delapan jam yang gue habiskan di perjalanan terhitung worth it untuk ditukar pemandangan sore seindah ini. Berhubung gue jarang ke pantai, maka bolehlah gue bilang kalau Pangandaran adalah yang terbaik. Sejauh ini jadi yang paling memesona.
Kami sampai sekitar jam empat, langsung masuk kamar masing-masing di mana setiap kamar diisi dua orang. Anaya dan Ayudia, Hagan dan Aji, gue entah bagaimana bisa setuju-setuju saja saat Noah dengan semena-mena menunjuk gue sebagai roommate. Fokus gue memang nggak begitu bagus sepanjang menyimak pembagian kamar tadi. Ya, sebenarnya sejak pagi ada yang mengganggu pikiran. Gue perhatikan Anaya lebih kalem dari biasanya. Awal-awal mengira dia hanya masih ngantuk lantaran kami berangkat persis jam enam pagi, jadi kesadarannya mungkin masih tertinggal setengah di alam mimpi. Tapi hingga kami turun dari mobil pun Anaya tampak murung. Padahal semalam, di grup chat yang Noah buat secara dadakan, Anaya yang paling antusias membahas wacana liburan ini. Dan diamnya gadis itu bikin yang lain bertanya-tanya juga, ada apa?
Gue sempat menelepon Bang Randi, mencari informasi, apakah sekiranya sesuatu terjadi pada Anaya? Apakah episode depresinya kambuh lagi?
Jawabannya justru malah sebuah tanya, Bang Randi nanya kenapa gue bertanya demikian. Panggilan pun gue akhiri dengan posisi diri masih clueless. Dan karena nggak mau melewati liburan sambil sibuk menebak-nebak apa yang salah pada Anaya, gue memutuskan menanyainya.
Sebelum memasuki vila kepunyaan orang tua Noah, gue sempat menahan Anaya di dekat gerbang, bertanya apa ada yang mengganggu pikirannya, dan Anaya akan selalu jadi Anaya yang lebih suka memendam masalah sendirian. Dia malah mengulas senyum tipis dan menepuk bahu gue sekali sambil berkata, "Gue gapapa, Bian."
Di kamar, Noah pun mengatakan keheranan yang sama. Nanya juga apa yang salah dengan Anaya. Gue diam lantaran nggak tahu jawabannya. Sampai kemudian, pintu kamar diketuk, Anaya mengajak gue pergi menyaksikan sunset. Letak vila ini memang persis menghadap lautan, hanya disekat jalan dan bibir pantai yang cukup lebar. Berhubung sekarang bukan libur panjang, jadi di sini tak terlihat terlalu banyak orang. Ramai, tapi tidak berdesakkan macam foto yang pernah gue lihat di Twitter.
Gue pun menuruti maunya, pergi ke pantai. Jalan-jalan menyusuri pasir basah sambil menunggu momen sunset tiba. Hanya kami berdua karena yang lain memilih belanja ke toko-toko yang berjejer di sepanjang sisian jalan. Di momen ini, Anaya enggak lagi banyak diam, balik ke mode cerewetnya. Gue lega, sekaligus masih bertanya-tanya. Takutnya dia memang sedang ada masalah, tapi berlagak baik-baik saja. Gue udah khatam banget kebiasaan dia yang suka keep kekalutan sendirian.
"Di sini, Bian."
"Oke."
Setelah setengah jam menyusuri sisi pantai, menjejak dingin dari sisa terjangan ombak, Anaya mengajak gue mendudukkan diri pada pasir kering. Orang-orang lalu lalang di depan kami, kebanyakan remaja, ada anak-anak kecil juga; berlarian dengan suara tawa yang kerasnya menyaingi debur ombak. Ah, ini adalah sore yang menenangkan. Sore yang menyenangkan. Sore yang seolah-olah menyuruh gue untuk mengambil napas banyak-banyak. Rehat—ya, seakan demikian kata yang dibisikkan desau angin sore ini. Matahari mulai tenggelam di ujung lautan, memberi senja kesempatan untuk pamer keindahan. Langit tau nggak ya kalau jiwa yang kini duduk dalam dekap lembayungnya sedang nestapa?
Gue dan Anaya, dalam hening yang berkuasa, kami berdua porak poranda.
Duduk di sini, memandang langit yang dominan oleh warna jingga, silau oleh cahaya merah kekuningan yang bergerak di atas gulungan ombak, semesta pasti tahu sekali kalau sukma kami dilanda kegamangan. Diamnya mulut kami adalah pertanda otak disandera huru-hara. Otak kami sedang sibuk menerka-nerka. Lalu, tiba-tiba, suara halusnya memecah kesunyian yang ada. Menarik atensi gue yang nyaris tenggelam mengikuti matahari pulang ke peraduannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...